Minggu, 13 April 2008

PETANI HUTAN, GERHAN DAN KEMISKINAN

Petani hutan adalah suatu kelompok masyarakat yang hidup disekitar hutan yang hidupnya mengandalkan sebagai petani dan memungut hasil hutan. Mereka masuk kategori penduduk miskin yang jumlahnya mencapai 62 juta jiwa, dengan pendapatan maksimal Rp700 ribu per bulan (BPS, 2005). Adanya program gerhan untuk merehabilitasi lahan dan hutan yang rusak mencapai ratusan ribu hektar seharusnya dapat meningkatkan pendapatan petani hutan. Tulisan pendek ini mengupas bagaimana seharusnya Departemen Kehutanan dapat meningkatkan pendapatan petani-hutan melalui program gerhan.
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan)
Tahun 2003 kehutanan mencatat sejarah kecil dengan lahirnya Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) atau Gerhan, dengan ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama antara Menko Kesra, Menko Perekonomian, dan Menko Polkam tentang pembentukan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional. Pembentukan tim dilatarbelakangi kerusakan lingkungan yang mengakibatkan banjir, longsor, kekeringan dan bencana alam lainnya yang menimbulkan kerugian nasional.
Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dimulai tahun 2003 meliputi areal seluas 300 ribu hektar yang tersebar di 21 DAS kritis di Indonesia. Dalam jangka waktu 5 tahun akan direhabilitasi hutan dan lahan seluas 3 juta hektar dengan rincian tahun 2004 seluas 500 ribu ha, tahun 2005 seluas 600 ribu Ha, tahun 2006 seluas 700 ribu Ha, dan tahun 2007 seluas 900 ribu hektar. Melalui gerakan ini diharapkan dapat terwujud perbaikan lingkungan, berfungsinya sungai dan prasarana pengairan serta sekaligus menggerakkan ekonomi rakyat.
Sebagai gambaran pada tahun 2004 sasaran Gerhan adalah menanami lahan kritis seluas 500.000 ha, terdiri dari 223.682 ha berada di dalam kawasan hutan dan 276.318 ha di luar kawasan hutan. Apabila diasumsikan jarak tanam kegiatan penanaman di dalam hutan (reboisasi) 3 x 3 m atau sekitar 1000 bibit/ha dan kegiatan penanaman di luar kawasan (penghijauan) 5 x 5 m atau 400 bibit/ha, serta untuk keperluan penyulaman adalah 20% dari jumlah tanaman, maka total kebutuhan bibit adalah = 399.851.040 bibit atau dibulatkan 399.860.000 bibit. Dengan perhitungan yang sederhana, maka untuk kegiatan gerhan selama 5 tahun seluas 3 juta hektar diperkirakan memerlukan bibit sebanyak = 399.860.000 bibit x 6 = 2.399.160.000 bibit.
Proses awal pelaksanaan kegiatan GERHAN dimulai dari penyediaan bibit yang dilaksanakan melalui mekanisme pelelangan umum, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003. Untuk mengikuti lelang, peserta harus memenuhi persyaratan, yang tidak memungkinkan petani atau kelompok tani mengikutinya, mengingat persyaratan yang harus dipenuhi cukup berat. Pemenang lelang dapat dipastikan adalah perusahaan yang mempunyai modal besar. Petani atau kelompok tani hanya sebagai pekerja saja.
Pembelian bibit dilakukan dengan harga standar, dengan kisaran harga antara Rp 300,- sampai Rp 11.050,-. per batang yang ditentukan berdasarkan atas kualitas benih , teknik perbanyakan dan rayonisasi. Apabila harga bibit rata rata Rp. 1000,-, maka dana untuk keperluan pengadaan bibit adalah = 2.399.160.000 bibit x Rp. 1.000,-= Rp2.399.160.000.000,-
Seandainya, ya…. seandainya pengadaan bibit diserahkan kepada petani atau kelompok tani, maka uang sebanyak Rp2.399.160.000.000,- akan jatuh ketangan petani. Apabila satu petani diberi pekerjaan pengadaan bibit sebanyak 20.000 bibit,-, maka akan memerlukan petani sebanyak 119.958.000. Suatu jumlah yang mencengangkan, setiap petani memperoleh pendapatan 20.000 bibit,-x Rp. 1.000 = Rp. 20.000.000,- dalam waktu lima tahun atau Rp. 4.000.000,-/tahun. Suatu tambahan pendapatan yang cukup besar.
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
Dari analisa sederhana di atas, dapat diketahui bahwa permasalahan yang dijumpai adalah Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 diberlakukan juga pada pengadaan bibit. Seharusnya, pengadaan bibit langsung diberikan kepada petani, atau kelompok petani, Departemen Kehutanan melalui institusi yang berada di lapangan , Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) dan Dinas Kehutanan melakukan pembinaan terhadap petani atau kelompok petani, bagaimana memproduksi bibit yang berkualitas. Pengawasan justru ditujukan kepada pegawai BP-DAS atau Dinas Kehutanan yang memungkinkan untuk berbisnis pengadaan bibit dengan mengatas namakan petani.
Tetapi…, semua itu berpulang kepada hati nurani pemerintah, apakah akan berpihak kepada rakyat atau hanya sekedar slogan saja. Peraturan adalah produk pemerintah yang setiap saat dapat diperbaharui. Kini saatnya pemerintah berpihak kepada rakyat. Kapan petani dapat kaya?

Jakarta, 3 April 2008

Tidak ada komentar: