Rabu, 30 Januari 2008

KAKISU - KANAN-KIRI SUNGAI

KAKISU
(Kanan-Kiri Sungai)
Oleh : Bambang Winarto
Obrolan Pinggir adalah obrolan sesama rimbawan mengenai suatu topik kehutanan yang dilakukan secara santai yang tujuannya memberikan ide atau masukan kepada pengambil keputusan dalam bidang kehutanan. Obrolan dilakukan di berbagai tempat, seperti bis departemen kehutanan, warung, pinggiran hutan, café, lapangan dan lain lain.
Tokoh dalam cerita ini adalah Dul Kamdi, rimbawan senior yang telah berpengalaman bekerja di berbagai daerah dan pusat selama lebih dari 25 tahun. Karena pengalamannya Dul Kamdi sangat mengerti betul bagaimana kehutanan sebaiknya.Peran Dul Kamdi adalah sebagai “moderator”, yakni yang mengarahkan topik pembicaraan.
Selamat membaca.
Jam 05.45 saya berangkat dari rumah. Sebenarnya saya agak sedikit terlambat dari biasanya, yakni jam 05.30. Jalan masih sepi dan hujan turun rintik-rintik, saya tidak kuatir untuk terlambat, bis pasti agak terlambat juga. Benar juga dugaan saya. Saya sampai di “terminal bis Balai Sutera Alam” jam 05.50, bis baru datang jam 05.55. Dengan tertib, para rimbawan masuk ke dalam bis. Saya lihat kiri-kanan, untuk mencari senior saya. Beruntunglah tempat duduk di sebelah senior masih kosong, maka saya duduk di sebelah beliau. Tepat jam 06.00, bis berangkat menuju Departemen Kehutanan.
“Selamat pagi, senior, bagaimana dengan pekerjaannya sebagai konsultan?”
“ Selamat pagi Dul, sangat menyenangkan, apa kita lanjutkan obrolan kita.”
“Tentu senior, BMG meramalkan musim penghujan diperkirakan sampai akhir Februari. Berdasarkan pengalaman senior, apa yang sebaiknya dilakukan oleh pemrintah.”
“ Dul, sekarang ini sistem pemerintahan sudah berubah, sejak diundang kannya UU 22 tahun 1999, kemudian diperbaruhi dengan UU 32 tahun 2004, tentang Sistem Pemerintah Daerah, maka urusan banjir menjadi tanggungjawab sepenuhnya dari Pemda.”
“Waah, senior saya betul-betul hebat, dapat mengikuti perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia. Sebagai konsultan yang profesional, memang seharusnya demikian.” Pikir saya.
“ Betul apa yang disampaikan senior, tapi peran pemerintah kan masih sangat besar, apalagi untuk kegiatan GERHAN dengan dana sampai trilyunan rupiah, menurut saya pemerintah dapat merencanakan reboisasi dan penghijauan sesuai dengan prioritasnya.”
“Dul, kamu tidak salah. Memang benar, pemerintah sudah mengatur daerah mana saja yang perlu direhabilitasi. Dari bahasa departemen, yang direhabilitasi adalah Hutan lindung, Hutan Produksi, sebagian Hutan Konservasi dan Areal Penggunaan Lain atau APL. Kesemuanya areal tersebut secara teritorial masuk dalam daerah aliran sungai.”
“Saya masih belum paham yang dimaksud oleh senior.”
“Lha iya….,saya belum menerangkan. Gini selain daerah hulu yang mendapat prioritas, mestinya justru KAKISU yang paling diprioritaskan, pernah dengar istilah tersebut?” Senior bertanya.
“Kalau istilah kakiku, kakimu, kokiku pernah, tapi .... kalau KAKISU baru kali ini saya dengan.” Jawab saya.
“Dul..., istilah tersebut sangat dikenal di kalangan BP-DAS, KAKIKU artinya kanan-kiri sungai.” Senior menjelaskan kepada saya.
“Terima kasih, senior. Apa hubungan antara KAKISU dengan GERHAN?”
“Dul...., kamu ini bagaimana, sebagai rimbawan mestinya dengan penjelasan singkat tadi kamu sudah mengerti. Tetapi ya ..., nggak apa-apa. KAKISU mestinya daerah yang prioritas utama yang harus ditanamani, seperti yang saya katakan tadi. Tetapi..., daerah yang sangat penting untuk direhabilitasi ini justru terlupakan. Pola pikir BP-DAS agat terjebak dengan pola pikir daerah APL, yang sudah jelas penangannya, yakni pemiliknya lahan. Kalau KAKISU, siapa yang bertanggungjawab.”
“Maksud senior, sepanjang sungai, di kanan dan kiri sungai ditanami dengan pohon-pohonan gitu?” Saya bertanya lebih lanjut.
