Senin, 31 Maret 2008

HUTAN TANAMAN INDUSTRI

HUTAN TANAMAN INDUSTRI

Hari ini Rabu, 25 Januari 2006. Seperti biasa setiap jam 15.45 saya bergegas pulang menuju pangkalan bis Depertemen. Bis sudah agak penuh, maklum saya agak terlambat. Saya cari tempat duduk yang masih kosong, duduk bersebelahan dengan rimbawan agak senior. Saya tahu yang bersangkutan bergelar doktor dan menjabat eselon III di Dirjen Bina Produksi Kehutanan.
“Selamat siang Dik.” Saya panggil yang bersangkutan dengan sebutan Adik, supaya lebih akrab, dan memang saya lebih tua.
“Selamat siang Pak.” Jawabnya. Rimbawan tadi memanggil saya Bapak.
“Bagaimana kabar BPK?” Sapa saya lebih lanjut.
“Baik-baik saja Pak.” Jawabnya.
Jam 16.00 tepat bis berangkat menuju Bogor. Saya mencoba mencari topik pembicaraan yang hangat, yang kira-kira berada di wilayah kerja teman saya, atau paling tidak mengetahui kebijakan Dirjen BPK. Saya teringat tabloid AgroIndustri yang pernah memuat masalah HTI.
“Saya dengar, Bapak Menteri Kehutanan sangat menaruh perhatian terhadap HTI, ada investor Cina mau bergerak dalam HTI, juga Putra Sampurna sudah minta kepada Pak Menteri 1,2 juta hektar untuk HTI.” Tanya saya. “Ya...betul, memang Bapak Menteri sangat menaruh perhatian terhadap HTI. Kepenginnya siih cepat terealisasi, program HTI seluas 5 juta hektar sampai dengan tahun 2009.” Jawabnya.
“Lantas apa masalahnya, kan tinggal keluarkan izin saja. Apa sulitnya?”
“Ya....., nggak segampang itu Pak. Ternyata sampai sekarang mencari lahan seluas 5 juta hektar yang clear and clean tidak gampang, apalagi ditambah areal yang kompak. Tambah pusing.” Jawabnya.
“Emangnya lahan yang harus dicari harus seperti itu, clear, clean and kompak?” Tanya saya lebih lanjut.
“Itulah pemahaman teman-teman saya. Sebenarnya saya punya pendapat yang berbeda, tetapi saya merasa nggak enak menyampaikannya.”
“Bagaimana idenya, barangkali saya dapat menyampaikan kepada teman-teman saya yang memegang jabatan dalam pengambilan keputusan masalah HTI.” Saya coba membangkitkan semangat teman saya.
“Begini Pak, saya sering mendengar Bapak-Bapak Eselon II dan I kalau memberikan arahan kepada kita, selalu menyampaikan paradigma baru pembangunan kehutanan. Kalau dulu katanya paradigmanya timber oriented sekarang sudah berubah menjadi forest based management oriented. Disitu diterangkan panjang lebar perbedaanya. Gampangnya dalam timber oriented yang diperhatikan hanya masalah kelestarian kayunya saja, sedangkan dalam forest based management oriented, jika berbicara masalah kelestarian , selain kelestarian hutan juga kelestarian sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan dan kelestarian ekologinya.” Teman duduk saya menerangkan.
“Betul sekali, terus apa hubungannya dengan HTI?” kembali saya bertanya.
“Mestinya hubungannya sangat jelas, tetapi teman-teman saya sepertinya tidak mengetahui atau pura-pura tidak mengetahui. Kalau hanya berbicara kelestarian hutan secara teknis sangat gampang sekali. Misalnya areal HTI seluas 5 juta hektar, ditanami dengan jenis Acacia mangium untuk keperluan pulp and paper, dengan daur 10 tahun misalnya. Artinya dalam satu tahun harus ditanam seluas 500 ribu hektar. Pemerintah menyediakan lahan kawasan hutan seluas 5 juta hektar, penduduk jadi pekerja. Perkara yang lainnya nggak perlu diurus. Apakah memang begitu implementasi dari forest based management oriented. Menurut saya tidak demikian. Paling tidak kita harus memperhatikan kelestarian sosial ekonomi masyarakat sekitar HTI.”

