Jumat, 26 September 2008

MEMBENTUK PERWIRA RIMBAWAN MELALUI PROGRAM MATRIKULASI BAGI CPNS

”Hai Perwira Rimba Raya Mari Kita BernyanyiMemuji Hutan Rimba Dengan Lagu Yang Gembira
& Nyanyian Yang Murni
Meski Sepi Hidup Kita Jauh Di Tengah Rimba,
Tapi Kita Gembira Sebabnya Kita Bekerja
Untuk Nusa Dan Bangsa” ........... (Mars SERUAN RIMBA)
Sengaja potongan lagu bait pertama pada Mars SERUAN RIMBA disajikan pada awal artikel ini. Lagu tersebut merupakan lagu “kebangsaan” para rimbawan dan dinyayikan pada setiap hari bakti rimbawan atau pada acara acara khusus, misalnya rapat kerja nasional, rapat kerja regional dsb. Tujuannya adalah untuk mengingatkan para rimbawan akan tugas yang diembannya. Tugas perwira (rimbawan) adalah di tengah rimba yang bekerja untuk nusa dan bangsa. Itulah pesan utama dari Mars Seruan Rimba.

Pengadaan CPNS Departemen Kehutanan
Departemen Kehutanan baru saja menerima CPNS tahun 2007 sebanyak 555 orang dari berbagi bidang keahlian sesuai formasi yang ditetapkan Menpan. Untuk menerima jumlah tersebut Depertemen Kehutanan menseleksi jumlah pendaftar yang mencapai 41.045 pelamar. Spektakuler, itulah kata yang menggambarkan betapa banyaknya pelamar yang ingin menjadi rimbawan. Suatu hal yang membanggakan, ternyata profesi rimbawan sangat diminati para lulusan strata satu dari berbagai bidang keahlian. Dengan banyaknya pelamar dan terbatasnya formasi yang disediakan, maka untuk dapat lolos seleksi rata rata satu pelamar mengalahkan sebanyak 74 peserta lainnya. Kembali lagi, spektakuler, luar biasa kompetisinya. Dapat dipastikan bahwa pelamar yang diterima mempunyai Indeks Prestasi > 3. Suatu SDM potensial yang harus dikembangkan menjadi rimbawan andal.
Pola Karir Pegawai Negeri Sipil Departemen Kehutanan
Departemen Kehutanan telah mempunyai Pola Karir Pegawai Negeri Sipil Departemen Kehutanan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 76 /Menhut-II/2006 Tanggal : 22 Desember 2006. Tujuan utama dari Pola Karir adalah : 1. Mewujudkan iklim kerja yang kondusif, dan transparan di lingkup Departemen Kehutanan sehingga mampu meningkatkan motivasi kerja dan pengembangan potensi diri setiap PNS sehingga kinerja unit organisasi meningkat; 2. Mewujudkan pola pembinaan PNS di lingkup Departemen Kehutanan yang menggambarkan alur pengembangan karir yang menunjukkan keterkaitan dan keserasian antara jabatan, pangkat, pendidikan, diklat, kompetensi, dan masa kerja jabatan; 3 Memberikan kesempatan yang sama kepada setiap PNS untuk meniti karir secara optimal sesuai dengan kompetensinya.
Sayangnya dalam Pola Karir Negeri Sipil Departemen Kehutanan tidak ada keharusan bagi CPNS (perwira rimbawan yunior) untuk bekerja di “medan pertempuran” (baca hutan). Bahkan ada kecenderungan semakin lama bekerja di pusat akan semakin lancar dalam meniti karir sampai mencapai jenjang tertinggi.
Menurut statistik kehutanan, luas hutan Indonesia sekitar 101,77 juta hektar, yang “diurus” oleh PNS lingkup Departemen Kehutanan sebanyak = 15.734 yang terdiri dari 3.384 PNS yang bekerja di Departemen Kehutanan dan 12.350 bekerja di UPT (Balai Taman Nasional, Balai Pemantapan Kawasan Hutan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Balai Pengelolaan –Daerah Aliran Sungai, Balai Pemantauan, Pemanfaatan Hutan Produksi dan Unit Pelaksana Lainnya). (Data PNS sampai dengan 31 Agustus 2007).
Membentuk Perwira Rimbawan
Perwira artinya adalah gagah atau berani, arti lainnya adalah pahlawan (kamus besar bahasa Indonesia). Perkataan perwira terdapat pada kalangan kemiliteran, yang terbagi dalam tiga golongan yaitu: Perwira Pertama (letnan dua, letnan satu dan kapten) , Perwira Menengah (mayor, letnan kolonel dan kolonel) dan Perwira Tinggi yang ditandai dengan pemakaian bintang di pundak. Masing-masing kecabangan militer memiliki istilah tersendiri, seperti TNI-AD menggunakan Jenderal, TNI-AL menggunakan Laksamana, dan TNI-AU menggunakan Marsekal. (Wikipedia Ensiklopedia Bebas). Pada umumnya karir militer dimulai dari lulusan AKABRI, setelah itu ditentukan dari penempatan di lapangan – pendidikan/diklat – lapangan – pendidikan/diklat - lapangan dan seterusnya, sesuai dengan pola jenjang kemiliteran. Seorang Perwira Tinggi pasti pernah menjabat sebagai komandan peleton, komandan kompi, komandan batalyon dsb. Sangat mustahil seorang jenderal belum pernah menjadi komandan peleton atau komandan batalyon.
Rimbawan menurut Kamus Kehutanan (1989) adalah seseorang yang berkecimpung dalam profesi bidang kehutanan. Karir rimbawan untuk menjadi perwira tinggi rimbawan mengharuskan perwira rimbawan yunior mengetahui “medan tempur” yakni hutan itu sendiri. Alangkah anehnya seorang perwira rimbawan tetapi belum pernah masuk hutan, tidak mengetahui bagaimana menentukan volume pohon, tidak mengetahui tata cara inventarisasi hutan, tidak mengetahui tanah kritis dan masih banyak lagi daftar pertanyaan yang dapat diajukan.
Untuk itulah perlu adanya kesamaan pengertian akan tugas rimbawan. CPNS yang baru diterima diwajibkan mengikuti program “matrikulasi”, yakni dengan menempatkannya selama jangka waktu tertentu di UPT. Adanya matrikulasi, memungkinkan para lulusan strata satu dengan latar belakang pendidikan yang berbeda akan mempunyai pemahaman yang sama tentang hutan dan kehutanan. Program matrikulasi minimal satu tahun, yakni dengan menempatkan CPNS pada BTN/BKSDA, BP-DAS, BPKH dan BP2HP masing masing 3 bulan.
Biro Kepegawaian, Pusat Diklat Pegawai dan Sekretaris Dirjen/Badan membuat semacam “kurikulum” pengetahuan/keterampilan apa saja yang harus diketahui oleh perwira rimbawan yunior yang nantinya akan dilaksanakan oleh UPT. Misalnya kurikulum di BPKH adalah : inventarisasi, tata batas, pengukuran dan pemetaan, pembuatan peta secara digital, penyusunan Neraca Sumber Daya Alam dsb. Pelaksanaan kegiatan disesuaikan dengan tata waktu yang ada pada BPKH. Pada intinya selama menjalani kegiatan matrikulasi, perwira rimbawan yunior mengikuti kegiatan lapangan yang ada pada masing masing UPT. UPT berkewajiban membina dan membimbing perwira rimbawan yunior. Pada akhir program matrikulasi UPT membuat semacam “sertifikat” atau “surat keterangan” yang menerangkan pengetahuan/keterampilan yang telah diberikan kepada perwira rimbawan yunior. Selanjutnya, masing-masing perwira rimbawan yunior diwajibkan membuat laporan dan presentasi program yang telah dijalani di UPT di Biro Kepegawaian atau Pusdiklat Pegawai Kehutanan.

Penutup.
Membentuk perwira rimbawan adalah tidak mudah. Perlu pemikiran dan kesatuan tindak bersama dari Perwira Tinggi Rimbawan. Kita harus ingat bahwa kondisi hutan saat ini kurang menggembirakan. Data Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa angka kerusakan hutan pada tahun 2000 – 2005 mencapai 2,8 juta hektar per tahun.
Adanya tambahan SDM rimbawan yang potensial disertai dengan program matrikulasi yang terarah serta dikombinasikan dengan pola diklat dan pola karir yang berjalan seiring diharapkan mampu mewujudkan rimbawan harapan bangsa, rimbawan yang mempunyai 9 nilai dasar yakni : jujur, tanggungjawab, disiplin, ikhlas, visioner, adil, peduli, kerjasama dan professional.
Harapan kita semua dengan adanya tambahan rimbawan yang handal, kehutanan akan menjadi lebih baik. Semoga.


Bambang Winarto*, Staf Senior, pada Pusat Wilayah Pengelolaan Kawasan Hutan – Baplan, Penyusun Kamus Rimbawan.

SECERCAH HARAPAN PETANI HUTAN PADA HUTAN TANAMAN RAKYAT

Terbitnya PP No. 6 tahun 2007 patut disambut gembira, khususnya masyarakat yang berdomisili di sekitar hutan, Ada nuansa baru dalam tata kelola hutan di Indonesia. Salah satu yang paling menarik adalah pengaturan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Kita percaya bahwa dalam meluncurkan kebijakan baru, pemerintah pasti melandasinya dengan niat yang baik. Karena itu kita juga percaya bahwa tujuan utama program HTR adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun program tersebut tidak akan tercapai tanpa dukungan dan peran serta berbagai stakeholder.
PP ini telah memberi payung hukum HTR, khususnya pasal 40 dan 41. Pada pasal ini diatur mengenai penatapan areal untuk HTR, akses ke lembaga keuangan, dan penetapan harga kayu HTR untuk melindungi dan memberikan akses pasar kepada masyarakat. HTR dibangun di kawasan hutan negara yang berupa hutan produksi yang tidak produktif dengan jangka waktu ijin paling lama 100 tahun. Pemerintah mengalokasikan areal HTR kawasan hutan produksi seluas kurang lebih 15 ha beserta ijinnya untuk setiap individu dalam kelompok yang terdiri dari 6 – 8 anggota.
Pola Pengembangan HTR
HTR dilakukan dengan tiga pola. Pertama, pola mandiri. Dengan pola ini, pemilik HTR secara mandiri membangun HTR di lahan yang telah diberikan. Biaya pembangunan HTR dapat dilakukan dengan melakukan peminjaman kepada Badan Usaha Pembiayaan Pembangunan Hutan yang berada di bawah Departemen Kehutanan. Pemerintah sudah mengalokasikan dana pembangunan HTR sebesar Rp 9,7 triliun. Ketua kelompok bertanggung jawab atas pelaksanaan HTR, pengajuan dan pengembalian kredit. Pemerintah memberikan pinjaman dengan bunga yang cukup rendah. Pemerintah membantu dalam akses keuangan, pasar dan produksi. Kedua, pola kemitraan. HTR Pola Kemitraan dibangun oleh pemegang HTR bersama-sama dengan mitranya berdasarkan kesepakatan bersama. Pemerintah memfasilitasi pemegang HTR dalam kemitraan. Peran pemerintah adalah membuat pengaturan yang menguntungkan kedua pihak. Mitra bertanggung jawab atas pendampingan, input/modal, pelatihan dan pasar. Hasil HTR di bagi antara petani hutan dengan mitra sesuai dengan kesepatan kedua belah pihak. Ketiga, pola developer. HTR pola developer mencontoh mekanisme pembangunan rumah oleh developer. HTR untuk pertama kali dibangun oleh BUMN atau BUMS dan selanjutnya diserahkan oleh pemerintah kepada kepala keluarga pemohon HTR. Biaya pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang HTR dan dikembalikan secara mengangsur sejak Surat Keputusan IUPHHK-HTR diterbitkan
Pola yang akan diterapkan sepenuhnya bergantung kepada petani hutan. Namun demikian, pemerintah mempunyai kewajiban memberikan penyuluhan dan pemberdayaan kepada petani hutan. Pada sistem pertama, petani hutan pinjam kepada pemerintah sejumlah uang (kredit) untuk membangunan HTR; pada sistem kedua petani tidak perlu meminjam uang dari pemerintah, semua dana pembangunan HTR ditanggung oleh mitra, akan tetapi hasil yang diperoleh dibagi dua antara petani dan mitra; pada sistem ketiga, petani hutan sudah memperoleh HTR yang sudah jadi, petani tinggal mengembalikan biaya pembangunan yang telah dikeluarkan oleh developer secara bertahap.
Mewujudkan Petani Hutan Jadi Kaya
Pemerintah melalui Departemen Kehutanan berencana membangun areal HTR seluas 5,4 Juta hektar sampai tahun 2011 dengan rata rata setiap KK akan memperoleh 15 ha, maka akan melibatkan 360.000 KK. Alokasi kegiatan HTR dapat direncanakan sebagai berikut : tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 luas areal untuk HTR adalah 1.40 juta ha/tahun dengan melibatkan 93.333 KK/tahun dan pada tahun 2011 luas arealnya adalah 1.2 juta ha dengan melibatkan 80.000 KK.
Jenis tanaman adalah sesuai dengan keinginan dari petani hutan, namun disarankan mempunyai daur (umur) pendek (8 tahun), mempunyai nilai ekonomi tinggi dan mudah dalam pemasaran. Pemerintah harus dapat mengatur mekanisme pemasaran dengan pengusaha perkayuan.
Apabila pemegang HTR memutuskan memilih pola mandiri, maka perhitungan pendapatan petani hutan adalah sebagai berikut :
Kemampuan petani hutan pengolahan lahan seluas 1,875 hektare per tahun atau sekitar 15 hektar per Kepala Keluarga dalam 8 tahun, maka hasil produksi yang bisa diraih selama masa daur tanam sebanyak 150 meter kubik. Biaya tanam per hektar diperkirakan senilai Rp 7,5 juta dan perhitungan harga kayu sebesar Rp 200.000 per meter kubik. Karena itu, estimasi pendapatan yang bisa diperoleh dari HTR sebesar 15 x 150 x Rp 200.000 per meter kubik = Rp. 450.000.000,-/8 tahun, sedangkan biaya tanam 15 x Rp 7,5 juta = Rp. 112.500.000,-/8 tahun. Dengan demikian pendapatan bersihnya adalah = Rp 450.000.000,-/8 tahun - 112.500.000,-/8 tahun = Rp. 337.500.000,-/8 tahun = Rp 4.218.750,-/tahun atau Rp. 3.515.625,-/bulan per KK. Petani hutan tetap diperbolehkan melakukan penanaman diantara tanaman hutan dengan tanaman pertanian yang dikenal dengan sistem tumpangsari. Meskipun perhitungan di sini hanya merupakan simulasi, namun pendapatan pada contoh di atas dapat diwujudkan bila petani hutan bekerja dengan sungguh sungguh.
Pendapatan yang cukup besar memungkinkan petani hutan diajak dalam perlindungan hutan. Dengan demikian pemerintah dapat mewujudkan 2 (dua) tujuan sekaligus, yakni pengentasan kemiskinan pada masyarakat yang hidup disekitar hutan dan perlindungan hutan untuk menjaga agar hutan tetap lestari.
HARAPAN
Kata pepatah, kita boleh kehilangan apa saja, tetapi kita tidak boleh kehilangan harapan. Harapan petani hutan pada HTR sangat besar, harapan untuk hidup layak, harapan untuk dapat menyekolahan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, harapan untuk dapat naik haji, dan harapan harapan lainnya.
Semoga harapan petani hutan kaya dapat terwujud, semoga harapan hutan lestari dapat terwujud pula.

Bambang Winarto, Rimbawan Senior, Penyusun Kamus Rimbawan
Alamat : Villa Kebun Raya – Ciomas – BOGOR
HP:081316747515
Dimuat pada Majalah Penyuluh Kehutanan “KENARI”, Edisi 02 Tahun 2008

Rabu, 28 Mei 2008

AKHIRNYA..... BBM, NAIK JUGA

Akhirnya pemerintah menaikan harga BBM juga. Alasannya sangat sederhana, pemerintah tidak mampu lagi memberikan subsidi terhadap BBM yang jumlahnya mencapai 160 trilyun rupiah. Lagi pula data Sensus Ekonomi Nasional terakhir yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, sebesar 82 persen subsidi BBM dinikmati 60 persen warga berpenghasilan tingi. Sedangkan 40 persen penduduk miskin hanya menikmati 17 persen sisa subsidi itu. Jadi, kira-kira begini: Kalau subsidi Rp 100 triliun, maka sebesar Rp 82 triliun menyasar ke golongan penduduk yang tidak berhak menerimanya. Angka BPS itu menjelaskan kenapa antrean di SPBU yang membeli BBM bersubsidi yakni premium, lebih dipenuhi mobil mewah daripada angkutan umum. Luar biasa, bukan?
Yang saya tidak mengerti, sebelum BBM naik beberapa statemen dari para petinggi di Republik ini. Wakil Presiden, Jusuf Kalla menyatakan kalau BBM tidak naik, artinya pemerinta pro kepada orang kaya, karena subsidi yang diberikan kepada harga BBM lebih dari 80% dinikmati oleh orang kaya. Pertanyaannya sekarang apakah kenaikan harga BBM ini masih memberikan subsidi? Jawabnya masih. Jusuf Kalla berpendapat bahwa kenaikan bahan bakar yang berupa premium idealnya menjadi Rp.8000,-, bukan seperti sekarang yang hanya Rp. 6000,-. Kalau begitu berarti pemerintah masih pro kepada orang kaya, karena masih tetap memberikan subsidi.
Beda lagi pernyataan dari Menteri Perdagangan. Inilah pernyataannya, “seandainya saja saya dapat menetukan harga tentu saya tidak akan menaikan harga-harga yang sekarang dirasakan oleh masyarakat”. Memang betul harga cabe, harga beras, harga minyak goreng, harga gula dan harga harga lainnya yang menentukan adalah “pasar” bukan Menteri Perdagangan. Tetapi jangan lupa yang menetukan harga BBM adalah pemerintah. Bukankah Menteri Perdagangan adalah bagian dari pemerintah yang mempunyai andil besar dalam menetukan harga BBM?
Lain JK, Lain Mendag, lain pula pernyataan dari Menko Kesra, “pemerintah akan membagikan BLT plus. Bagi daerah yang tidak mau BLT plus yang silahkan saja”. Ini namanya sama saja mengadu antara rakyat dengan gubernu/bupati/walikota bahkan kepala kelurahan/kepala desa. Siapa siih yang tidak mau uang? Semua orang pasti mau. Jangan lupa pemerintah daerah juga bagian dari pemerintah. Sebenarnya yang diinginkan kepala daerah (provinsi/kabupaten/kota) dan kepala kelurahan/kepala desa adalah perlunya dialog antara pemerintah pusat dengan mereka. Pengalaman menunjukkan bahwa pembagian BLT selalu diwarnai dengan keributan pada masyarakat miskin. Itu yang sebenarnya ingin disampaikan oleh daerah.
Ketiga contoh pernyataan di atas adalah pernyataan yang tidak pantas dikeluarkan oleh petinggi. Mereka tidak merasakan bagaimana penderitaan masyarakat miskin, bagaimana susahnya mencari uang, meski hanya beberapa ribu rupiah saja.
Aksi Demontrasi
Minimal ada tiga alasan fundamental kenapa aksi demontrasi itu masih marak dilakukan.
Pertama, pemerintah ketika membuat kebijakan menaikkan harga BBM sama sekali tidak memperhatikan kepentingan rakyat sebagai stakeholder utama. Motif kenaikan harga BBM adalah ekonomi dengan standar harga dunia dan pasar serta asumsi APBN semata. Dalam hal ini faktor realitas sosial sama sekali tidak menjadi landasan pentimbangan dalam rencana kebijakan pemerintah tersebut. Padahal kenaikan harga BBM itu sangat membebani kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Kedua, kenaikan harga BBM hanya akan semakin menambah beban masyarakat miskin yang sampai saat ini masih juga menanggung beban krisis ekonomi. Kenaikan harga BBM telah mengakibatkan efek domino, sebab selalu diikuti dengan melonjaknya harga berbagai kebutuhan makanan pokok yang selalu dikonsumsi masyarakat akar rumput. Belum lagi ditambah dengan naiknya ongkos angkutan umum yang kian mencekik leher masyarakat miskin kita.
Ketiga, adanya kekhawatiran tidak sampainya dana kompensasi dari kenaikan harga BBM ke tangan yang berhak menerimanya. Diprediksi oleh banyak kalangan akan terjadi lagi apa yang disebut "tradisi korupsi". Ini cukup beralasan sebab mental korupsi masyarakat Indonesia masih tergolong tinggi.
Karena itulah, kebijakan menaikkan harga BBM dinilai tidak etis. Pemerintah kurang kreatif dalam mencari alternatif penyelesaian terhadap defisit APBN. Padahal di luar kebijakan menaikkan harga BBM ini masih terdapat banyak alternatif lainnya yang lebih baik.
Alternatif Sederhana.
Pemerintah nampaknya mengambil jalan yang paling enak, tidak mau repot-repot mengurusi rakyat kecil. Rakyat kecil cukup diberi BLT plus. Coba saja pemerintah mau berpikir dan melaksanakan kebijakan BBM yang paling sederhana, tentu akan memberikan hasil yang jauh lebih baik. Apa itu? BBM tidak perlu dinaikan untuk kendaraan yang berplat kuning, kendaraan plat hitam dan plat merah diharuskan menggunakan BBM non subsidi. Gampang bukan? Masyarakat yang mampu membeli mobil atau sepeda motor (plat hitam) tentu masuk kategori kaya, sedangkan plat merah dibiayai oleh pemerintah, tentu membeli BBM non subsidi tidak jadi masalah. Yang perlu kerja keras dari pemerintah adalah mengamankan pembelian BBM dari kendaraan plat kuning untuk keperluan non angkutan. Tetapi ya… itu memang kerja pemerintah, mengawasi, membuat sistem bagaimana kendaraan plat kuning tidak membeli BBM untuk dijual kembali. Barangkali kartu “smart card” yang pernah dilontarkan oleh pemerintah dapat diterapkan untuk kendaraan plat kuning.
Kebijakan yang sederhana di atas akan memberikan keberpihakan kepada rakyat kecil. Yang jelas tarif transportasi tidak naik. Yang jelas akan lebih banyak orang yang akan menggunakan kendaraan umum. Yang jelas lalu lintas di kota kota besar akan tidak terlalu padat. Yang jelas akan terjadi penghematan BBM. Yang jelas tidak ada lagi subsidi kepada rakyat kaya. Yang jelas .... masih banyak lagi. Dan yang terakhir, yang jelas kebijakan ini jauh lebih baik daripada kebijakan kenaikan BBM yang sekarang diambil oleh pemerintah.
Gampang bukan? Sayang ......., saya bukan presiden.

Senin, 05 Mei 2008

MENCOBA MEMAHAMI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 2 TAHUN 2008

Tepat dua bulan sejak diundangkannya PP 2/2008 pada tanggal 4 Februari 2008, sampai sekarang (4 April 2008) masih menjadi polemik di berbagai media masa. Sebagian masyarakat: akademisi, pecinta lingkungan, legislator, bahkan kalangan birokrat sendiri (gubernur Kaltim), tidak sependapat dengan PP tersebut. Berbagai artikel banyak dimuat di media masa dengan berbagai argumentasi. Pemerintah tidak bertanggung jawab, menghargai tanah hutan lindung hanya 1,2 – 3 juta per hektar atau Rp 120 – Rp 300,-/m2, lebih murah dari harga sepotong pisang goreng.
Judul PP 2/2008 yang panjang yaitu :” Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan”, ternyata tetap kurang dimengerti oleh masyarakat. Masyarakat tetap menganggap bahwa hutan lindung dapat disewa dengan besaran tariff di atas.
Betulkah pemerintah tega menyewakan tanah hutan lindung sebesar tariff di atas? Mungkinkah dalam era keterbukaan, dengan kontrol yang ketat dari masyarakat, pemerintah masih berani mengeluarkan kebijaksan yang bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi?
Tulisan ini mencoba mengikuti jalan pikir pemerintah dalam menentukan PP 2/2008.
Penggunaan Kawasan Hutan Tidak Hanya Untuk Pertambangan
Menurut UU 41/1999 tentang kehutanan, hutan akan lestari dan memberikan mamfaat sebesar besarnya bagi masyarakat apabila dilakukan pengelolaan dengan baik. Pengelolaan Hutan terdiri dari :1. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;2. pemanfaatan hutan; 3. penggunaan kawasan hutan; 4. rehabilitasi hutan dan reklamasi dan ;5. perlindungan hutan dan konservasi alam. Selanjutnya yang dimaksud dengan Penggunaan Kawasan Hutan, adalah kegiatan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status dan fungsi pokok kawasan hutan. (PP 34/2002).
Sesuai dengan kewenangnnya Menteri Kehutanan mengatur penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan non kehutanan. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.14/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, disebutkan bahwa penggunaan kawasan hutan dapat untuk tujuan strategis atau kepentingan umum terbatas. Yang termasuk untuk tujuan strategis adalah :a. Kepentingan religi; b.Pertahanan dan keamanan;c.Pertambangan; d.Pembangunan ketenagalistrikan dan;f. instalasi teknologi energi terbarukan;g.Pembangunan jaringan telekomunikasi; h.Pembangunan jaringan instalasi air; sedangkan yang termasuk untuk kepentingan umum terbatas : a.Jalan umum dan jalan (rel) kereta api;b. Saluran air bersih dan atau air limbah; c.Pengairan; d.Bak penampungan air; e.Fasilitas umum; f.Repeater telekomunikasi; g.Stasiun pemancar radio; atau h. Stasiun relay televise).
Pinjam pakai kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan dilakukan dengan ketentuan :
a. Pinjam pakai kawasan hutan diberikan secara selektif hanya untuk kegiatan-kegiatan yang tidak mengakibatkan kerusakan serius dan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan.
b. Di kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
Dari penjelasan di atas kiranya jelas bahwa penggunaan kawasan hutan hanya diperkenankan pada hutan produksi dan hutan lindung saja. Penggunaan kawasan hutan tidak diperbolehkan pada kawasan hutan konservasi (cagar alam, suaka margasatwa, taman buru, taman nasional). Selanjutnya apabila pinjam pakai untuk kegiatan pertambangan maka kegiatan pertambangan terbuka tidak diperkenankan pada hutan lindung. Pertambangan terbuka hanya diperbolehkan pada hutan produksi.

PP 2/2008 Hanya Mengatur Tarif
PP 2/2008, hanya mengatur besarnya tarif dan ditujukan hanya kepada pihak pihak lain yang telah menggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar, tidak lebih. Misalnya dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, telah menetapkan 13 perusahaan tambang di hutan lindung, maka hanya perusahaan tambang itulah yang dikenakan PNBP. Bagaimana jika di hutan lindung lainnya terdapat potensi tambang apakah perusahaan tambang dapat langsung menyewa (mengeksplotasi) dengan membayar sesuai tariff yang tercantum dalam PP 2/2008? Tentu saja tidak demikian. Ada prosedur perizinan yang harus ditempuh. Bahkan untuk memperoleh izin harus memperoleh persetujuan dari DPR, karena harus mengubah undang undang yang telah ada. Bagaimana dengan pinjam pakai lainnya, apakah dikenakan PNPB? Jawabnya Ya. Pinjam pakai bukan hanya untuk pertambangan saja, tetapi juga untuk yang lainnya sebagaimana diutarakan di bagian depan. Kehutanan menyediakan ruang untuk pembangunan di luar kehutanan dengan prosedur sebagaimana di atur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.14/Menhut-II/2006. Yang perlu mendapat perhatian justru pemanfaatan PNBP tersebut. Uang hasil sewa (baca pinjam pakai) harus dipergunakan untuk kegiatan reklamasi dan rehabilitasi hutan lindung yang disewanya atau pada hutan lindung lainnya yang telah mengalami kerusakan. Berdasarkan perhitungan kasar, pada tahun 2008 pemerintah akan memperoleh pendapatan sebesar kira-kira 600 milyard. Suatu pendapatan yang lumayan. Jika kegiatan rehabilitasi hutan dalam satu hektar memerlukan dana sebesar 5 juta rupiah, maka PNBP tersebut dapat digunakan untuk merehabilitasi hutan lindung seluas 120.000 hektar.

Penutup
Ramainya polemik keluarnya PP 2/2008 patut dihargai. Masyarakat semakin merasakan pentingnya hutan lindung. Masyarakat berhak mengetahui setiap kebijakan pemerintah, masyarakat berhak pula mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi, apabila pemerintah dianggap telah melanggar peraturan perundang undangan atau merugikan masyarakat luas. Bahkan masyarakat berhak untuk ikut dalam proses penyusunan peraturan perundang undangan. Suatu pelajaran yang berharga bagi pemerintah. Willam Dunn, dalam bukunya yang berjudul Pengantar Kebijakan Publik menyebutkan bahwa dalam penyusunan peraturan perundang undangan harus melibatkan stakeholders dalam suatu proses sejak penyusunannya sampai ditetapkannya. Ini barangkali yang merupakan kelemahan keluarnya PP 2/2008. Bukankah suatu peraturan perundang undangan dibuat pada akhirnya bermuara untuk kebaikan dan kesejahteraan masyarakat?

Selasa, 29 April 2008

KAMUS RIMBAWAN

KAMUS KEHUTANAN Berisi Ribuan Istilah Kehutanan, tepatnya 3535 pengertian dari istilah yang berhubungan dengan kehutanan berdasarkan Peraturan Perundang Undangan Kehutanan sehingga dapat dijadikan Panduan Praktis para Rimbawan.
Dicetak d jumlah terbatas dengan kertas HVS, ukuran 14,5 x 21 cm dan tebal xiv + 528 Han.
Harga Rp.75.000,- belum termasuk ongkos kirim. Buku dapat diperoleh di Departemen Kehutanan atau dipesan langsung kepada Ir. Bambang Winarto, MM dengan mentranfer uang ke Rekening No. 133-00-0438845 Bank Mandiri Cabang Jakarta Kehutanan, HP : 081316747515

Sebagai gambaran di bawah ini disajikan sebagian dari istilah yang berhubungan dengan kehutanan.

Gaharu, Aforestasi, Tumbuan dan Satwa, Agroekosistem, Air , Baku, Limbah , Permukaan,Tanah, Akar,Samping, Aklimatisasi Bibit, Akreditasi, Akta Buru , Aktiva, Akuisisi, Saham, Akuntan Publik, Berhutan, Palet, Alih Teknologi, Alur, Hitam, Kulit, Mata Kayu , Minyak, Orang Utan, Anak Petak, Cabutan, Analisa Data, Jabatan, Kemurnian, Dampak Lingkungan Hidup, ANDAL, Potensi Kawasan , Kebutuhan Diklat, Dampak , Analisis Resiko, Organisme Pengganggu , Rotan , Kehutanan, Angka Kredit , AAC, Appendiks, Arah Serat, Arang Aktif, Areal , Pemungutan Hutan, Konservasi , Rehabilitasi dan Lahan , RHL, APL, Pengumpulan Benih, Sumber Daya Genetik, Mangrove, Arsip, Aktif, Dinamis, Duplikasi, Inaktif, Konvensional, Seri , Statis, Artikel, Asal , Asalan , Alam Hayati , Asas , Asisten, Administrasi, Asosiasi Pemanfaatan, Liar, Audit Komprehensif, Lingkungan Hidup. Badan, MPB, Litbang, Baplan, Standarisasi Nasional , BSN, BUMD, BUMN, Bagan Kerja, BKPH, Bagian , Bahan Asal, Hasil Tebangan , Industri, BBS, Berbahaya Dan Beracun, B3, Pengawet, Mutu, , Balai, BKSDA, BPKH, Balai , BP DAS, BPTH, Pesuteraan , BSPHH, BTN, Balak, Balok, Bambu, Bundar, Banding, Bangunan Pengendali Jurang, Terjunan, Banjarharian, Cemplongan, Jalur, Bantalan, Orang Utan, Bukti, Ekspor, Jadi, Pas, Nipah, Batas , Pengelolaan, Fungsi, Hutan, Kombinasi, Batas Luar, Pinjam Pakai , Zonasi, Bebak, Beban Pencemaran, Bedeng, Ampelas, Goresan, Hati, Mata Sehat, Pisau , Sadapan, Belah, Bina, Generatif, Keras, Segar, Tanaman , Vegetatif, Benjolan, Bentang , Berat Jenis, Kering, Telur Penyu, Berita Acara, Pelelangan, Pemeliharaan Tanda Batas, Pengumuman, Bersih, Besar Butiran, Biaya Operasional Intelijen, Pemeriksaan Pengukuran, Pengujian Hutan, Biaya Pengganti, Cabutan, Jati, Kokoh Tegar, Mangrove, Sehat, Siap Tanam, Tanaman Hutan, Biji, Bilah Sambung, Asam, Bilet, Bimbingan, Bingkai, Bintik Merah, Biomassa, Bioteknologi, Blok , Kegiatan, Kerja, Pemanfaatan, , Bluestain, Bontos, Booklet, Brigade Keban Hutan, Briket, Brosur ,Broti, Besar, Kecil, Bubuk Kering, Pohon, Buku, Silsilah, Studbook, Buncak-Buncak, Bundar, Bundel, Noda Hangus, Walet, Busuk. Cabutan, Cacat, Bentuk, Gergajian, Papan Sambung, Permata, Berat, Kempa, Khas, Ringan, Sehat, Teknis, Tidak Sehat, Ukuran, Cagar , Biosfer, Cangkokan, Cekungan , Celah, Celup, Checking Cruising , Citra Satelit , Clear And Clean, CITES ,Coral Rock, Counterpart. Daerah, Daerah Aliran Sungai, DAS, Penyangga, Rawan Keban Hutan, DHH, DIPA, LHC, Buku Biru, DUPAK, Dam Penahan, Pengendali, Damar, Besar, Penting, Biofisik, DAK, DAU, Dana Bagi , Bergulir, Darurat, Dekonsentrasi, Investasi Pelestarian Hutan, Jaminan Kinerja Hak Hutan, Pemerintah, DR, Danau, Data, Daur Tanam, Tanaman, Berkecambah, Tampung Beban Pencemaran, Tarik Wisata , Dead Coral, Degradasi Hutan, Dekonsentrasi, Dekoratif, Delaminasi, Deliniasi, Batas, Demonstrasi, Dempul, Departemen , Desa, Desentralisasi, Deteksi Dini, Dimensi , Manajemen, Dinas Daerah, Kabupaten / Kota, Provinsi, Direksi, Direktorat Bina Pengembangan Hutan , Pengembangan Hutan Tanaman, Pengo, Pemasaran Hutan, Perhutanan Sosial, Rehabilitasi Hutan, Ditjen BPK, Perlindungan , PHKA, Rehabilitasi Dan Perhutanan Sosial, RLPS, Keanekaragaman , Pemanfaatan Jasa Lingkungan Dan Wisata , Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Pengendalian Hutan, Penyidikan Dan Perlindungan Hutan, Peran Tanaman Hutan, Rencana Pemanfaatan Hutan , Direktur, Direktur Jenderal, Diseminasi, Dolok, Doreng, Dorman, Dosir, Draught Survey, Dumping-Off. Ekolabel, Ekosistem, Ekotipe, Eksplan, Eksploitasi, Eksplorasi , ETPIK, Ekstraksi, Embung, Enclave, , Entries , Eradikasi, Eselon, Evakuasi dan Penyelamatan, , Evaluasi, Expert . Faktor Eksploitasi, Pengaman, Famili, Fasilitasi, Fenotipe, Flip Chart , Peta Singkap, Folder, Formasi, Hutan Kemasyarakatan, Prakiraan Maju.Gabeng, Gaharu, Buaya, Gambir, Gambut, Garis Sempadan Sungai, Geladi, Gelam Tersisip, Gelodog, Gembol, Genotipe, Gerhan, Plasma Nutfah, Gerowong, Getah, Global Positioning System (GSP), Golongan Ruang, Gondorukem, Ground Check, Gubal, Gaharu, Gubernur, Gulma, Habitat, Walet, Pelindung, Pakan , Hak, Masyarakat Hukum Adat, Pemungutan , Tanaman, , Pulp, , Hama Dan Penyakit, Harga Lelang, Pasar, Bukan , Temuan, Non, Rakyat, Rampasan, Sitaan, Penataan Batas, Hati , Produk Rekayasa Genetik, PRG, Hibah, Hibridisasi, Hot Spot., , Adat, , Bakau, Cadangan, Dataran Rendah, Desa, Hak, Kemasyarakatan, Kota, Lindung, Mangrove, Masyarakat, Negara, Payau, Dengan Tujuan Khusus, Konversi, HPK, Terbatas, HPT, HR, Rawang, HT, HTI, Tanaman Rakyat. Identifikasi Jenis , Kebutuhan , Perambahan Dan Perladangan Berpindah, Potensi , Ilaran Api, Indikator, Kinerja, Tolok Ukur Keberan, Pengelolaan Secara Lestari, Hilir, Pengo , IPHH, IPHHBK, IPHHK, IPKH, Jabatan, , Ketenagakerjaan, Inspektorat Jenderal, Itjen, Instalasi Karantina, Instansi Pembina, Jabatan Fungsional, Pemeriksa, Vertikal, Institusi, Instruksi , Intensitas Inventarisasi, Interpretasi Skala, Introduksi Laut, Invensi, Inventarisasi, Flora, IHMB, Jenis , Dan , Non Terestris, Populasi, Potensi , Sosial Bu, Tegakan, ITSP, Timber Cruising, Volume, IHPH, IIUPH, Iuran Izin Kegiatan Kemasyarakatan, Koridor, Pemanfaatan , Pemasukan Dan Penggunaan Peralatan, Pembuatan Koridor, Izin Pemindahan Peralatan, Pemungutan Bukan (IPHHBK), Penran, Penggunaan Koridor, Pengumpul , Obyek Wisata , Pariwisata, Taman , Pakai Lindung, Izin Sah Lainnya (ISL), Izin Kebun , IUPHHK Pada Tanaman, Izin , Jabatan, Fungsional, Karier, Negeri, Organik, Struktural, , Jalan Angkutan , Jalur Antara, Hijau, Jalusi, Jamur Biru, Perusak , Jarahan , Jaringan, Jatah Tahunan (JPT), Jenis Asing, Asli, Indegeneus, Terdomistikasi, Endemik, , MPTS, Niagawi, Jenis , Populasinya , Terancam Punah, Tanaman Penghijauan Kota, Turus Jalan, Tanaman Unggulan Lokal (TUL), Tata Batas, Kadar , Kadar Kotoran, Kader , Kanitap, Kamper, Kanal, Polybag, Damar, Kapasitas Izin, Kapulaga, Batu, Hias, Lunak, Karantina, Kaso, Bergambut, Budi, Cagar , Cagar Budaya Dan Ilmu Pengetahuan, Dengan Tujuan Khusus, Perlestarian (KPA), , Suaka (KSA), Pantai Berhutan Bakau, Mangrove, Pelestarian Plasma Nutfah, Penyangga, Perkotaan, Rawan Bencana , Resepan , Suaka , Suaka Marga, Taman , Taman Raya, Taman , Taman Wisata , Bahan (BBS), B, Kelambangan, Bentukan, Moulding, Eksterior, Brongkol, Bulat, Kecil, Pertukangan, Sedang, Bundar, Besar, Daun Jarum, Gergajian, Gmelina, Jabon, Jati, Bundar Kecil, Mahoni, Melayang, Terapung, Merbau, Mewah, Perkakas, Perupuk, Pulp, Rasamala, Rimba, Sedang, Sengon, , Sonokeling, Sonokembang, Sungkai, Tenggelam, Tusam, Venir, Gelondongan, Balak, Dolok, Log, Cendana, Daun Jarum, Soft Wood, Daun Lebar, Hard Wood, Gelondongan, Gergajian, Pendek, Rimba, Mebel, Senyawa Bor, Perkebunan, Jati, Kurang, Lamina, Lapis, Bermuka Film, Lapis Indah, Muka Kertas, Muka Polyvinil Clorine (PVC), Penggunaan Umum, Pacakan, Swalep, Pas, Perkakas Bernomor, Rampasan, Segi Empat, Sehat, Serutan, Serutan S0S, S1S, S2S, S3S, Serutan S4S, Sitaan, Sortimen Khusus, Temuan, Keamanan Produk Rekayasa Genetik, Lingkungan, Keanekaragaman , Keawetan , Keban Bawah, Tajuk, Kebun , Klon, Seleksi, Semai, KBD, Kebun Binatang, Botani, Murbei, Kecamatan, Kecambah, Minyak Putih , Kenampakan, Nampak A, Nampak B, Nampak C, Kelembagaan, Kelestarian Fungsi Ekologi, , Sosial, Keliling, Kelola Lingkungan, Kelompok , Kerja, Koordinasi, Monitoring Dan Evaluasi, Kelompok Pecinta (KPA), Kelompok Tani, Keluaran , Kelurahan, Kelurusan, Keluwek, Kemangi, Kemedangan, Kenaikan, Reguler, Kencur, Kepala Badan, Balai, Daerah, Dinas Kabupaten/Kota, Dinas Provinsi, Kantor, Resor, Seksi Wilayah, Kepariwisataan, Kepentingan Strategis, Kepolisian , Ker Acuan, Term Of Reference TOR, Logis, Kerapatan Lindak, Partikel, Kering, Angin, Udara, Keriput, Kerjasama Operasi, KSO, Kerusakan , Laut, Kesatuan Pemangkuan (KPH), KPHP, Kesehatan Pohon, Keseimbangan , Kesesuaian , Kesilindrisan, Kinerja, Klon, Koefisien, Kokon, Bentuk Aneh, Berlekuk, Berlubang, Cacat, Kembar, Kotor , Kotor Luar, Lembek, Normal, Segar, Tercetak, Ujung Tipis, Kolaborasi Pengelolaan Suaka Dan Pelestarian , Koloni, Kolusi, Penilai, Pusat, Kompensasi, Kompetensi, Inti, Kerja, Komponen Mebel, Komponen Menguap, Kompos, Serbuk Gergaji, Eksternal, Internal, Kondisi In-Situ, Lingkungan Pelestarian , Spesifik Biofisik, Temuan, Kongkoa, Konpensasi, Konsentrasi Larutan, Ex-situ , Konsultan, Auditor, Penafsir, Konsultasi, Kontinuitas, Kontrak, Kontraktor Penanaman, Kontras Warna, Koordinasi, Kelembagaan, Pelaksanaan, Pembinaan, Pengawasan, Pengendalian, Perencanaan, Sektoral, Wilayah, Koordinator, Kopal, Koperasi, Koreksi Geometris, Radiometris, Koridor, Korupsi, Kota, Vertikal, Kotiledon, Kotoran, Rakyat, KUK-DAS, Perhutanan Rakyat, tani Persuteraan , Kriteria, Kerusakan Laut, Lingkungan Hidup, Kriteria Mutu , Kuku Macan, Kulit Akasia, Bakau, Gelam, Gemor, Manis, Tinggi, Kulilawang, Malapari, Masoi, Mengelupas, Nyirih, Pulosantan, , Spati, Salaro, Soga, Suka, Tancang, Tangir, Tarok, , Tumbuh, Kultur Jaringan, Kumis Kucing, Kumpulan , Kuncup Dorman, Terminal, Kunus, Kunyit, Kuota, Tahunan, Kurikulum, Kursus Tani, Kusen, Kutipan.Label, Pengumpulan, Pengunduhan Buah, , Berhutan, Kritis, Tanaman (HTI), Lak Butiran, Lak Cabang, Lalu Lintas , Lampiran Pas, Lampit , Landskap Jalan, Lantai , , Lapisan Belakang, D, Inti, Muka, Laporan (LHP), Dinas, an, LCH, Daftar Klem, Laporan Pemeriksaan (LHP), Laporan Penebangan (LPH), Laporan Mutasi (LMK), Laporan Bukan , Laporan Tahunan, Lapuk, Larikan , Laut, Leaflet, Folder, Lebar , Leher , Lekang, Lembaga, Ekolabel, , , , Operasional, Pelatihan Program Ekolabel, Pendidikan Dan Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan, Penilai Independen, Penyedia Jasa, Perwakilan, Sertifikasi , Sertifikasi , Sertifikasi Lacak Balak, Pengelolaan Lestari, Personel, Lembaga Swa Masyarakat, Teknis Daerah, Lengar, Lengkuas, Lengkung, Lepuh, Lidah, Lilitan, B3, C, Padat, Pembalakan, Tebang, Limit Diameter Tebang Pohon, Lingkungan, Lingkungan Hidup, Lintasan Api, Lis, Lisensi, Lisensi Wajib, Live Rock, Lock Out, Log , Lokya , Lokasi Kemasyarakatan, Rakyat, Penghijauan, Lot Luas , Bergetah, Binatang, Cacing Laut, Gerek, Besar, Gerombol, Kecil, Jarum, Sedang, Tersebar Merata, Inger-Inger, Lubang Kapur, Mata , Oleng-Oleng, Paku, Pelatuk, Uter-Uter. Majalah, Makalah, Maket, Management Auitority, Otoritas Pengelola, Manajemen , , Pegawai Negeri Sipil, Unit, Mandor Tanam, Manggala Agni, (Galaag), Mangrove, Marking, Masak Tebang, Master Peta Penafsiran Citra Satelit, Masyarakat Desa , Sasaran Penyuluhan , Tradisional, Mata , , Busuk, Hidup, Lepas, Mati, Paku, Sehat, Tidak Sehat, Pecah, Tunas, Titik Tumbuh, Materi , Padat , Material Genetik, Mebel , Media, Media , Gambut, Kompak, Lepas, Patah, Pembawa, Retak, Sapih, Semai, Tabur, Media, Media Utuh, Mediator, Pembangunan Bersih, Melakukan Gelar Perkara, Melengkung, Kearah Lebar, Melepaskan Kembali Ke Habitatnya, Melepuh, Melintang, Memuntir, Membatasi Kerusakan Dan , Membusur, Memelihara Batas, Memo, Memuntir, Melintang, Menara Api, Pengawas Api, Pengawas Keban, Mencawan, Menduduki , Menganalisis Keban , Mengotori, Menteri , Merambah, Merendam, Peman,Microchip, Migrasi Gen, Mikorhiza, Minyak Atsiri, Biji Jarak, Tengkawang, Cendana, Ekaliptus, Fuli, Gandapura, Ilang-ilang, Kamper, Manis, Putih, Kemiri, Kenanga, Kenari, Keruing, Kilemo, Lawang, Lemak, Makadamia, Masoi, Mimba, Nilam, Pelikan, Pinus, Sereh, Sindur, Terpentin, Tol, Trawas, Tul, Misi, Mitra Kerja, Model, Modul, Molen, Monitoring, Daerah Rawan, Populasi, Mopuk, More, Moulding, Moutaiser, Muka, Bersih, Mulsa, Multiplek, Museum Botani, Zoologi, Musim , Musyawarah Perencanaan Pembangunan, Mutasi , Gen, Mutu A, Mutu B, Mutu C, Mutu, Mutu , Genetik, Lapis, Papan Blok, Venir. Naskah, Naungan, , Negara Asal Genetik, Negara, Nektar, Nepotisme, Neraca (NSDH), Nerawang, Nilai Kekokohan , Konversi, Nira, Noda, Basah, Biru, Bluestain, Cuaca, Hangus, Noda Minyak, Perekat, Non Arsip, Nota Dinas, Kesepahaman Bersama. Obligasi Daerah, Obyek dan Tarik Wisata, Lelang, Pemeriksaan, Wisata , Okulasi, Okupasi, Operasi, Pengamanan Fungsional, Gabungan, Lembaga Operasional, Opini, Optimalisasi Manfaat , Orang, Orasi Ilmiah, Organisasi Lingkungan Hidup, Profesi, Pengganggu , Pengganggu Karantina, Pengganggu Penting, Organoleptik, Orientasi tani Menetap, Ortet, Otonomi Daerah, Otoritas Keilmuan, Scientific Authority, Otoritas Pengelola, Management Auitority, Outflow Gate , Outflow Gate , Output (Keluaran), P 21, Pabrik Gondorukem , Terpentin, Pagu Definitif, Indikatif, Sementara, Pakah, Pakan, P, P Integritas, Pal Batas , Palu Tok DK , Pameran, Panel , P, Panen Rampasan, Tetasan, Pangan, Pt, Panitia, Pelelangan, Pengadaan, Pengadaan B/Jasa, Penyelesaian Keberatan, Tata Batas, Teknis, Panjang, Papan, Bedeng, Bersimpir Lekat, Bersimpir Lepas, Blok, Blok Contoh, Blok Penggunaan Umum, Buletin,/Bulletin Board, Geladak, Gypsum, Lantai, Lebar, Lis, Partikel, Pengumuman, Sambung, Tempel Dekoratif, Sambung Tidak Utuh, Sambung Utuh, Semen, Sempit, Serat, Tebal, Wool , Para Pihak, Parit, Pariwisata , Partai, Bentukan, Gegajian, Partisipasi, Partisipasi Masyarakat, Pas Angkutan dan , Pasteurisasi, Paten, Patok Batas, Patroli, Keban, Pecah, Banting, Bontos, Busur, Gelang, Hati, Lepas, Melintang, Miring, Rambut, Slemper, Terbuka, Tertutup, Pedoagroklimat, Pedoman, Pegawai Negeri, Pegawai Negeri Sipil , Pegawai Negeri Sipil Pusat, Pegawai Tugas Belajar, Pejabat, Berwenang, Pejabat, Pembina