“Lha iya…., saya pernah ke Thailand untuk studi tentang daerah aliran sungai. Sebenarnya alamnya Thailand, tidak jauh lebih baik dari alam di Indonesia. Bahkan untuk keindahan alam, Indonesia mungkin surganya, tetapi dalam penanganan sungai, mungkin Thailand jauh lebih baik. Hampir semua sungai di Thailand di kanan dan kirinya ada tanaman bambu.”
“Emangnya selain bambu tidak ada pohon lainnya?”
“Dul, apakah kamu masih ingat ketika masa kecil kita dulu ada yang namannya “papringan”. Hampir sebagian besar sungai-sungai yang ada di kanan-kirinya ada tanamanan bambu. Waktu itu saya tidak mengerti, saya pikir hanya habitat bambu yang memerlukan air saja, tetapi rupanya ada maksud lainnya.”
“Dari tadi senior belum menerangkan apa sebenarnya keuntungan penanaman bambu sepanjang KAKISU.” Saya mencoba membiasakan dengan istilaj KAKISU.
“Dul, bayangkan tradisi banjir masih terjadi tahun depan, dan memang menurut saya, tradisi banjir akan setiap tahun kalau tidak ada langkah nyata dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Daerah yang terkena hantaman air pertama adalah ya …. sekitar kanan-kiri sungai tadi. Banjir bukan hanya air saja, tetapi membawa bahan material yang demikian banyak, selain lumpur juga bebatuan serta batangan kayu. Adanya pagar tanaman bambu paling tidak akan menahan bahan material yang di bawa oleh air. Bahaya terbesar sebenarnya hantaman dari lumpur dan bahan material yang dibawa air.” Senior saya menjelaskan dengan penuh kesabaran.
“Jika hanya demikian, apa bedanya bila KAKISU ditanami pohon-pohonan yang rapat seperti halnya bambu?”
“Dul, coba lihat perbedaannya antara bambu dengan pohon lainnya, terutama dalam sistem perakarannya. Perakaran bambu sangat luar biasa kuatnya, saling ikat-mengikat dengan bambu lainnya. Mereka membentuk rumpun. Lagi pula, tanaman bambu sangat bermanfaat bagi masyarakat. Keuntungan lain dari tanaman bambu adalah, bila dipotong batangnya, tanaman akan meregenerasi dengan sendirinya melalui sistem perakarannya. Sangat menajubkan.”
“Jika demikian besar manfaat bambu, saya tidak habis pikir, mengapa dari BP-DAS tidak melakukan penanaman bambu.”
“Itu yang menjadi pertanyaan saya juga Dul. Padahal BP-DAS sangat mengetahui hal ini. Atau ya… . dengan alasan tidak jelas pemiliknya atau ada alasan-alasan lain.” Senior mencoba memberikan argumentasi.
“Senior, apa yang disampaikan oleh senior, sebenarnya sangat sederhana, tetapi sangat brilyant, mungkin ada baiknya disampaikan kepada Bapak Menteri, atau paling tidak kepada Bapak Dirjen RLPS, saya yakin beliau akan memperhatikan.”
“Dul, sebenarnya ini masalah kecil, saya yakin teman-teman di Dirjen RLPS suda mengetahui. Hanya saja, apa ada yang berani menyampaikan ide sederhana ini. Kalau Bapak Menteri tahu, saya yakin beliau akan memberikan instruksi kepada Dirjen RLPS.”
Pagi ini saya mendapat pelajaran sederhana, tetapi sangat bermanfaat bagi saya. Saya berjanji akan menyampaikan ide sederhana ini kepada teman-teman yang berada di RLPS. Mudah-mudahan dapat diimplemetasikan pada program GERHAN. Paling tidak pada KAKISU yang berada di Jawa. Kasihan rakyat kita. Dengan tanaman bambu disepanjang KAKISU akan sedikit mengurangi kerugian yang dideritanya.
Tidak terasa bis Departemen sudah memasuki halaman gedung manggala Wanabakti. Waktu tepat menunjukkan jam 08.00.
“Kita berpisah di sini senior, apa besok kita ngobrol lagi?”
“Sorry, Dul. Besok saya akan keliling Jawa, meninjau lokasi bencana banjir, kebetulan dapat order dari Departemen..”
“Selamat, jalan-jalan senior, jangan lupa oleh olehnya.”
Saya turun dari bis. Dengan langkah pasti saya langsung menuju ke teman saya yang bekerja di Dirjen RLPS. Siapa tahu apa yang disampaikan oleh senior dapat segera diterapkan.