Saya perhatikan sejenak teman-teman rimbawan lain yang sedang tidur. Saya paham bekerja seharian memang cukup melelahkan. Dengan melihat sepintas pemandangan di luar, saya mengetahui bahwa bis sudah memasuki daerah Cibinong. Asyik juga diskusi dengan teman saya.

“Jujur saja, saya masih belum paham apa yang dimaksud dengan kelestarian sosial ekonomi, bukankah dengan HTI dapat menyerap tenaga kerja yang cukup besar pada masyarakat disekitar HTI?” Kembali saya bertanya.
“Itulah yang menjadi perbedaan pendapat dengan teman-teman saya. Kalau menurut saya, konsep pembangunan HTI yang berkelanjutan adalah dengan mengajak masyarakat sekitar HTI menjadi mitra, bukan menjadi pekerja. Kalau Bapak perhatikan banyak industri kayu di Jawa tidak mempunyai lahan, tetapi tidak menjadi masalah, karena memanfaatkan hutan rakyat yang telah dibangun oleh masyarakat.”
“Itu bisa saja, kalau kapasitas industrinya kecil. Kalau kapasitas industrinya besar menurut saya tidak mungkin.” Saya coba mengajukan argumentasinya.
“Mohon ma’af Bapak, kalau saya agak sedikit menyinggung Bapak. Pola pikir Bapak dan teman-teman ya ... seperti itu, belum apa-apa, selalu dan selalu bilang tidak bisa, tidak mungkin, atau yang sejenis. Pikiran kita sudah dibatasi. Apakah Bapak pernah mendengar iklan impossible is nothing?”Rimbawan, teman saya menerangkan dengan berapi-api.
“Ya...., saya pernah mendengar.” Jawab saya.
“Maksud saya, dalam kontek HTI, harus ada kombinasi, harus dapat memadukan kepentingan perusahaan, kepentingan masyarakat setempat dan kepentingan pemerintah. Pola pikir kita sebagai birokrat yang hanya memandang masyarakat sebagai pekerja harus mulai ditinggalkan.”
“Waaah...., hebat sekali teman saya. Terus terang saya sangat bangga dengan rimbawan yang mempunyai pemikiran hebat. Maklum doktor. Hanya saja, saya agak sedikit kecewa kenapa pemikiran yang hebat ini hanya sekedar sebagai wacana.” Pikir saya dalam hati.
“Bagaimana kongkritnya Dik?” Kembali saya coba bertanya.
“Konkritnya begini Pak, misalnya tadi pengusaha HTI minta areal 5 juta hektar, pemerintah cukup menyediakan areal seluas 4 juta hektar. Biar yang 1 juta hektar serahkan saja kepada masyarakat.”
“Maksud Adik, sebagian kebutuhan bahan baku industri dipenuhi dari masyarakat, yang dalam kasus ini sebesar 20% adalah dari hutan rakyat?”
“Tepat sekali, yang penting rakyat dilibatkan, diberi bimbingan; mulai dari persemaian, penanaman kalau perlu modal dan manajemen. Apa siiih sulitnya menanam pohon. Kalau rakyat dilibatkan, kalau pemasaran sudah pasti, kalau menanam pohon untuk HTI menguntungkan, saya jamin perusahaan HTI akan didukung oleh masyarakat sekitarnya.
“Betul juga apa yang disampaikan Adik.”
“Tetapi, apa yang saya sampaikan tadi harus ada regulasinya yang berpihak kepada masyarakat, terutama dalam masalah harga jual kayu.”
“Ide yang cemerlang, besok akan saya sampaikan kepada teman saya yang menangani kebijakan HTI.” Saya coba menyakinkan.

Saya lihat ke depan, bis sudah memasuki akhir jalan tol di Bogor. Hujan masih turun dengan derasnya. Sampai di Balai Sutera Alam jam 17.25.
“Kita berpisah di sini, Dik.” Saya ucapkan salam perpisahan.
“Terima kasih kembali Pak.” Jawabnya singkat.

Saya turun dari bis, langsung mencari angkutan kota menuju rumah. Anak dan istri telah menunggu.

Bogor, 1 Februari 2006.