Kepegawaian, Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota, Daerah Provinsi, Pusat, Pembuat Komitmen, Pemungut, Penagih Pungutan/Iuran Menp , Liar, Penagih Pungutan/Iuran Mengangkut Liar Dan , Pungutan/Iuran Pariwisata , Pungutan/Iuran Taman , Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sahnya (P2SKSHH), Penetap , Pengadaan, Pengelola Keuangan Daerah, Pengesah Laporan Penebangan (P2LPH), Pengusul, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) , Pekerjaan Borongan, Kompleks, Penanaman, Pelabelan Produk , Pelaburan, Peladang Berpindah, Pelaku , Pelanggan, Pelanggaran, Dibidang Eskploitasi , Dibidang , Pelaporan, Pelat , Pelatihan, Kerja, Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja, Pelelangan HPH , Pelelangan IUPHHK Pada Atau Tanaman, Pelelangan IUPHHK Pada Tanaman, Pelepasan , Pelepasan Varietas, Pelestarian Dukung Lingkungan Hidup, Pelestarian Tampung Lingkungan Hidup, Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup, Pelindung Siku, Pelindung Sudut, Pelindung/Penguat Tebing Sungai, Pelingkupan Lapangan, Pemadaman Awal/Dini, Pemadaman Keban, Pemadaman Keban , Pemadaman Langsung, Pemadaman Tidak Langsung, Pemagangan, Pemancangan Patok Batas, Pemandu , Pemanenan S ng Walet, Pemanfaat Bahan Berbahaya Dan Beracun, Pemanfaatan Bukan , Pemanfaatan , Pemanfaatan , Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Pemanfaatan Jasa Lingkungan Pada Lindung, Pemanfaatan Jasa Lingkungan Pada Lindung/ , Pemanfaatan Jasa Lingkungan Pada , Pemanfaatan Jenis, Pemanfaatan Pada Lindung, Pemanfaatan Pada , Pemanfaatan , Pemanfaatan Rakyat, Pemanfaatan Bahan Berbahaya dan Beracun, Pemanfaatan S ng Walet, Pemanfaatan Secara Berkelanjutan, Pemanfaatan Oleh Masyarakat, Pemanfaatan Tradisional, Pemsan , Pemsan Tanaman Sela, Pemantapan , Pemasakan Buatan/ Pemeraman Pematahan Dormansi, Pembaharuan HPH, Pemban Terkendali, Peman Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan Hidup, Pembangunan Jalur Hijau, Pembangunan , Pembangunan Sarana/ Prasarana Pengelolaan Taman , Pembangunan Transmigrasi Tanaman Pembebasan Vertikal, Pembelajaran, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pemberantasan Illegal, Pemberan Masyarakat, Pemberan Masyarakat Setempat di D Dan Atau Sekitar , Pemberitahuan Ekspor , Pemberlakuan Standar Indonesia (SNI), Pembersihan, Pembersihan , Pembersihan Persamaian, Pembesaran, Pembesaran , Pembiakan Vegetatif, Pembiayaan, Pembinaan, Pembinaan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan atau wakil pemerintah di daerah. (PP 20/2001).Pembinaan Daerah Penyangga, Pembinaan Habitat, Pembinaan Habitat , Pembinaan Habitat Dan Populasi , Pembinaan Masyarakat Desa , (PMDH) , Pembinaan Masyarakat, Pembinaan Pengukuran Dan Pengujian , Pembinaan Populasi, Pembinaan Teknis Administratif, Pembinaan Teknis Fungsional, Pembuangan (Dumping), Pembuatan Cemplongan, Pembuatan Tanaman Dengan Sistem Silvikultur Intensif, Pembukaan Wilayah , Pem, Peman, Pemegang Hak (HPH), IUPHHK, Izin, Pengo Hulu, (IPKH), Koridor, Pemanfaatan , Pemanfaatan pada , Pemeliharaan, , Jalur Hijau, Jenis, Lanjutan, Pal Batas Tanaman, Tanaman Reboisasi, Tanda Batas, Pemasakan Buatan, Pemeriksa, Pemeriksaan, Khusus, Komprehensif, Operasional, Parsial, Pendahuluan, Reguler, Pemeliharaan Tanda Batas, Pemerintah Daerah, Pusat/Pemerintah, Pemetaan, Pemetaan , Pemilihan Penyediaan B/Jasa, Pemilik Goa, Pemilik Media Pembawa, Pemindahan, Penggiringan , Pemindahtanganan IUPHHK Pemohon, Pemohon Taman , Pemrsa, Pemukiman Transmigrasi, Pemuliaan Pohon, Pemuliaan Tanaman, Pemulihan Kondisi , Pemulsaan, Pemungut , Pemungutan , Pemungutan Bukan D Lindung, Pemungutan Dan Atau Bukan , Pemupukan, Pemusnahan Arsip, Pemutusan Hubungan Kerja, Penaburan , Penafsiran Visual, Penamaan Varietas , Penanaman, Modal, Penandaan, Penanganan, , , Pasca Keban, Perambahan Dan Perladangan Berpindah, Spesimen Sitaan, Penanggulangan Kerusakan , Penanggung Utang Untuk Dana DR/PSDH, Penanggungjawab Alat Angkut, Penpan, Liar, Spesimen Liar, Penr Liar, Dan , Penran, Liar Berkan , Penarikan Pinjaman Dana Reboisasi, (DR), Penataan Kerja, Batas, Batas Kerja HTI, Batas , Blok/Zone, , Penataan , Kelembagaan, Organisasi, Ruang, Zone/Blok, Penataan Zone/Blok Pelestarian (KPA), Suaka (KSA) dan Taman (TB), Penatagunaan , , Penatapan (PAK), Penataan , Penawaran D Pelelangan HPH, Pencadangan , Penggunaan Lain, Pencegahan, Pencegahan Keban , Pencegahan Kerusakan Untuk Biomassa, Pencelupan, Pencemaran , Pencemaran Laut, Lingkungan Hidup, Pendaftaran Varietas, Pendamping, Pendampingan, Pendangiran, Pendapatan Asli Daerah, (PAD), Pendapatan Daerah, Pendapatan Negara, Pengunaan , Pendidikan, Pelatihan Kedinasan Kepolisian Kean, Pengendali Ekosistem , Penyuluhan , Pendudukan, Okupasi, Penebangan, Peneliti Asing, Penelitian, Penelusuran , Lacak Balak, Penemuan, Penerapan, Penerapan Standar Indonesia (SNI), Penerimaan Daerah, Penerimaan Negara, Penerimaan Negara Bukan Pajak, (PNBP), Penetapan, Penetapan , (PAK) , Batas , , Standar Indonesia (SNI), Penetrasi, Pengada , Pengedar , Pengadaan B/Jasa Pemerintah, , , Pengakuan Gelar, Pengamanan, Batas , Reboisasi, Pengamanan Jurang, (Gully Plug), , Lokasi Perambahan Dan Perladangan Berpindah, Tanaman, Pengambilalihan, Akuisisi Saham, Pengambilan Liar, Penganggaran Terpadu, Pengtan Pegawai Negeri Sipil, Pengangkut Bahan Berbahaya Dan Beracun , Pengangkutan, Pengawas, Penguji , Peran, Pengawasan, Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, B Bukti, Berjenjang, Pengendalian, Fungsional, , Ketenagakerjaan, Langsung, Legeslatif, Masyarakat, Peran, Represif, Tidak Langsung, Pengawetan, Jenis Dan Diluar Habitatnya, Untuk Perumahan Dan Gedung, Pengedar , Pengelola , , Unit Program Pengelolaan, Bahan B, Umpan Api, Bentang , Daerah Aliran Sungai, (DAS), Data Dan Informasi, Lestari, (PHAPL), Berkelanjutan, Lindung, Lestari, Secara Lestari, Untuk Tujuan Khusus, Pelestarian (KPA), Suaka (KSA) Dan Taman (TB), Pengelolaan Lindung, Pengelolaan Pelestarian , Pengelolaan Keuangan Negara, Pengelolaan Kualitas , Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pengelolaan Populasi Berbasis , Pengelolaan , Pengelolaan , Pengeluaran Daerah, Pengeluaran Negara, Pengembalian Spesimen Liar, Pengembangan, Pengembangan Bahan , Pengembangan Habitat, Pengembangan Penelitian, Pengembangan Cadangan Pangan, Pengembangan Kemitraan, Pengembangan Populasi Berbasis , Pengembangan Profesi, Pengembangan Swadya Dan Swya Petani, Pengembangbiakan, Pengembangbiakan , Pengembangbiakan Vegetatif, Pengendali Ekosistem , Pengendali Ekosistem Ahli, Pengendali Ekosistem Terampil, Pengendalian Ekosistem , Pengendalian, Pengendalian Rusak , Pengendalian Karya Cetak, Pengendalian Keban , Pengendalian Kerusakan , Pengendalian Pencemaran , Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut, Pengendalian Pengukuran Dan Pengujian , Pengepakan /, Pengeringan, Pengesahan Berita Acara Tata Batas, Penggabungan, Penggandaan Karya Cetak, Penggembalaan Ternak D , Penggiringan/Pemindahan , Pengguna , Penggunaan , Lindung Untuk Kegiatan Pertambangan, Untuk Kepentingan Strategis, Untuk Kepentingan Umum Terbatas, Penghapusan, Secara Bersyarat, Secara Mutlak, Penghara , Penggergajian, Bundar Besar, Penggergajian Bundar Sedang, Venir, Penghargaan Peng Bahan Berbahaya Dan Beracun, Penghijauan, Penghijauan , Penghijauan Unit Percontohan Pelestarian (UP-UPSA), Penghijauan Input Langsung (PIL), Penghijauan Kota, Penghijauan Swa, Pengkajian, Pengkajian Resiko (Risk Assessment) Produk Rekayasa Genetik (PRG), Pengkajian/Pengujian Teknologi Anjuran, Pengkayaan , Pengolah Bahan Berbahaya Dan Beracun, Pengo Bentang , Pengo Data, Pengo , Pengo Bahan Berbahaya Dan Beracun, Penguat/Pelindung Tebing Sungai, Penguji (PHH), Pengujian, Pengujian , Pengujian , Pengujian Lapis, Pengujian Venir, Pengukuhan , Pengukuhan , Pengukuhan Suaka Dan Pelestarian Peran, Pengukuran, Pengukuran Dan Pengujian, Pengukuran , Pengukuran Ikatan, Pengumpul Bahan Berbahaya Dan Beracun, Pengumpulan Data, Pengumpulan Bahan Berbahaya Dan Beracun, Pengumuman, Pengundangan, Pengunjung, Peng, Peng Taman , Taman , Taman Raya Dan Taman Wisata Laut, , Kebun Dan Taman , Pariwisata, Pariwisata , Pariwisata Berkan , Taman , Penilai, Penilai Lapangan, Penilaian Administrasi, Penilaian , Penilaian Ekonomi (SDA), Penilaian Harga, Penilaian Secara Lestari, Penilaian Keberan Gerakan Rehabilitasi Dan (GN-RHL), Penilaian Kegiatan Reboisasi/Rehabilitasi Lindung, Penilaian Kinerja, Penilaian Konsultan, Penilaian Lembaga Penilai Independen (LPI), Penilaian Proposal Teknis, Penilaian Teknis, Penilaian Terhadap LPI Dibidang Primer , Penilaian Tindak Lanjut, Penilikan, (Surveillance), Penimbun Bahan Berbahaya Dan Beracun, Penimbunan Bahan Berbahaya Dan Beracun, Peningkatan Manusia (SDM), Peningkatan Masyarakat Di Sekitar , Penjadwalan Kembali Pinjaman, Penjadwalan Ulang, Penjagaan, Penjan Populasi, Penjualan, Penjualan Dengan Kontrak, Penjualan Dibawah Tangan, Penjualan Lelang, Penomoran Dan Penandaan Batang, Penulis Pembantu, Penulis Utama, Penunjukan, Penunjukan , Penutupan (Forest Coverage), Penutupan (Lock Out), Penyajian Data, Penyajian Informasi Lingkungan (PIL), Penyakit , Penyakit Layu/Lanus (Dumping-Off), Penyaluran, Penyaluran Dana Reboisasi (DR) Untuk PMP-DR, Penyaluran Karya Cetak, Penyaluran Pinjaman Dana Reboisasi (DR), Penyapihan, Penyedia B/Jasa, Penyedia , Penyediaan Minum, Penyediaan , Penyediaan Pegawai, Penyelamatan Akibat Keban , Penyelamatan Diri D Pemadam Keban , Penyelenggara Negara, Penyelenggara Negara Yang Bersih, Penyelenggara Pengembangan SPAM , Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Penyediaan Minum (SPAM), Penyelenggaraan Penyuluhan , Penyelidikan, Penyemp, Penyertaan Modal Pemerintah Dari Dana Reboisasi (PMP-DR), Penyertaan Modal Swasta (PMS), Penyesuaian Ijazah, Penyetoran, Penyiangan Penyiapan , Penyiapan HTI Tanpa Pemban, Penyiapan HTI Untuk Tanaman Pokok Jenis Intoleran, Penyiapan HTI Untuk Tanaman Pokok Jenis Toleran ,Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) , Penyidikan, Penyimpanan Bahan Berbahaya Dan Beracun, Penyortiran Arsip, Penyulaman, Penyulingan Kohobasi, Penyuluh , Penyuluh Swa Masyarakat, Penyuluh Tingkat Ahli, Penyuluh Tingkat Terampil, Penyuluhan Hutan Kemasyarakatan, Penyuluhan , Penyusunan Data Dasar, Penyusunan Data Dasar Rakyat, Penyusunan Dokumen AMDAL, Penyusunan Dokumen UKL Dan UPL, Penyusunan Kurikulum , Penyusutan Arsip, Peracunan, Peraga Pembelajaran/Alat Bantu, Peragaan, Peran, Perambah , Peran Serta Para Pihak, Perancangan, Perancangan Karya Cetak, Pert Daerah, Pert Keras, (Hardware), Pert Lunak, (Software), Peranserta, Peranserta Masyarakat Bidang (KSDA), Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Desa (Perdes), Peraturan Kepala Daerah, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan , Peraturan Presiden (Perpres), Perbanyakan (Artificial PropagationPerbendaharaan Negara, Peran Tanaman, Peran Tanaman , Peran, Peran Tradisional, Peredaran, Peredaran , Peredaran /, Peredaran , Peredaran , Peredaran Rakyat, Peredaran Dan Liar, Perekat, Perekayasaan, Perencana, Perencanaan, Perencanaan , Perencanaan , Perencanaan , Perencanaan Tenaga Kerja, Perhutani, Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama, Perjanjian Kerjasama, Perjanjian , Perkecambahan Pada Uji Laboratorium, Perladangan Berpindah Perlebahan, Perlindungan dan Pengamanan , Perlindungan Ex Situ, Perlindungan , Perlindungan Mutu Laut, Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan, Perlindungan Tanaman, Perlindungan Varietas Tanaman (PVT), Perlombaan, Perluasan Kapasitas , Permohonan, Permohonan Izin, , Bebas Cacat, Belakang, Bersih, Depan, Kasar, Pengujian, Sehat, Tampak Pandang, Terbaik, Terjelek, Tidak Tampak Pandang, Pernyataan Standar Akuntasi Keuangan Nomor 32 Tentang Akuntasi , Perorangan, Perpanjangan HPH, Perpanjangan IUPHHK Pada , Perpanjangan Izin Penggunaan Peralatan, Perpustakaan Daerah, Perpustakaan , Persediaan , Persediaan Perlengkapan Kerja, Perselisihan Hubungan Persemaian, Persemaian Permanen, Persemaian Sementara, Persemaian Tidak Permanen, Persentase Kecambah, Perseroan Terbatas Swasta (Perseroan), Persetujuan Pencadangan, Persetujuan Prinsip, Perstatistikan, Persuteraan , Persyaratan Cacat, Persyaratan , Pertemuan Ilmiah, Pertukaran Jenis Dan Liar, Perubahan Batas , Perubahan Fungsi , Perubahan Penutupan , Perubahan , Perubahan Sosial Ekonomi, Perubahan Status , Perubahan Warna, Perumusan Standar Indonesia, , Daerah, HTI Patungan, , Inti, Negara, Patungan, Perseroan Terbatas Swasta, Swasta, Swasta , Swasta Lain, Perusakan Laut, Perusakan Lingkungan Hidup, Peserta Kemasyarakatan, Peserta Rakyat, Peserta tani Persuteraan , Peserta Pelelangan, Pestisida, PetaPeta Citra Landsat, Peta Dasar, Peta Penafsiran Citra, Peta Jabatan, Peta Kerja, Peta Penafsiran Citra Satelit, Peta Singkap, (Flip Chart), Peta Penanggulangan, Peta Trayek Batas, Petak Kerja, (Compartement) ,Petak Kerja , Petak Pemungutan /, Petak Tanaman Petak , Petak /Pemungutan , Petak Ukur, Petak Ukur Permanen, (PUP), Petikan/Kutipan, Petugas Pemeriksa Penerimaan Bulat/ Gergajian/ Lapis/ Bukan (P3KB/ P3KG/ P3KL/P3HHBK), Petugas Pemungut, Petugas Yang Berwenang, Petugas/Pejabat Penataan , pH, pH Meter, Phenotipe, Picung, Pihak Ketiga Lainnya/Mediator, Pihak Ketiga Netral, Pilihan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Pimpinan Departemen, Pimpinan Instansi, Pimpinan Instansi Pemerintah, Pimpinan Instansi Teknis, Pindah Unit Sampling, Pingul, Pinjam Pakai , Pinjam Pakai Dengan Kompensasi, Pinjaman, Pinjaman