Bogor, 25 Januari 2006

Senin, 07 Januari 2008

AIR MINUM DALAM KEMASAN (AMDK)
(Air Sumber Produk Utama Hutan Lindung yang Terabaikan)
Oleh : Bambang Winarto *)

Pernahkan para rimbawan mengamati truk-truk tangki air dari Sukabumi/ Bogor ke Jakarta ? Tiap harinya ratusan truk air mengangkut air sumber (air yang berasal dari mata air) ke Jakarta. Pada tangki air tertulis: “Dari mata air Gunung Salak”, atau “Dari mata air pegunungan”. Selain truk-truk tangki air tidak kalah banyaknya adalah adalah truk-truk yang mengangkut Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang berupa galon-galon. Untuk yang berupa gelas atau botol dalam kemasan 600 ml atau 1200 ml tidak begitu diketahui karena diangkut dalam truk yang tertutup (box).

Para rimbawan sangat menyadari bahwa yang namanya AIR adalah merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu. Namun kenapa para rimbawan sepertinya tidak berurusan dengan air sumber? Coba bandingkan dengan kesibukan para rimbawan mengurus masalah kayu :RKL, RKT, RPBI, industri kayu, peredaran kayu, dokumen kayu dan lain sebagainya.

Tulisan singkat ini mencoba mengingatkan kepada para rimbawan, bahwa yang namanya hasil hutan BUKAN hanya kayu saja. AIR sumber adalah juga hasil hutan.

AIR = BARANG KOMODITI STRATEGIS.
Air merupakan sumber kehidupan, tanpa adanya air tidak ada kehidupan.Betapa vitalnya air ini dirasakan dan disadari oleh semua orang. Sesungguhnya alam telah menyediakan air untuk kehidupan. Namun karena ulah manusia yang memperlakukan alam kurang bijaksana, sehingga menimbulkan banyak masalah dengan kurang tersedianya air yang layak dan bersih untuk dikonsumsi manusia.

Saya masih ingat betul, ketika menempuh pendidikan di SMA pada tahun 1970. Guru ekonomi memberikan contoh barang ekonomi yang masuk kategori barang yang tidak terbatas jumlahnya, yakni udara dan air. Maklum pada saat itu air ibaratnya tidak beli. Saya juga masih ingat ketika perusahaan (AMDK), PT Tirto meluncurkan pertama kali produk AMDKnya dengan merk “Aqua” , banyak orang menertawakannya, dianggap aneh. Sekarang banyak perusahaan yang berkecimpung dalam bisnis AMDK. Demikian lakunya produk AMDK sehingga dapat dijumpai pada hampir setiap tempat : jalanan, warung kecil, warung makan, sampai super market.. Bahkan pada setiap perkantoran pasti disediakan AMDK. Masak air, tinggal masa lalu, tinggal kenangan. Sekarang masanya AMDK.

