Rabu, 28 Mei 2008

AKHIRNYA..... BBM, NAIK JUGA

Akhirnya pemerintah menaikan harga BBM juga. Alasannya sangat sederhana, pemerintah tidak mampu lagi memberikan subsidi terhadap BBM yang jumlahnya mencapai 160 trilyun rupiah. Lagi pula data Sensus Ekonomi Nasional terakhir yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, sebesar 82 persen subsidi BBM dinikmati 60 persen warga berpenghasilan tingi. Sedangkan 40 persen penduduk miskin hanya menikmati 17 persen sisa subsidi itu. Jadi, kira-kira begini: Kalau subsidi Rp 100 triliun, maka sebesar Rp 82 triliun menyasar ke golongan penduduk yang tidak berhak menerimanya. Angka BPS itu menjelaskan kenapa antrean di SPBU yang membeli BBM bersubsidi yakni premium, lebih dipenuhi mobil mewah daripada angkutan umum. Luar biasa, bukan?
Yang saya tidak mengerti, sebelum BBM naik beberapa statemen dari para petinggi di Republik ini. Wakil Presiden, Jusuf Kalla menyatakan kalau BBM tidak naik, artinya pemerinta pro kepada orang kaya, karena subsidi yang diberikan kepada harga BBM lebih dari 80% dinikmati oleh orang kaya. Pertanyaannya sekarang apakah kenaikan harga BBM ini masih memberikan subsidi? Jawabnya masih. Jusuf Kalla berpendapat bahwa kenaikan bahan bakar yang berupa premium idealnya menjadi Rp.8000,-, bukan seperti sekarang yang hanya Rp. 6000,-. Kalau begitu berarti pemerintah masih pro kepada orang kaya, karena masih tetap memberikan subsidi.
Beda lagi pernyataan dari Menteri Perdagangan. Inilah pernyataannya, “seandainya saja saya dapat menetukan harga tentu saya tidak akan menaikan harga-harga yang sekarang dirasakan oleh masyarakat”. Memang betul harga cabe, harga beras, harga minyak goreng, harga gula dan harga harga lainnya yang menentukan adalah “pasar” bukan Menteri Perdagangan. Tetapi jangan lupa yang menetukan harga BBM adalah pemerintah. Bukankah Menteri Perdagangan adalah bagian dari pemerintah yang mempunyai andil besar dalam menetukan harga BBM?
Lain JK, Lain Mendag, lain pula pernyataan dari Menko Kesra, “pemerintah akan membagikan BLT plus. Bagi daerah yang tidak mau BLT plus yang silahkan saja”. Ini namanya sama saja mengadu antara rakyat dengan gubernu/bupati/walikota bahkan kepala kelurahan/kepala desa. Siapa siih yang tidak mau uang? Semua orang pasti mau. Jangan lupa pemerintah daerah juga bagian dari pemerintah. Sebenarnya yang diinginkan kepala daerah (provinsi/kabupaten/kota) dan kepala kelurahan/kepala desa adalah perlunya dialog antara pemerintah pusat dengan mereka. Pengalaman menunjukkan bahwa pembagian BLT selalu diwarnai dengan keributan pada masyarakat miskin. Itu yang sebenarnya ingin disampaikan oleh daerah.
Ketiga contoh pernyataan di atas adalah pernyataan yang tidak pantas dikeluarkan oleh petinggi. Mereka tidak merasakan bagaimana penderitaan masyarakat miskin, bagaimana susahnya mencari uang, meski hanya beberapa ribu rupiah saja.
Aksi Demontrasi
Minimal ada tiga alasan fundamental kenapa aksi demontrasi itu masih marak dilakukan.
Pertama, pemerintah ketika membuat kebijakan menaikkan harga BBM sama sekali tidak memperhatikan kepentingan rakyat sebagai stakeholder utama. Motif kenaikan harga BBM adalah ekonomi dengan standar harga dunia dan pasar serta asumsi APBN semata. Dalam hal ini faktor realitas sosial sama sekali tidak menjadi landasan pentimbangan dalam rencana kebijakan pemerintah tersebut. Padahal kenaikan harga BBM itu sangat membebani kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Kedua, kenaikan harga BBM hanya akan semakin menambah beban masyarakat miskin yang sampai saat ini masih juga menanggung beban krisis ekonomi. Kenaikan harga BBM telah mengakibatkan efek domino, sebab selalu diikuti dengan melonjaknya harga berbagai kebutuhan makanan pokok yang selalu dikonsumsi masyarakat akar rumput. Belum lagi ditambah dengan naiknya ongkos angkutan umum yang kian mencekik leher masyarakat miskin kita.
Ketiga, adanya kekhawatiran tidak sampainya dana kompensasi dari kenaikan harga BBM ke tangan yang berhak menerimanya. Diprediksi oleh banyak kalangan akan terjadi lagi apa yang disebut "tradisi korupsi". Ini cukup beralasan sebab mental korupsi masyarakat Indonesia masih tergolong tinggi.
Karena itulah, kebijakan menaikkan harga BBM dinilai tidak etis. Pemerintah kurang kreatif dalam mencari alternatif penyelesaian terhadap defisit APBN. Padahal di luar kebijakan menaikkan harga BBM ini masih terdapat banyak alternatif lainnya yang lebih baik.
Alternatif Sederhana.
Pemerintah nampaknya mengambil jalan yang paling enak, tidak mau repot-repot mengurusi rakyat kecil. Rakyat kecil cukup diberi BLT plus. Coba saja pemerintah mau berpikir dan melaksanakan kebijakan BBM yang paling sederhana, tentu akan memberikan hasil yang jauh lebih baik. Apa itu? BBM tidak perlu dinaikan untuk kendaraan yang berplat kuning, kendaraan plat hitam dan plat merah diharuskan menggunakan BBM non subsidi. Gampang bukan? Masyarakat yang mampu membeli mobil atau sepeda motor (plat hitam) tentu masuk kategori kaya, sedangkan plat merah dibiayai oleh pemerintah, tentu membeli BBM non subsidi tidak jadi masalah. Yang perlu kerja keras dari pemerintah adalah mengamankan pembelian BBM dari kendaraan plat kuning untuk keperluan non angkutan. Tetapi ya… itu memang kerja pemerintah, mengawasi, membuat sistem bagaimana kendaraan plat kuning tidak membeli BBM untuk dijual kembali. Barangkali kartu “smart card” yang pernah dilontarkan oleh pemerintah dapat diterapkan untuk kendaraan plat kuning.
Kebijakan yang sederhana di atas akan memberikan keberpihakan kepada rakyat kecil. Yang jelas tarif transportasi tidak naik. Yang jelas akan lebih banyak orang yang akan menggunakan kendaraan umum. Yang jelas lalu lintas di kota kota besar akan tidak terlalu padat. Yang jelas akan terjadi penghematan BBM. Yang jelas tidak ada lagi subsidi kepada rakyat kaya. Yang jelas .... masih banyak lagi. Dan yang terakhir, yang jelas kebijakan ini jauh lebih baik daripada kebijakan kenaikan BBM yang sekarang diambil oleh pemerintah.
Gampang bukan? Sayang ......., saya bukan presiden.