Daerah, Pinjaman Dana Reboisasi, Pinjaman Luar Negeri, Piutang, Piutang Daerah, Piutang Macet, Piutang Negara, Plasma Nutfah, Plasma Nutfah JatiPlumule, Pohon, Pohon Batas, Pohon Daun Jarum, Pohon Daun Lebar, Pohon Induk, Pohon Induk TerseleksiPohon Inti, Pohon Jenis Niagawi, Pohon Jenis Niagawi Yang Sehat, Pohon Pembanding, Pohon Plus, Pohon Serbaguna (Multi Purpose Tree Species/MPTS), Pohon Serbaguna Dari Kemasyarakatan, Pohon Yang Boleh Ditebang, Pohon Yang Dilindungi, Pohon/Tanaman Serbaguna, Pola Budi Pohon Serbaguna, Pola Empang Parit, Pola Karir Pegawai Negeri Sipil, Pola Kemitraan, Pola Pengelolaan , Pola Pengembangan Rakyat, Pola Rehabilitasi Dan (RLKT), Pola Rehabilitasi Terpadu, Polisi , Polybag (Kantong Plastik ), Pondok Kerja, Populasi, Porositas Berisi , Porositas Berisi UdaraPorositas Total, Pos Komando, (Posko), Pos Ronda, Poster, Pot, Potensi , Potongan, Potongan Kasar, Potret Udara, Prakiraan Maju, Prakualifikasi, Pranata Sosial, Kelembagaan, Prasarana, Prasarana , Prasarana Pengelolaan Taman ,Prasarana Pariwisata , Prasarana , Presisi, Prinsip, Produk Hukum, Produk Rekayasa Genetik (PRG) Atau Modifikasi, Biomassa, Rakyat, Profil, Progeny Test (Uji Keturunan), Program, Program , Program Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Pert Daerah, Program Kerja Pemeriksaan, Program Kewilayahan Dan Lintas Wilayah, Program Legislasi Daerah, Program Legislasi , Program Lintas Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Pert Daerah, Programa Penyuluhan , Programa Penyuluhan Terpadu, Propagul, Prosedur, Prosedur Kerja, Prosedur Penilaian, Prosedur Penilaian Gerakan Rehabilitasi Dan (GN-RHL), Prosedur Sertifikasi Mutu , Prosedur Sertifikasi , Protokol Kyoto, Provenansi, Provinsi, Provisi (PSDH), Proyek, Proyek Kerjasama Luar Negeri, Proyek Strategis, Proyeksi Batas, Proyeksi Batas Di Peta, Pulp, Pulp Kimia, Pulp Mekanis, Pulp Semi Mekanis, Pulp Serat Panjang, Pulp Serat Pendek, Pungutan , Pungutan Dibidang Perlindungan Dan , Pungutan Ekspor, Pungutan Iuran Peran, Pungutan Izin Ber, Pungutan Izin Pariwisata , Pungutan Izin Taman (PIPTB), Pungutan Izin Kebun, Pungutan , Puntiran, Pupuk, Pusat Bina Penyuluhan , Pusat Bontos, Pusat Informasi , Pusat Inventarisasi Dan Perpetaan , Pusat Pendidikan Dan Pelatihan , Pusat Penelitian Dan Pengembangan Dan , Pusat Penelitian Dan Pengembangan , Pusat Penelitian Dan Pengembangan Tanaman, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Dan Kebijakan , Pusat Pengendalian Pembangunan Regional, Pusat Pengukuhan Dan Penatagunaan , Pusat Penyelamatan , Pusat Rencana Dan Statistik , Pusat Dan Lingkungan , Pusat Wilayah Pengelolaan , Putaran Optik, Radicle, Rahabilitasi , Rak , Rancangan, Rancangan Empang Parit, Rancangan Identifikasi, Rancangan Pembinaan Daerah Penyangga, Rancangan Rehabilitasi Dan (RHL), Rancangan Standar Indonesia (RSNI), Rancangan Teknis Kegiatan, Ranting, Rapat Konsultasi Dan Konsolidasi Perencanaan Anggaran Pembangunan (Rakornasbanghut), Rapat Koordinasi Perencanaan Anggaran Pembangunan Tingkat Pusat (Rakorenbanghutpus), Rapat Koordinasi Perencanaan Pembangunan Daerah (Rakorenbanghutda), Rapat Koordinasi Perencanaan Pembangunan Regional (Rakorenbanghutreg), Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis), Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Rapuh/Busuk, Rasio Kekuatan, Rayap Kering, Rayap , Reboisasi, Reboisasi , Reboisasi Mekanis, Rebung, Reduksi, Reduksi Bahan Berbahaya Dan Beracun, Re-ekspor, Reforestasi, Refractonometer, Refraktometer, Register Petak, Registrasi ISBN (International Standard Book Number), Registrasi ISSN (International Standard Serial Number), Regu-Regu Pemadam Keban, Rehabilitasi, Rehabilitasi Rehabilitasi Mangrove, Rehabilitasi , Rehabilitasi Taman , Rehabilitasi Dan (RLKT), Rehabilitasi Teras, Rehabilitasi/Reintroduksi Orang Utan, Rekapitulasi Laporan Cruising Tahunan (RLHC) Pada , Rekapitulasi Laporan Cruising (RLHC) Tahunan Pada Tanaman Untuk Perkakas, Rekapitulasi Laporan Cruising (RLHC) Blok Kerja Tahunan, Rekapitulasi Laporan Cruising (RLHC) Blok Tahunan Untuk Perkakas/ Pertukangan, Rekapitulasi Pemeriksaan Bulat (RPKB), Rekayasa Sosial, Rekening Kas Umum Daerah, Rekening Kas Umum Negara, Rekening Pembangunan , Reklamasi Bekas Tambang Pada Lindung, Reklamasi , Reklamasi Bekas Tambang, Rekomendasi, Rekomendasi Saham Atau Restrukturisasi, Rekomendasi/Saran, Rekonstruksi Batas, Relokasi Fungsi Dengan Konversi (HPK), Rencana, Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), Rencana J Menengah (Rencana Lima Tahun) Pembinaan Masyarakat Desa (RLT PMDH), Rencana J Panjang Pembinaan Masyarakat Desa (RJP PMDH), Rencana J Pendek (Rencana Tahunan) Pembinaan Masyarakat Desa , Rencana Karya Lima Tahun (RKLPH), Rencana Karya Panjang, Rencana Karya Lima Tahun, Rencana Karya HTI, Rencana Karya (RKPH), Rencana Karya Tanaman , Rencana Karya Pariwisata , Rencana Karya Tahunan (RKT), Rencana Karya Tahunan Tanaman (RKT HTI), Rencana Karya Tahunan (RKT PH), Rencana Kerja, Rencana Kerja Dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga (RKA-KL) , RKA SKPD, Rencana Kerja Kementerian Negara/Lembaga (Renja-KL), Rencana Kerja Lima Tahun Pemanfaatan (RKLUPHHK) Pada , Rencana Kerja Lima Tahun Pemanfaatan (RKLUPHHK) Pada Tanaman, Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Kerja Penyuluh , Rencana Kerja Satuan Kerja Pert Daerah(Renja SKPD), Rencana Kerja Tahunan Pemanfaatan (RKTUPHHK) Pada , Rencana Kerja Tahunan Pemanfaatan (RKTUPHHK) Pada Tanaman, Rencana Kerja Pemanfaatan (RKUPHHK) Pada , Rencana Kerja Pemanfaatan (RKUPHHK) Pada Tanaman, Rencana Makro, Rencana Mikro, Rencana Operasi, Rencana Operasional Pembinaan Masyarakat Desa (RO PMDH), Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL), Rencana Pembangunan J Menengah (RPJM), Rencana Pembangunan J Menengah Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra-KL), Rencana Pembangunan Menengah (RPJM ), Rencana Pembangunan Menengah Satuan Kerja Daerah (Renstra SKPD), Rencana Pembangunan Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Tahunan Daerah, Rencana Pembangunan Tahunan , Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja (Renja-SKPD), Rencana Pembinaan Masyarakat Desa , RPBI, Rencana Pemenuhan Bahan Primer (RPBBI), Rencana Penataan , Rencana Penatagunaan , Rencana Pengunaan , Rencana Pengelolaan, Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu, Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL), Rencana Pengelolaan , Rencana Penghijauan Kelompok, Rencana Pengukuhan , Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Restra-KL), Rencana Tahunan Perhutanan Rakyat (RT-UPR), Rencana Tahunan Persuteraan (RT-UPA) Rencana Tata Ruang, Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Dan (RTL RLKT), Rencana Teknik Penghijauan (RTP), Rencana Teknik Reboisasi (RTR), Rencana Teknik Tahunan, adalah rencana indikatif yang menunjukkan lokasi, jenis dan volume kegiatan tahunan pada wilayah DAS, kabupaten/kota, sebagai acuan d penyusunan rancangan kegiatan. Rencana Umum, Restorasi Ekosistem, Restorasi Ekosistem Pada , Restrukturisasi Atau Rekomendasi Saham, Restrukturisasi HTI Patungan Dan HTI, BUMN Retak, Retak Angin, Retensi, Revisi Standar Indonesia, Rimbawan Kompoten, Rintis Batas, Risalah, Risalah Lapangan, Asalan, Bulat, Bulat W&S, Bundar Besar, Bundar Kecil, Bundar Kupasan/ Poles Halus, Bundar Pendek/ Poles Kasar, Bundar W & S, Poles Halus/ Bundar Kupasan, Poles Kasar/ Bundar Pendek, Ruang, Ruang Kering Dingin, Ruang Lembab Dingin, Ruang Sejuk Kering, Ruang Suhu Kamar, Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan, Rubrik, Saduran, Sagu, Saham, Saksi, Saksi Ahli, Salah Potong, Salah Warna (SW), Salah Warna Genetis (SWG), Salinan, Salinometer, Saluran Getah, Sambungan,Tepi, Sampel, Sarana, Sarana Dan Prasarana, , Pembinaan Habitat Dan Populasi , Pengelolaan Taman , Pariwisata , Walet, Sarasehan, Sari Mengkudu, Sasaran, Satuan 2, Satuan 3, Satuan Kerja, Satuan Pengamanan , Wilayah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Liar, Scant Sawn, Scientific Authority, Sebab Penyimpangan, Sebagian Tidak Ketam, Sediaan Tegakan (Standing Stock), Sekat Bahan B, Sekat B, Sekretariat Tim Penilai, Selebaran, Seleksi, Akhir, Awal, Seleksi Buah, Famili, Individu, Seminar, Sempadan Sungai, Sengketa Lingkungan Hidup, Senjata Api , Sentra , Sepadan Pantai, Serah Terima B Bukti, Serasah, Serasi, Serat Berombak, Berpadu, Kasar, , Berlawanan , Lurus, Mahkota, Miring, Putus, Terpadu, Ter, Tersobek, Tertekan, Seri Foto, Serikat Pekerja, Sertifikasi, Sertifikasi Penran, Lacak Balak, Mutu , Mutu , Pengelolaan Lestari, Spesimen , Sertifikat, Keahlian Pengadaan B/Jasa Pemerintah, Kesehatan , Kompetensi, Konformitas, Mutu , Mutu , Setengah Kering, Sienol, Sifat Dasar , Silindris, Simposium, Simulasi, Geladi, Sirap, Sisipan, Sisiran , Sistem Budi Tanaman, Sistem Cemplongan, Eavaluasi Laporan Daerah, Informasi Geografis, Informasi , Informasi Manajemen, Informasi Manajemen , Kepolisian , Sistem Komando Pemadaman , Laporan Daerah, Nilai, Sistem Penanaman Murni, Sistem Penyangga Kehidupan, Sistem Penyediaan Minum, Sistem Penyelenggaraan Pelatihan, Sistem Perencanaan Pembangunan , Sistem Pergerakan , Sertifikasi, Sertifikasi Lacak Balak, Sertifikasi Pengelolaan Lestari, Sistem Silvikultur, Tebang Pilih Tanam Indonesia, Tumpangsari, Tumpangsari Tambak, Skuer, Slide, Suara, Sobek, Social Forestry , Soft Wood, Solarisasi, Sortasi , Sortimen Khusus, Sosialisasi, Spesimen, Dan Liar, Spilasi, Sponsor, Spot, Stabilitas Ekosistem, Staf Ahli, Standar, Standar , Mutu , Mutu , Standar Indonesia (SNI), Pemeriksaan, , Standar Teknis, , Standing Stock, Sediaan Tegakan , Stapel Meter, Stasiun Pengamat Arus Sungai, SPAS, Mutu , Stek, , Batang, Cabang, Pucuk, Rhizom, Strategi, Struktur Kecambah, Studi Diagnostik, Studi Evaluasi Mengenai Lingkungan, SEMDAL, Studi Kelayakan, Feasibility Study, Stump, Suaka Marga , Sub DAS, Sub Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) DAS, perencanaan, pelaksanaan, Suksesi , Bahan , Belum Terpilih, Sumbing, Sumur Resepan , Supervisi/Bimbingan Teknis, Surat Angkut Dan Liar, (SATS), Surat Asli, Surat Biasa, Surat Dinas, Surat Dinas Ekstern, Surat Dinas Intern, Surat Edaran, Surat Elektronik, Surat Izin Ber, Surat Jaminan, Surat Kabar , Surat Kabar Provinsi, Surat Keterangan Sahnya , (SKSHH), Surat, Surat Perintah Pembayaran (SPP), Surat Perintah Pembayaran Dana Reboisasi (SPP-DR) , Surat Perintah Pembayaran Provisi (SPP-PSDH), Surat Persetujuan Prinsip, Surat Persetujuan Tingkat Kedua (SP2), Surat Persetujuan Tingkat Pertama (SP1), Surat Segera, Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP), Surat Setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Iuran (SSBP-IK), Surat Setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (SSBP),Survei, Swalep, Swasta .Tabel A, Tabel B, Tabel C, Tabel D, Tabel Isi, Tagging, Taman , Taman Raya, Taman , Taman Khusus, Taman Wisata, Taman Wisata ,Taman Wisata Laut, Hak, Negara, Tanaman , Gagal, Kehidupan, MPTS, Pagar, Pangan, Peneduh, Pengisi, Penutup, Pokok, Sela, Semusim, Sisipan , Tepi, Unggulan, Unggulan Lokal, Tanda Bahaya Api, Batas , SNI, Target , Tata Batas, , Ruang, Tato, Tebal , Tipis, Tebang Habis Permudaan Buatan, THPB, THPA, Matahari, Tebang Pilih Indonesia, TPI, Tebang Pilih Tanam Indonesia, TPTI, Tebang Pilih Tanam Jalur, TPTJ, Tegakan (Seed Stand), Provenan, Teridentifikasi, Terseleksi, Teknologi, Teknologi Informasi, Tempat Asal , Tempat Kejadian Perkara (TKP), Tempat Penampungan, Sementara, Tempat Pengumpulan B Bukti, Getah, (TPn), Tempat Penimbunan (TPK), Tempel, Temu Giring, Ireng, Karya, Lapang, Temu Lawak, , Wicara, Counterpart, Tenaga Teknis Pengukuran Dan Pengujian, Tenon, Tepi Waduk, Teras, Busuk, Rapuh, Terasering, Tergerus, Terpisahnya Serat, Tidak Bundar, Tidak Siku, Tidak Silindris, Tikar , Evaluasi, Gabungan, Intelijen, Penilai Departemen, Penilai Instansi, Penilai Kabupaten/Kota, Tim Penilai Lapangan, Penilai Provinsi, Penilai Pusat, Penilai Sekretariat, Penilai Teknis, Penilai Unit Kerja, Penilai Unit Pelaksana Teknis (UPT), Pertimbangan, Teknis AMDAL, Terpadu, Titik Kontrol, Titik Lunak, Titik Nyala ,Titik Referensi, Titik Tumbuh/Mata Tunas, Toleransi, Topi , Transparansi, Transplantasi Terumbu , Transponder, Trayek Batas, Tripleks, Tugas Belajar, Tugu Batas, Tukar Menukar, Tukar Menukar Liar, Pengganggu, Tumpang Tindih, Tumpangsari, Tunas, Tunjangan Jabatan Fungsional, Turunan .Ukuran Kurang, Ukuran Lebih, Ukuran Nominal, Ukuran Panjang, Ulat Sutera Besar, Kecil, Undang-Undang, Unit Manajemen, Organisasi, Pelaksana Teknis, Unit Pengelolaan Lindung, Unit Pengelolaan , UP-UPSA, UP-UPM, Unit Perhutani, Unsur , Unsur Non-, Upah, Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), Uraian Jabatan, Urat Kapur, Rakyat , Kecil, Kecil Dan Menengah, Menengah Dan Besar, Komersial, Non Komersial, Perhutanan Rakyat, Rehabilitasi , Varietas, Asal, Pemuliaan, Lokal, Tanaman, Turunan Esensial, Venir, Contoh, Kupas, Lamina, Sayat, Silang, Verifier, Visi, Volume, Isi. Wabah, Waduk, Wajab Bayar, Wajib Pungut dan Wajib Setor (WPS) Dana Reboisasi, Wajib Setor, Waktu Tertentu, Wanatani, Warna, Gelap, Warna, Sedang, Standar Lovibond, Terang, Werut, Serat Berombak, Widyaiswara, Wilayah, Wilayah DAS, Pengelolaan Kemasyarakatan, Pengelolaan Tingkat Kabupaten/Kota, Pengelolaan Tingkat Provinsi, Pengembangan Rakyat, Wilayah Perkotaan, Sungai, Tertentu, Wisata , Wisatawan, Wood Working .Zona Inti, Zona Pemanfaatan, Tradisional, Pengumpulan , Rimba.