AMDK adalah air yang telah diproses, dikemas dan aman untuk diminum langsung. Bahan bakunya adalah air sumber, bukan PAM/PDAM atau air sungai, karena hanya dari air sumberlah akan diperoleh kesegaran, kenikmatan dan rasa yang beda dengan yang lainnya. Wisnu Wibisana (2004) dalam skripsinya yang berjudul : “Analisa Kelayakan dan Rancangan Sistem Penunjang Keputusan Industri Air Minum Dalam Kemasan,”menyebutkan bahwa konsumsi AMDK pada tahun 2000 sebanyak 3,6 miliar liter, tahun 2001 sebanyak 5,4 miliar liter dan pada tahun 2002 sebanyak 7,1 miliar liter. Banyak pengusaha yang bergerak di AMDK. Hal ini dapat dilihat dari, merk-merk yang ada dipasaran. Bisa jadi untuk di seluruh Indonesia mencapai ratusan merk. Beberapa merk AMDK diantaranya adalah : Aqua, 2 Tang, Vit, Nestle, Tropis, Cheers, Olla, Atlantic, Flash, Aquase, Alle, Prima, Zam-zam, Berkah, dsb.

Nilai AMDK untuk waktu-waktu yang akan datang dapat dipastikan akan semakin meningkat. Dengan menggunakan data yang disajikan oleh Wisnu Wibisana (2004), nilai AMDK dapat diketahui.Sebagai gambaran harga AMDK di KOPKARHUTAN, harga AMDK merk “2 tang” isi 600 ml berharga Rp. 1000,-, sedangkan harga “Aqua” dengan isi yang sama adalah Rp. 1200,- .Apabila nilai AMDK dihargai Rp. 500,-/liter saja, maka pada tahun 2000, pengusaha AMDK akan memperoleh pendapatan sebesar Rp. 1.800.000.000.000,-, tahun 2001 memperoleh pendapatan Rp. 2.700.000.000.000,-, tahun 2002 akan memperoleh pendapatan Rp. 3.500.000.000.000,-.

Pendapatan AMDK jika dibandingkan dengan pendapat pengusaha kayu (log) sebenarnya tidak terlalu jauh. Dengan asumsi harga kayu log sebesar Rp. 1.200.000,-/ m3, maka pendapatan pengusaha kayu berturut-turut tahuan 2000, 2001 dan 2002 adalah Rp.16.557.888.000.000,- (9 x pendapatan AMDK) ; Rp. 12.061.776.000.000 (5 x pendapatan AMDK) ; Rp. 10.391.962.000.000,- (3 x pendapatan AMDK). Dari data yang sederhana ini sudah dapat diprediksi bahwa pendapatan AMDK dapat dipastikan akan LEBIH dari pendapatan kayu.

Sementara dari sisi pendapatan pemerintah, pada tahun 2000 Hutan Produksi dapat memberikan sumbangan pendapatan kepada negara berupa Dana Reboisasi sebesar Rp. 2.207.718.400.000 ,-; tahun 2001 = Rp. 1.608.236.800.000 dan tahun 2002 = Rp. 1.385.594.900.000.-. Sebaliknya Hutan Lindung BELUM dapat memberikan kontribusi terhadap pemerintah. Perbedaan lainnya antara Hutan Produksi dan Hutan Lindung dapat dilihat pada tabel halaman 4.


AIR SUMBER = KURANG SERIUS
Departemen Kehutanan nampaknya masih kurang serius dalam menggarap air sumber. Ketidak seriusan ini dapat dilihat dari organisasi yang menanganinya. Untuk mengurus produksi hasil hutan yang berupa KAYU( produk utama Hutan Produksi), dibentuk Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (Eselon I). Bandingkan dengan organisasi yang menangani produksi hasil hutan yang berupa AIR (produk utama Hutan Lindung), hanya Sub Direktorat Suaka Alam Dan Hutan Lindung. (Eselon III), di bawah Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam (Eselon II). Segala informasi yang menyangkut masalah kayu tersedia di Dirjen BPK. Sebaliknya segala informasi yang menyangkut masalah air tidak/kurang tersedia di Sub Direktorat Suaka Alam dan Hutan Lindung. Satu-satunya data yang ada hanya jumlah dan luas hutan lindung di Indonesia. Data potensi air sumber tidak ada. Dari diskusi dengan staf pada Sub Direktorat Suaka Alam dan Hutan Lindung diketahui bahwa produk hukum yang mengatur Hutan Lindung hanya Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 129/Kpts/DJ-VI/1996 yang sudah tidak sesuai lagi dengan adanya Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah.

