Senin, 05 Mei 2008

MENCOBA MEMAHAMI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 2 TAHUN 2008

Tepat dua bulan sejak diundangkannya PP 2/2008 pada tanggal 4 Februari 2008, sampai sekarang (4 April 2008) masih menjadi polemik di berbagai media masa. Sebagian masyarakat: akademisi, pecinta lingkungan, legislator, bahkan kalangan birokrat sendiri (gubernur Kaltim), tidak sependapat dengan PP tersebut. Berbagai artikel banyak dimuat di media masa dengan berbagai argumentasi. Pemerintah tidak bertanggung jawab, menghargai tanah hutan lindung hanya 1,2 – 3 juta per hektar atau Rp 120 – Rp 300,-/m2, lebih murah dari harga sepotong pisang goreng.
Judul PP 2/2008 yang panjang yaitu :” Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan”, ternyata tetap kurang dimengerti oleh masyarakat. Masyarakat tetap menganggap bahwa hutan lindung dapat disewa dengan besaran tariff di atas.
Betulkah pemerintah tega menyewakan tanah hutan lindung sebesar tariff di atas? Mungkinkah dalam era keterbukaan, dengan kontrol yang ketat dari masyarakat, pemerintah masih berani mengeluarkan kebijaksan yang bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi?
Tulisan ini mencoba mengikuti jalan pikir pemerintah dalam menentukan PP 2/2008.
Penggunaan Kawasan Hutan Tidak Hanya Untuk Pertambangan
Menurut UU 41/1999 tentang kehutanan, hutan akan lestari dan memberikan mamfaat sebesar besarnya bagi masyarakat apabila dilakukan pengelolaan dengan baik. Pengelolaan Hutan terdiri dari :1. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;2. pemanfaatan hutan; 3. penggunaan kawasan hutan; 4. rehabilitasi hutan dan reklamasi dan ;5. perlindungan hutan dan konservasi alam. Selanjutnya yang dimaksud dengan Penggunaan Kawasan Hutan, adalah kegiatan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status dan fungsi pokok kawasan hutan. (PP 34/2002).
Sesuai dengan kewenangnnya Menteri Kehutanan mengatur penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan non kehutanan. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.14/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, disebutkan bahwa penggunaan kawasan hutan dapat untuk tujuan strategis atau kepentingan umum terbatas. Yang termasuk untuk tujuan strategis adalah :a. Kepentingan religi; b.Pertahanan dan keamanan;c.Pertambangan; d.Pembangunan ketenagalistrikan dan;f. instalasi teknologi energi terbarukan;g.Pembangunan jaringan telekomunikasi; h.Pembangunan jaringan instalasi air; sedangkan yang termasuk untuk kepentingan umum terbatas : a.Jalan umum dan jalan (rel) kereta api;b. Saluran air bersih dan atau air limbah; c.Pengairan; d.Bak penampungan air; e.Fasilitas umum; f.Repeater telekomunikasi; g.Stasiun pemancar radio; atau h. Stasiun relay televise).
Pinjam pakai kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan dilakukan dengan ketentuan :
a. Pinjam pakai kawasan hutan diberikan secara selektif hanya untuk kegiatan-kegiatan yang tidak mengakibatkan kerusakan serius dan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan.
b. Di kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
Dari penjelasan di atas kiranya jelas bahwa penggunaan kawasan hutan hanya diperkenankan pada hutan produksi dan hutan lindung saja. Penggunaan kawasan hutan tidak diperbolehkan pada kawasan hutan konservasi (cagar alam, suaka margasatwa, taman buru, taman nasional). Selanjutnya apabila pinjam pakai untuk kegiatan pertambangan maka kegiatan pertambangan terbuka tidak diperkenankan pada hutan lindung. Pertambangan terbuka hanya diperbolehkan pada hutan produksi.

PP 2/2008 Hanya Mengatur Tarif
PP 2/2008, hanya mengatur besarnya tarif dan ditujukan hanya kepada pihak pihak lain yang telah menggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar, tidak lebih. Misalnya dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, telah menetapkan 13 perusahaan tambang di hutan lindung, maka hanya perusahaan tambang itulah yang dikenakan PNBP. Bagaimana jika di hutan lindung lainnya terdapat potensi tambang apakah perusahaan tambang dapat langsung menyewa (mengeksplotasi) dengan membayar sesuai tariff yang tercantum dalam PP 2/2008? Tentu saja tidak demikian. Ada prosedur perizinan yang harus ditempuh. Bahkan untuk memperoleh izin harus memperoleh persetujuan dari DPR, karena harus mengubah undang undang yang telah ada. Bagaimana dengan pinjam pakai lainnya, apakah dikenakan PNPB? Jawabnya Ya. Pinjam pakai bukan hanya untuk pertambangan saja, tetapi juga untuk yang lainnya sebagaimana diutarakan di bagian depan. Kehutanan menyediakan ruang untuk pembangunan di luar kehutanan dengan prosedur sebagaimana di atur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.14/Menhut-II/2006. Yang perlu mendapat perhatian justru pemanfaatan PNBP tersebut. Uang hasil sewa (baca pinjam pakai) harus dipergunakan untuk kegiatan reklamasi dan rehabilitasi hutan lindung yang disewanya atau pada hutan lindung lainnya yang telah mengalami kerusakan. Berdasarkan perhitungan kasar, pada tahun 2008 pemerintah akan memperoleh pendapatan sebesar kira-kira 600 milyard. Suatu pendapatan yang lumayan. Jika kegiatan rehabilitasi hutan dalam satu hektar memerlukan dana sebesar 5 juta rupiah, maka PNBP tersebut dapat digunakan untuk merehabilitasi hutan lindung seluas 120.000 hektar.

Penutup
Ramainya polemik keluarnya PP 2/2008 patut dihargai. Masyarakat semakin merasakan pentingnya hutan lindung. Masyarakat berhak mengetahui setiap kebijakan pemerintah, masyarakat berhak pula mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi, apabila pemerintah dianggap telah melanggar peraturan perundang undangan atau merugikan masyarakat luas. Bahkan masyarakat berhak untuk ikut dalam proses penyusunan peraturan perundang undangan. Suatu pelajaran yang berharga bagi pemerintah. Willam Dunn, dalam bukunya yang berjudul Pengantar Kebijakan Publik menyebutkan bahwa dalam penyusunan peraturan perundang undangan harus melibatkan stakeholders dalam suatu proses sejak penyusunannya sampai ditetapkannya. Ini barangkali yang merupakan kelemahan keluarnya PP 2/2008. Bukankah suatu peraturan perundang undangan dibuat pada akhirnya bermuara untuk kebaikan dan kesejahteraan masyarakat?

1 komentar:

Sadam Damchin " Ventha " mengatakan...

Maaf pak...
Tulisannya memang sangat bagus. tapi kurang teratur tataannya..
jadi susah bacanya... hehehe.... :)

Tapi saya suka....