Rabu, 23 April 2008

IMPLEMENTASI TATA RUANG DAERAH ALIRAN SUNGAI UNTUK MENCEGAH TERJADINYA BANJIR DAN TANAH LONGSOR

Dalam lima tahun terakhir, bencana banjir dan longsor terjadi hampir di seluruh Indonesia. Bencana tersebut dari tahun ke tahun bukannya menurun malahan semakin meningkat. Kerugian materiil jika dihitung mencapai trilyunan rupiah, belum lagi korban jiwa yang meninggal. Dan, pada akhirnya, bencana banjir dan tanah longsor selalu menyisakan duka bagi rakyat.
Dalam hal masalah banjir dan tanah longsor, siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab? Apakah tidak ada institusi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap Daerah Aliran Sungai? Bagaimana mengatasi bahaya banjir dan tanah lonsor yang dari tahun ke tahun semakin meningkat?

Daerah Aliran Sungai (DAS)
Banjir bandang dan kekeringan di musim kemarau menunjukkan fenomena perubahan tata air sebagai bentuk respon alam atas interaksi alam dan manusia dalam sistem pengelolaan. Hal ini dapat ditangkap sebagai suatu fenomena pengelolaan sumber daya alam telah menimbulkan kerusakan siklus air. Air hujan yang jatuh di atas bumi cepat menjadi aliran permukaan dan langsung ke sungai, sangat sedikit yang meresap ke dalam tanah. Analisis kerusakan siklus air tersebut harus menggunakan satuan DAS, karena perubahan tata air yang terjadi dalam suatu DAS merupakan resultante dari interaksi pengelolaan sumber daya alam yang ada di daerah tangkapannya (catchment area). DAS sudah tidak mampu lagi menampung dan menyimpan curah hujan, karena daya dukung lingkungannya telah rusak.
DAS didefinisikan sebagai “a geographic area that drains to a common point, which makes it an attractive unit for technical efforts to conserve soil and maximize the utilization of surface and subsurface water for crop production, and a watershed is also an area with administrative and property regimes, and farmers whose actions may affect each other’s interests”. (IFPRI, 2002). DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Pengelolaan DAS adalah bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai dapat merata sepanjang tahun.
Dalam suatu sistem DAS, hujan adalah faktor input, DAS itu sendiri sebagai prosesor, dan tata air di hilir sebagai output. Apabila hujan sebagai faktor yang tidak dapat dikendalikan, maka kondisi tata air kemudian akan sangat tergantung pada kondisi DAS. Di dalam DAS terdapat bermacam-macam penggunaan lahan, antara lain hutan, pertanian lahan kering, persawahan, pemukiman, kawasan industri, perkebunan, dan lain sebagainya. Mekanisme air hujan sampai menjadi air sungai di outlet mengikuti proses siklus air. Dengan demikian, maka jalannya air hujan sampai menjadi aliran air di sungai akan tergantung pada seluruh penggunaan lahan di DAS.
Selama ini penggunaan lahan hutan dianggap paling berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan. Secara tradisional hutan memang mempunyai kemampuan tinggi dalam mengatur tata air, tetapi menurut penelitian, pada curah hujan tertentu (ekstrim), hutan menjadi tidak efektif dalam mengendalikan tata air. Dengan gambaran tersebut, maka dapat dipahami bahwa penanganan masalah lingkungan, terutama banjir dan kekeringan akan sangat tergantung pada pengelolaan setiap jenis penggunaan lahan di DAS. Sementara itu, setiap jenis penggunaan lahan akan terkait pada banyak institusi. Hal ini berarti penanganan masalah lingkungan akan menyangkut banyak pihak terkait dalam suatu tatanan kelembagaan.
Susahnya Koordinasi
Semakin meningkatnya bencana banjir dan tanah lonsor menunjukkan bahwa pengelolaan DAS telah gagal. Banyak intitusi yang berada di DAS, namun mereka berjalan sendiri-sendiri, tidak ada yang mengkoordinir. Departemen Pekerjaan Umum (PU) melakukan pendekatan pembangunan dan pengelolaan DAS (River Basin Management) dengan konsep “satu wilayah sungai satu pengelolaan” (one river one management). Untuk implementasinya dibentuk lembaga yang bertanggung jawab terhadap keseimbangan hidrologi DAS yang disebut Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BP-SDA). Sementara Departemen Kehutanan mempunyai Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) yang mempunyai tugas dalam perencanaan pengelolaan daerah aliran sungai dan pengembangan model pengelolaan daerah aliran sungai. Pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota mempunyai Bappeda dan Dinas Lingkungan Hidup, yang mempunyai tugas dalam perencanaan suatu daerah yang dapat memberikan suatu kondisi lingkungan yang semakin baik serta dinas dinas teknis lainnya.
Dalam era otonomi, pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Daerah Provinsi harus mampu mengkoordinir seluruh institusi berada di daerahnya untuk bersama sama menyusun suatu tata ruang dalam suatu DAS. Mengingat DAS tidak mengenal batas administrasi, dan pada umumnya melalui berbagai daerah kabupaten/kota, maka harus ada kerja sama antara kabupaten/kota untuk bersama sama menyusun tata ruang dengan pendekatan DAS. Tata ruang yang selama ini membedakan ruang atas dua kawasan, yakni kawasan lindung dan kawasan budidaya, harus ditempatkan dalam suatu DAS. Pemda membuat tata ruang mikro sebagai penjabaran lebih lanjut dari kawasan lindung dan kawasan budidaya dalam kesatuan DAS. Data dari BP-DAS dan BP-SDA harus dimanfaatkan secara maksimal untuk satu tujuan, yakni bagaimana mencegah atau mengurangi bahaya banjir dan tanah longsor.
Pada dasarnya ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi focus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan melalui daur hidrologi.
Menyadari ekosistem DAS, maka harus ada pemahaman bersama bagi pemda kabupaten/kota, akan pentingnya daerah hulu dan tengah suatu DAS. Pemerintah harus memberikan suatu reward kepada pemda kabupaten/kota bagian hulu yang melakukan kegiatan-kegiatan pelestarian alam. Bahkan mekanisme reward ini harus dibangun bersama antar pemda kabupaten/kota dalam suatu DAS. Pemda kabupaten/kota bagian hilir memberikan dana kepada pemda kabupaten/kota bagian hulu untuk kegiatan yang dapat mencegah bahaya banjir dan tanah longsor, seperti : penghijauan, reboisasi, pembuatan embung atau bahkan pembuatan bendungan, dan lain sebagainya. Sebaliknya pemda kabupaten/kota bagian hulu dengan dalih apapun tidak diperkenankan mengeksploitasi sumber daya alam yang dapat menyebabkan banjir dan tanah longsor, seperti penebangan hutan, penggalian pasir, dsb.
Namun, tata ruang bagaimanapun baiknya, yang lebih penting adalah implementasi dari tata ruang itu sendiri. Pengalaman menunjukkan bahwa pemerintah atau pemerintah daerah tidak mampu melaksanakan apa yang telah direncanakan. Sebagai contoh adalah implementasi UU Nomor 41 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa luas hutan minimum dalam suatu daerah adalah 30% yang tersebar secara proposional, tidak mungkin dipenuhi khususnya di Pulau Jawa. Jika terjadi bencana banjir dan tanah longsor siapa yang salah?