Senin, 05 Mei 2008

MENCOBA MEMAHAMI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 2 TAHUN 2008

Tepat dua bulan sejak diundangkannya PP 2/2008 pada tanggal 4 Februari 2008, sampai sekarang (4 April 2008) masih menjadi polemik di berbagai media masa. Sebagian masyarakat: akademisi, pecinta lingkungan, legislator, bahkan kalangan birokrat sendiri (gubernur Kaltim), tidak sependapat dengan PP tersebut. Berbagai artikel banyak dimuat di media masa dengan berbagai argumentasi. Pemerintah tidak bertanggung jawab, menghargai tanah hutan lindung hanya 1,2 – 3 juta per hektar atau Rp 120 – Rp 300,-/m2, lebih murah dari harga sepotong pisang goreng.
Judul PP 2/2008 yang panjang yaitu :” Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan”, ternyata tetap kurang dimengerti oleh masyarakat. Masyarakat tetap menganggap bahwa hutan lindung dapat disewa dengan besaran tariff di atas.
Betulkah pemerintah tega menyewakan tanah hutan lindung sebesar tariff di atas? Mungkinkah dalam era keterbukaan, dengan kontrol yang ketat dari masyarakat, pemerintah masih berani mengeluarkan kebijaksan yang bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi?
Tulisan ini mencoba mengikuti jalan pikir pemerintah dalam menentukan PP 2/2008.
Penggunaan Kawasan Hutan Tidak Hanya Untuk Pertambangan
Menurut UU 41/1999 tentang kehutanan, hutan akan lestari dan memberikan mamfaat sebesar besarnya bagi masyarakat apabila dilakukan pengelolaan dengan baik. Pengelolaan Hutan terdiri dari :1. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;2. pemanfaatan hutan; 3. penggunaan kawasan hutan; 4. rehabilitasi hutan dan reklamasi dan ;5. perlindungan hutan dan konservasi alam. Selanjutnya yang dimaksud dengan Penggunaan Kawasan Hutan, adalah kegiatan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status dan fungsi pokok kawasan hutan. (PP 34/2002).
Sesuai dengan kewenangnnya Menteri Kehutanan mengatur penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan non kehutanan. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.14/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, disebutkan bahwa penggunaan kawasan hutan dapat untuk tujuan strategis atau kepentingan umum terbatas. Yang termasuk untuk tujuan strategis adalah :a. Kepentingan religi; b.Pertahanan dan keamanan;c.Pertambangan; d.Pembangunan ketenagalistrikan dan;f. instalasi teknologi energi terbarukan;g.Pembangunan jaringan telekomunikasi; h.Pembangunan jaringan instalasi air; sedangkan yang termasuk untuk kepentingan umum terbatas : a.Jalan umum dan jalan (rel) kereta api;b. Saluran air bersih dan atau air limbah; c.Pengairan; d.Bak penampungan air; e.Fasilitas umum; f.Repeater telekomunikasi; g.Stasiun pemancar radio; atau h. Stasiun relay televise).
Pinjam pakai kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan dilakukan dengan ketentuan :
a. Pinjam pakai kawasan hutan diberikan secara selektif hanya untuk kegiatan-kegiatan yang tidak mengakibatkan kerusakan serius dan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan.
b. Di kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
Dari penjelasan di atas kiranya jelas bahwa penggunaan kawasan hutan hanya diperkenankan pada hutan produksi dan hutan lindung saja. Penggunaan kawasan hutan tidak diperbolehkan pada kawasan hutan konservasi (cagar alam, suaka margasatwa, taman buru, taman nasional). Selanjutnya apabila pinjam pakai untuk kegiatan pertambangan maka kegiatan pertambangan terbuka tidak diperkenankan pada hutan lindung. Pertambangan terbuka hanya diperbolehkan pada hutan produksi.