Banyak perusahaan AMDK yang memanfaatkan air sumber, dengan proses perijinan dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Memang demikian seharusnya. Hanya saja, yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana air sumber dapat memberikan pemasukan kepada negara, karena Pemda hanya memungut retribusi saja untuk peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), BUKAN untuk kepentingan kelestarian hutan. Dengan PENDAPATAN NEGARA dimaksudkan untuk pengurusan dan kelestarian hutan lindung.

Dengan menganologikan hasil utama hutan produksi adalah kayu dan hasil utama hutan lindung adalah air sumber, maka mestinya ada pemasukan ke kas negara berupa semacam DR. Sebagai ilustrasi besarnya DR untuk kayu adalah kira-kira sebesar 10% dari nilai kayu, jika DR untuk air diambil 5% saja dari nilai air (Rp. 500,-/liter), maka pada tahun 2000, 2001 dan 2002, pemerintah akan memperoleh pendapatan sebesar Rp. 90.000.000.000,-‘ Rp. 135.000.000.000,- dan Rp. 175.000.000.000,-. Pendapatan yang lumayan besar. Dana inilah yang digunakan untuk melestarikan hutan lindung.

BAGAIMANA SEBAIKNYA?
Bila kita buka UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 26 disebutkan bahwa “Pemanfaatan Hutan Lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu”. Penjelasan pasal 26 secara tegas menyatakan bahwa pemanfaatan jasa lingkungan adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti : pemanfaatan untuk wisata alam, pemanfaatan air dan pemanfaatan keindahan kenyamanan.Untuk itu, para rimbawan tidak perlu ragu-ragu lagi, bahwa pemanfaatan air sumber adalah merupakan DOMAIN Departemen Kehutanan.

Memang benar dengan berlakunya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, serta adanya Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (sebagai penjabaran dari UU No. 22 tahun 1999), kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan hutan lindung ada pada Pemerintah Daerah. Ini tidak berarti mengurangi peran pemerintah dalam memberikan “pedoman”, akan tetapi justru sebaliknya. Dalam PP No. 25 tahun 2000, BAB II pasal 2, nomor 4, Bidang Kehutanan dan Perkebunan, huruf i, dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai kewenangan dalam : “ Penetapan kriteria dan standar perizinan usaha pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan dan pemungutan hasil, Pemanfaatan Jasa Lingkungan,pengusahaan pariwisata alam, pengusahaan taman buru, penangkaran flora dan fauna, lembaga konservasi dan usaha perkebunan.”

Departemen Kehutanan (Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam) nampaknya perlu bekerja keras untuk segera menyusun berbagai peraturan sebagai penjabaran dari Undang-Undang No. 41 tahun 1999 dan PP No. 25 tahun 2000 khususnya menyangkut masalah pemanfaatan air sumber. Air sumber sudah merupakan barang komoditi, bukan lagi barang publik. Dalam penyusunan peraturan handaknya memperhatikan keberadaan masyarakat yang tinggal sekitar hutan, mereka harus dapat merasakan peningkatan pendapatan atau kesejahteraannnya karena adanya pengusaha AMDK.

PENUTUP
Forest is not just timber. Forest is water as well. Para rimbawan harus sudah mulai merintis hasil hutan bukan kayu yang namanya AIR yang manfaatnya luar biasa dan selalu diperlukan oleh manusia. Hutan Lindung saatnya mendapat perhatian yang sama seperti halnya Hutan Produksi. Pengusahaan hutan bukan hanya pengusahaan kayu. Pengusaha hutan juga pengusaha AMDK. Mari kita buktikan.
TABEL. PERBEDAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN HUTAN LINDUNG
Keterangan :
Luas hutan dan produksi hasil kayu (Statistik Kehutanan Indonesia, 2003)
Nilai produksi merupakan angka perkiraan (harga 1 liter AMDK = Rp. 500,-; Harga Log 1 m3 = Rp.1.200.000,-
Penerimaan Negara berupa DR (1 m3 kayu = Rp.160.000,-)
Eselon I = Dirjen Bina Produksi Kehutanan
Eselon III = Sub Direktorat Suaka Alam dan Hutan Lindung

Jakarta, minggu pertama bulan Januari

Bambang Winarto, Rimbawan Senior