Minggu, 13 April 2008

PETANI HUTAN DAN HUTAN TANAMAN RAKYAT

Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai penduduk miskin yang cukup besar. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin pada tahun 2005 mencapai 62 juta jiwa atau sekitar 28,44% dari total jumlah penduduk yang mencapai 218 juta jiwa. Dari jumlah 62 juta penduduk miskin tersebut, BPS memperkirakan jumlah rumah tangga miskin (RTM) mencapai 15,5 juta kepala keluarga (KK). RTM adalah KK yang mempunyai pendapat maksimal Rp700 ribu per bulan.
Meskipun jumlah KK petani hutan tidak dapat diketahui secara pasti, namun dapat dipastikan bahwa petani hutan adalah RTM. Adalah sangat mengherankan dengan potensi hutan produksi seluas kira kira 57 juta hektar, pemerintah tidak dapat memberikan penghidupan yang layak kepada masyarakat disekitarnya (petani hutan), disisi lain banyak pengusaha hutan memperoleh pendapatan dalam jumlah luar biasa dari hutan produksi . Tulisan pendek ini mengupas bagaimana seharusnya pemerintah dapat meningkatkan pendapatan petani-hutan melalui program Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
Khayalan Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
Keluarnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, patut disyukuri oleh petani hutan, karena peraturan pemerintah tersebut memberikan akses kepada petani hutan dapat mengelola hutan produksi dengan luasan tertentu, dalam jangka waktu tertentu dengan cara melakukan penanaman sampai pemasaran , melalui HTR secara legal. Namun demikian, kegiatan HTR akan berhasil apabila : (1) petani hutan dapat mengorganisasikan dirinya; (2) kegiatan petani hutan tidak ditunggangi pemodal (cukong) yang tidak bertanggung jawab; (3) Pemerintah memberikan pengakuan dalam bentuk perizinan. Ketiga prinsip tersebut diimplementasikan dalam pembangunan HTR dimana petani hutan menjadi ”pemilik” HTR.
Hutan produksi yang dapat dijadikan HTR adalah hutan produksi yang bebas dari perizinan dan telah mengalami degradasi. Apabila pemerintah melalui Departemen Kehutanan dapat membangun areal HTR seluas 5,4 Juta hektar sampai tahun 2011 dengan rata rata setiap KK akan memperoleh 15 ha, maka akan melibatkan 360.000 KK. Alokasi kegiatan HTR dapat direncanakan sebagai berikut : tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 luas areal untuk HTR adalah 1.40 juta ha dengan melibatkan 93.333 KK dan pada tahun 2011 luas arealnya adalah 1.2 juta ha dengan melibatkan 80.000 KK.
Mewujudkan Petani Hutan Jadi Kaya
Untuk memperoleh izin HTR, petani diwajibkan membentuk kelompok tani hutan dengan jumlah anggota minimal 5 petani. Izin diberikan atas nama petani dengan luas rata rata15 ha untuk jangka waktu maksimal 100 tahun. Lahan tetap milik negara, tetapi tanaman yang tumbuh diatasnya adalah milik petani. Untuk memperkuat kapasitas kelompok tani hutan, maka pemerintah atau pemerintah daerah menyediakan tenaga pendamping, yakni pegawai kehutanan terutama penyuluh kehutanan yang mengerti akan tata cara budidaya tanaman hutan.
Jenis tanaman adalah sesuai dengan keinginan dari petani hutan, namun disarankan mempunyai daur (umur) pendek (8 tahun), mempunyai nilai ekonomi tinggi dan mudah dalam pemasaran. Pemerintah harus dapat mengatur mekanisme pemasaran dengan pengusaha perkayuan.
Dengan kemampuan petani hutan pengolahan lahan seluas 1,875 hektare per tahun atau sekitar 15 hektar per Kepala Keluarga dalam 8 tahun, maka hasil produksi yang bisa diraih selama masa daur tanam sebanyak 150 meter kubik. Biaya tanam per hektar diperkirakan senilai Rp 7,5 juta dan perhitungan harga kayu sebesar Rp 200.000 per meter kubik. Karena itu, estimasi pendapatan yang bisa diperoleh dari HTR sebesar 150 x Rp 200.000 per meter kubik = Rp. 300.000.000,-/8 tahun atau Rp 37,5 juta /tahun atau Rp 3,125 juta/bulan per KK. Petani hutan tetap diperbolehkan melakukan penanaman diantara tanaman hutan dengan tanaman pertanian yang dikenal dengan sistem tumpangsari.
Untuk keperluan biaya penanaman, petani hutan dapat meminnjam dari pemerintah. Pemerintah sudah mengalokasikan dana dalam pembangunan HTR sebesar Rp 9,7 triliun yang dapat diperoleh melalui Badan Usaha Pembiayaan Pembangunan Hutan yang berada di bawah Departemen Kehutanan.
Pendapatan yang cukup besar memungkinkan petani hutan diajak dalam perlindungan hutan. Dengan demikian pemerintah dapat mewujudkan 2 (dua) tujuan sekaligus, yakni pengentasan kemiskinan pada masyarakat yang hidup disekitar hutan dan perlindungan hutan untuk menjaga agar hutan tetap lestari. Semoga khayalan petani hutan kaya dapat terwujud, semoga pemerintah terbuka hati nuraninya untuk mempercepat program HTR.

Jakarta, 9 April 2008

PETANI HUTAN, GERHAN DAN KEMISKINAN

Petani hutan adalah suatu kelompok masyarakat yang hidup disekitar hutan yang hidupnya mengandalkan sebagai petani dan memungut hasil hutan. Mereka masuk kategori penduduk miskin yang jumlahnya mencapai 62 juta jiwa, dengan pendapatan maksimal Rp700 ribu per bulan (BPS, 2005). Adanya program gerhan untuk merehabilitasi lahan dan hutan yang rusak mencapai ratusan ribu hektar seharusnya dapat meningkatkan pendapatan petani hutan. Tulisan pendek ini mengupas bagaimana seharusnya Departemen Kehutanan dapat meningkatkan pendapatan petani-hutan melalui program gerhan.
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan)
Tahun 2003 kehutanan mencatat sejarah kecil dengan lahirnya Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) atau Gerhan, dengan ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama antara Menko Kesra, Menko Perekonomian, dan Menko Polkam tentang pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional. Pembentukan tim dilatarbelakangi kerusakan lingkungan yang mengakibatkan banjir, longsor, kekeringan dan bencana alam lainnya yang menimbulkan kerugian nasional.
Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dimulai tahun 2003 meliputi areal seluas 300 ribu hektar yang tersebar di 21 DAS kritis di Indonesia. Dalam jangka waktu 5 tahun akan direhabilitasi hutan dan lahan seluas 3 juta hektar dengan rincian tahun 2004 seluas 500 ribu ha, tahun 2005 seluas 600 ribu Ha, tahun 2006 seluas 700 ribu Ha, dan tahun 2007 seluas 900 ribu hektar. Melalui gerakan ini diharapkan dapat terwujud perbaikan lingkungan, berfungsinya sungai dan prasarana pengairan serta sekaligus menggerakkan ekonomi rakyat.
Sebagai gambaran pada tahun 2004 sasaran Gerhan adalah menanami lahan kritis seluas 500.000 ha, terdiri dari 223.682 ha berada di dalam kawasan hutan dan 276.318 ha di luar kawasan hutan. Apabila diasumsikan jarak tanam kegiatan penanaman di dalam hutan (reboisasi) 3 x 3 m atau sekitar 1000 bibit/ha dan kegiatan penanaman di luar kawasan (penghijauan) 5 x 5 m atau 400 bibit/ha, serta untuk keperluan penyulaman adalah 20% dari jumlah tanaman, maka total kebutuhan bibit adalah = 399.851.040 bibit atau dibulatkan 399.860.000 bibit. Dengan perhitungan yang sederhana, maka untuk kegiatan gerhan selama 5 tahun seluas 3 juta hektar diperkirakan memerlukan bibit sebanyak = 399.860.000 bibit x 6 = 2.399.160.000 bibit.
Proses awal pelaksanaan kegiatan GERHAN dimulai dari penyediaan bibit yang dilaksanakan melalui mekanisme pelelangan umum, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003. Untuk mengikuti lelang, peserta harus memenuhi persyaratan, yang tidak memungkinkan petani atau kelompok tani mengikutinya, mengingat persyaratan yang harus dipenuhi cukup berat. Pemenang lelang dapat dipastikan adalah perusahaan yang mempunyai modal besar. Petani atau kelompok tani hanya sebagai pekerja saja.
Pembelian bibit dilakukan dengan harga standar, dengan kisaran harga antara Rp 300,- sampai Rp 11.050,-. per batang yang ditentukan berdasarkan atas kualitas benih , teknik perbanyakan dan rayonisasi. Apabila harga bibit rata rata Rp. 1000,-, maka dana untuk keperluan pengadaan bibit adalah = 2.399.160.000 bibit x Rp. 1.000,-= Rp2.399.160.000.000,-
Seandainya, ya…. seandainya pengadaan bibit diserahkan kepada petani atau kelompok tani, maka uang sebanyak Rp2.399.160.000.000,- akan jatuh ketangan petani. Apabila satu petani diberi pekerjaan pengadaan bibit sebanyak 20.000 bibit,-, maka akan memerlukan petani sebanyak 119.958.000. Suatu jumlah yang mencengangkan, setiap petani memperoleh pendapatan 20.000 bibit,-x Rp. 1.000 = Rp. 20.000.000,- dalam waktu lima tahun atau Rp. 4.000.000,-/tahun. Suatu tambahan pendapatan yang cukup besar.
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
Dari analisa sederhana di atas, dapat diketahui bahwa permasalahan yang dijumpai adalah Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 diberlakukan juga pada pengadaan bibit. Seharusnya, pengadaan bibit langsung diberikan kepada petani, atau kelompok petani, Departemen Kehutanan melalui institusi yang berada di lapangan , Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) dan Dinas Kehutanan melakukan pembinaan terhadap petani atau kelompok petani, bagaimana memproduksi bibit yang berkualitas. Pengawasan justru ditujukan kepada pegawai BP-DAS atau Dinas Kehutanan yang memungkinkan untuk berbisnis pengadaan bibit dengan mengatas namakan petani.
Tetapi…, semua itu berpulang kepada hati nurani pemerintah, apakah akan berpihak kepada rakyat atau hanya sekedar slogan saja. Peraturan adalah produk pemerintah yang setiap saat dapat diperbaharui. Kini saatnya pemerintah berpihak kepada rakyat. Kapan petani dapat kaya?

Jakarta, 3 April 2008

Selasa, 01 April 2008

TENTANG AIR PEGUNUNGAN

TENTANG AIR PEGUNUNGAN

Seperti biasa jam 05.45 saya berangkat menuju ke terminal bis departemen di Balai Persuteraan Alam. Saya perhatikan para rimbawan yang akan menuju ke Departemen tidak terlalu banyak. Mungkin karena hujan. Tidak berapa lama, sekitar jam 05.50, bis departemen datang. Para rimbawan naik ke dengan tertib. Saya mencari tempat duduk yang kosong. Tidak berapa lama bis berangkat. Di kantor PHKA pasar Bogor, bis berhenti sebentar untuk mengambil rimbawan yang naik dari sini.
“ Kosong, pak”, sapanya. Salah satu rimbawan muda, saya taksir usianya sekitar 40 tahun, minta ijin duduk disebelah saya. Saya pikir yang bersangkutan pasti menduduksi salah satu jabatan struktural di PHKA.
“ Kosong, silahkan.” jawab saya. “ Tugas di dimana?” Saya membuka percakapan lebih lanjut.
“Saya bertugas di Dirjen PHKA Pak,” Jawabnya. Tidak salah dugaan saya.
“Pegang jabatan apa” sapa saya lebih lanjut.
“Hanya Kepala Seksi, Pak.” Untuk kedua kalinya dugaan saya tidak meleset.
Bis melaju dengan cepatnya, melewati beberapa mobil. Beberapa kali saya lihat truk tangki yang membawa air. Di situ tertulis “air dari pegunungan”.
“Dik, lihat truk tangki air tadi?’ Untuk lebih akrab obrolan saya memanggil Adik.
“Ya…,lihat, Pak.” Jawabnya
“Cukup banyak juga truk tangki air yang kita susul ya…., saya hitung tadi tidak kurang 7 (tujuh) truk tangki. Mungkin dalam satu hari ada ratusan truk air yang diambil dari Sukabumi atau Bogor untuk memenuhi kebutuhan Jakarta”.Saya terus mengajak diskusi.
“Betul, Pak. Menurut saya juga ratusan truk air.” Teman saya membenarkan.
“Dik, air pegunungan tadi sebenarnya hasil hutan bukan?” Saya mencoba menguji kemampuannya. Saya perhatikan wajahnya, sepertinya rimbawan muda sedang berpikir dengan hati-hati.
“ Ya ...., hasil hutan Pak, termasuk hasil hutan non kayu.” Jawab rimbawan muda.

Sebagai rimbawan senior, saya merasa bangga juga, bahwa rimbawan muda yang duduk di sebelah saya mengerti betul bahwa yang namanya air adalah merupakan hasil hutan juga. Hasil hutan bukan hanya kayu.
“Jika air merupakan hasil hutan, apakah di Dirjen PHKA ada unit organisasi yang menangani masalah air, misalnya peredaran air pegunungan, perijinan air, dan lain sebagainya, seperti halnya masalah kayu.” Tanya saya.
“ Setahu saya, di Dirjen PHKA tidak ada yang menanganinya. Saya juga heran Pak, mengapa bisa demikian. Padahal hasil air pegunungan sangat luar biasa. Apakah Bapak tahu, bahwa air pegunungan yang dibawa truk-truk tangki tadi diproses menjadi “aqua”?”
“Waaah...., saya tidak mengetahui.”Jawab saya.
“Begini Pak, saya pernah membaca hasil suatu penelitian bahwa nilai “aqua” yang sangat besar sekali. Bahkan untuk tahun sekarang saya berani jamin nilainya melebihi nilai kayu.” Rimbawan muda dengan semangatnya menerangkan mengenai “aqua”. Mungkin yang dimaksud dengan “aqua” oleh rimbawan muda adalah Air Minum Dalam Kemasan atau yang disingkat dengan AMDK.
“Emangnya berapa nilainya, sampai berani menjamin bahwa nilai “aqua” lebih besar dari kayu.” Saya mencoba mengeksplor pemikiran rimbawan muda.
“Begini Pak, Bapak pasti pernah beli “aqua”. “Aqua” yang isinya 600 ml, harganya Rp 1200,-, atau gampangnya dalam 1000 ml atau 1 liter harganya Rp1000,-. Jadi dalam 1000 liter atau 1 M3 “aqua” harganya sudah Rp 1000.000,- (satu juta rupiah). Bandingkan dengan harga 1 M3 kayu log yang tidak lebih dari Rp.1.200.000,-. Jadi artinya 1M3 kayu = 1M3 “aqua”.
“Luar biasa, apa yang disampaikan adik, dengan perhitungan yang sederhana sudah dapat menerangkan bagaimana bernilainya “aqua”, hanya saya masih belum paham, mengapa Departemen Kehutanan tidak mengurus yang namanya air pegunungan.” Saya masih ingin mengetahui sampai seberapa jauh kemampuan rimbawan muda dalam memandang air pegunungan.
“Bapak....., saya ini hanya eselon IV, apa lah artinya. Saya sudah pernah menyampaikan ke atasan saya, tetapi jawabannya kurang memuaskan. Katanya yang namanya air pegunungan tidak bisa di urus oleh Departemen Kehutanan, karena peraturan perundangan yang ada tidak memungkinkan nya. Apalagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang secara tegas dinyatakan bahwa pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam tidak diperbolehkan dalam pendayagunaan sumber daya air.” Rimbawan muda mencoba menjelaskan.
“Kalau gitu...., ya betul. Dalam kawasan pelestarian alam pasti tidak diperkenankan untuk pendayagunaan sumber daya air. Pendayagunaan sumber daya air dilakukan di luar kawasan tersebut.” Saya coba membenarkan apa kata Undang-Undang.
“Tetapi...., Pak, karena air sudah diperjual belikan secara komersial mestinya kena pajak donk, seperti halnya kayu kan kena DR. Jadi logikanya air juga kena DR. Hasil penerimaan DR dipergunakan untuk mereboisasi kawasan pelestarian alam yang mengalami kerusakan atau untuk menjaga kelestarian kawasan pelestarian alam. Pengusaha air untung, karena kelestarian sumber air, pemerintah juga untung dapat dana untuk menjaga kelestarian kawasan pelestarian alam, pemerintah daerah juga untuk dapat PAD dari pemanfaatan sumber air. Semuanya untung.” Rimbawan muda menerangkan dengan penuh semangat.
“Hebat juga rimbawan muda ini. Apa yang disampaikan sangat benar sekali.” Pikir saya.
“Kalau demikian mengapa Dirjen PHKA diam saja, mestinya berupaya bagaimana menggali penerimaan negara selain dari kayu, betul nggak Dik?”
“Saya juga berpendapat demikian, saya masih ingat hasil penelitian yang saya baca, yang ringkasnya demikian. Dengan asumsi harga kayu log Rp.1,2 juta/m3 dan harga “aqua” Rp.500,-/liter, pendapatan dari kayu pada tahun 2000 sebesar 9 x pendapatan “aqua”, tahun 2001 pendapat kayu turun menjadi 5 x pendapatan “aqua”, tahun 2002 turun lagi menjadi 3 x pendapat “aqua”. Dengan metode statistik yang sederhana sudah dapat ditebak bahwa pendapat kayu pada tahun 2006 lebih kecil dari pendapat “aqua”. Rimbawan muda kembali menerangkan dengan penuh semangat.
“Saya percaya apa yang disampaikan adik, apalagi dengan dukungan data yang sangat menyakinkan. Pertanyaan saya sangat sederhana, mengapa Departemen Kehutanan atau tepatnya Dirjen PHKA, tidak mengurus air sumber?” Saya kembali menegaskan pertanyaan saya.
“Bapak...., apalah arti saya. Saya hanya eselon IV. Jika saya Menteri Kehutanan atau saya menjadi Dirjen PHKA, pasti itu yang akan saya perintahkan pertama kali. Jaman kayu sudah berakhir. Lagi pula air selalu diperlukan sepanjang kehidupan. Tidak ada air tidak ada kehidupan. Betul tidak?”
“Betul juga.”
Begitu asyiknya diskusi, dengan tidak terasa bis sudah memasuki halaman Gedung Manggala Wanabakti. Saya pikir rimbawan muda tadi karirnya akan menanjak. Masih penuh dengan ide-ide yang cemerlang. Bukan hanya sekedar memikirkankan proyek.
“Selamat bekerja Dik, semoga sukses.”
“Terima kasih Pak.”
Saya turun dari bis, menuju ruang kerja saya. Saya masih memikirkan apa yang disampaikan rimbawan muda. Seandainya saja saya seorang......


Bogor, Januari 3 Januari 2006

Senin, 31 Maret 2008

HUTAN TANAMAN INDUSTRI

HUTAN TANAMAN INDUSTRI

Hari ini Rabu, 25 Januari 2006. Seperti biasa setiap jam 15.45 saya bergegas pulang menuju pangkalan bis Depertemen. Bis sudah agak penuh, maklum saya agak terlambat. Saya cari tempat duduk yang masih kosong, duduk bersebelahan dengan rimbawan agak senior. Saya tahu yang bersangkutan bergelar doktor dan menjabat eselon III di Dirjen Bina Produksi Kehutanan.
“Selamat siang Dik.” Saya panggil yang bersangkutan dengan sebutan Adik, supaya lebih akrab, dan memang saya lebih tua.
“Selamat siang Pak.” Jawabnya. Rimbawan tadi memanggil saya Bapak.
“Bagaimana kabar BPK?” Sapa saya lebih lanjut.
“Baik-baik saja Pak.” Jawabnya.
Jam 16.00 tepat bis berangkat menuju Bogor. Saya mencoba mencari topik pembicaraan yang hangat, yang kira-kira berada di wilayah kerja teman saya, atau paling tidak mengetahui kebijakan Dirjen BPK. Saya teringat tabloid AgroIndustri yang pernah memuat masalah HTI.
“Saya dengar, Bapak Menteri Kehutanan sangat menaruh perhatian terhadap HTI, ada investor Cina mau bergerak dalam HTI, juga Putra Sampurna sudah minta kepada Pak Menteri 1,2 juta hektar untuk HTI.” Tanya saya. “Ya...betul, memang Bapak Menteri sangat menaruh perhatian terhadap HTI. Kepenginnya siih cepat terealisasi, program HTI seluas 5 juta hektar sampai dengan tahun 2009.” Jawabnya.
“Lantas apa masalahnya, kan tinggal keluarkan izin saja. Apa sulitnya?”
“Ya....., nggak segampang itu Pak. Ternyata sampai sekarang mencari lahan seluas 5 juta hektar yang clear and clean tidak gampang, apalagi ditambah areal yang kompak. Tambah pusing.” Jawabnya.
“Emangnya lahan yang harus dicari harus seperti itu, clear, clean and kompak?” Tanya saya lebih lanjut.
“Itulah pemahaman teman-teman saya. Sebenarnya saya punya pendapat yang berbeda, tetapi saya merasa nggak enak menyampaikannya.”
“Bagaimana idenya, barangkali saya dapat menyampaikan kepada teman-teman saya yang memegang jabatan dalam pengambilan keputusan masalah HTI.” Saya coba membangkitkan semangat teman saya.
“Begini Pak, saya sering mendengar Bapak-Bapak Eselon II dan I kalau memberikan arahan kepada kita, selalu menyampaikan paradigma baru pembangunan kehutanan. Kalau dulu katanya paradigmanya timber oriented sekarang sudah berubah menjadi forest based management oriented. Disitu diterangkan panjang lebar perbedaanya. Gampangnya dalam timber oriented yang diperhatikan hanya masalah kelestarian kayunya saja, sedangkan dalam forest based management oriented, jika berbicara masalah kelestarian , selain kelestarian hutan juga kelestarian sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan dan kelestarian ekologinya.” Teman duduk saya menerangkan.
“Betul sekali, terus apa hubungannya dengan HTI?” kembali saya bertanya.
“Mestinya hubungannya sangat jelas, tetapi teman-teman saya sepertinya tidak mengetahui atau pura-pura tidak mengetahui. Kalau hanya berbicara kelestarian hutan secara teknis sangat gampang sekali. Misalnya areal HTI seluas 5 juta hektar, ditanami dengan jenis Acacia mangium untuk keperluan pulp and paper, dengan daur 10 tahun misalnya. Artinya dalam satu tahun harus ditanam seluas 500 ribu hektar. Pemerintah menyediakan lahan kawasan hutan seluas 5 juta hektar, penduduk jadi pekerja. Perkara yang lainnya nggak perlu diurus. Apakah memang begitu implementasi dari forest based management oriented. Menurut saya tidak demikian. Paling tidak kita harus memperhatikan kelestarian sosial ekonomi masyarakat sekitar HTI.”

Saya perhatikan sejenak teman-teman rimbawan lain yang sedang tidur. Saya paham bekerja seharian memang cukup melelahkan. Dengan melihat sepintas pemandangan di luar, saya mengetahui bahwa bis sudah memasuki daerah Cibinong. Asyik juga diskusi dengan teman saya.

“Jujur saja, saya masih belum paham apa yang dimaksud dengan kelestarian sosial ekonomi, bukankah dengan HTI dapat menyerap tenaga kerja yang cukup besar pada masyarakat disekitar HTI?” Kembali saya bertanya.
“Itulah yang menjadi perbedaan pendapat dengan teman-teman saya. Kalau menurut saya, konsep pembangunan HTI yang berkelanjutan adalah dengan mengajak masyarakat sekitar HTI menjadi mitra, bukan menjadi pekerja. Kalau Bapak perhatikan banyak industri kayu di Jawa tidak mempunyai lahan, tetapi tidak menjadi masalah, karena memanfaatkan hutan rakyat yang telah dibangun oleh masyarakat.”
“Itu bisa saja, kalau kapasitas industrinya kecil. Kalau kapasitas industrinya besar menurut saya tidak mungkin.” Saya coba mengajukan argumentasinya.
“Mohon ma’af Bapak, kalau saya agak sedikit menyinggung Bapak. Pola pikir Bapak dan teman-teman ya ... seperti itu, belum apa-apa, selalu dan selalu bilang tidak bisa, tidak mungkin, atau yang sejenis. Pikiran kita sudah dibatasi. Apakah Bapak pernah mendengar iklan impossible is nothing?”Rimbawan, teman saya menerangkan dengan berapi-api.
“Ya...., saya pernah mendengar.” Jawab saya.
“Maksud saya, dalam kontek HTI, harus ada kombinasi, harus dapat memadukan kepentingan perusahaan, kepentingan masyarakat setempat dan kepentingan pemerintah. Pola pikir kita sebagai birokrat yang hanya memandang masyarakat sebagai pekerja harus mulai ditinggalkan.”
“Waaah...., hebat sekali teman saya. Terus terang saya sangat bangga dengan rimbawan yang mempunyai pemikiran hebat. Maklum doktor. Hanya saja, saya agak sedikit kecewa kenapa pemikiran yang hebat ini hanya sekedar sebagai wacana.” Pikir saya dalam hati.
“Bagaimana kongkritnya Dik?” Kembali saya coba bertanya.
“Konkritnya begini Pak, misalnya tadi pengusaha HTI minta areal 5 juta hektar, pemerintah cukup menyediakan areal seluas 4 juta hektar. Biar yang 1 juta hektar serahkan saja kepada masyarakat.”
“Maksud Adik, sebagian kebutuhan bahan baku industri dipenuhi dari masyarakat, yang dalam kasus ini sebesar 20% adalah dari hutan rakyat?”
“Tepat sekali, yang penting rakyat dilibatkan, diberi bimbingan; mulai dari persemaian, penanaman kalau perlu modal dan manajemen. Apa siiih sulitnya menanam pohon. Kalau rakyat dilibatkan, kalau pemasaran sudah pasti, kalau menanam pohon untuk HTI menguntungkan, saya jamin perusahaan HTI akan didukung oleh masyarakat sekitarnya.
“Betul juga apa yang disampaikan Adik.”
“Tetapi, apa yang saya sampaikan tadi harus ada regulasinya yang berpihak kepada masyarakat, terutama dalam masalah harga jual kayu.”
“Ide yang cemerlang, besok akan saya sampaikan kepada teman saya yang menangani kebijakan HTI.” Saya coba menyakinkan.

Saya lihat ke depan, bis sudah memasuki akhir jalan tol di Bogor. Hujan masih turun dengan derasnya. Sampai di Balai Sutera Alam jam 17.25.
“Kita berpisah di sini, Dik.” Saya ucapkan salam perpisahan.
“Terima kasih kembali Pak.” Jawabnya singkat.

Saya turun dari bis, langsung mencari angkutan kota menuju rumah. Anak dan istri telah menunggu.

Bogor, 1 Februari 2006.