PP 2/2008 Hanya Mengatur Tarif
PP 2/2008, hanya mengatur besarnya tarif dan ditujukan hanya kepada pihak pihak lain yang telah menggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar, tidak lebih. Misalnya dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, telah menetapkan 13 perusahaan tambang di hutan lindung, maka hanya perusahaan tambang itulah yang dikenakan PNBP. Bagaimana jika di hutan lindung lainnya terdapat potensi tambang apakah perusahaan tambang dapat langsung menyewa (mengeksplotasi) dengan membayar sesuai tariff yang tercantum dalam PP 2/2008? Tentu saja tidak demikian. Ada prosedur perizinan yang harus ditempuh. Bahkan untuk memperoleh izin harus memperoleh persetujuan dari DPR, karena harus mengubah undang undang yang telah ada. Bagaimana dengan pinjam pakai lainnya, apakah dikenakan PNPB? Jawabnya Ya. Pinjam pakai bukan hanya untuk pertambangan saja, tetapi juga untuk yang lainnya sebagaimana diutarakan di bagian depan. Kehutanan menyediakan ruang untuk pembangunan di luar kehutanan dengan prosedur sebagaimana di atur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.14/Menhut-II/2006. Yang perlu mendapat perhatian justru pemanfaatan PNBP tersebut. Uang hasil sewa (baca pinjam pakai) harus dipergunakan untuk kegiatan reklamasi dan rehabilitasi hutan lindung yang disewanya atau pada hutan lindung lainnya yang telah mengalami kerusakan. Berdasarkan perhitungan kasar, pada tahun 2008 pemerintah akan memperoleh pendapatan sebesar kira-kira 600 milyard. Suatu pendapatan yang lumayan. Jika kegiatan rehabilitasi hutan dalam satu hektar memerlukan dana sebesar 5 juta rupiah, maka PNBP tersebut dapat digunakan untuk merehabilitasi hutan lindung seluas 120.000 hektar.

Penutup
Ramainya polemik keluarnya PP 2/2008 patut dihargai. Masyarakat semakin merasakan pentingnya hutan lindung. Masyarakat berhak mengetahui setiap kebijakan pemerintah, masyarakat berhak pula mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi, apabila pemerintah dianggap telah melanggar peraturan perundang undangan atau merugikan masyarakat luas. Bahkan masyarakat berhak untuk ikut dalam proses penyusunan peraturan perundang undangan. Suatu pelajaran yang berharga bagi pemerintah. Willam Dunn, dalam bukunya yang berjudul Pengantar Kebijakan Publik menyebutkan bahwa dalam penyusunan peraturan perundang undangan harus melibatkan stakeholders dalam suatu proses sejak penyusunannya sampai ditetapkannya. Ini barangkali yang merupakan kelemahan keluarnya PP 2/2008. Bukankah suatu peraturan perundang undangan dibuat pada akhirnya bermuara untuk kebaikan dan kesejahteraan masyarakat?