TRADISI BANJIR
Oleh : Bambang Winarto
Obrolan Pinggir adalah obrolan sesama rimbawan mengenai suatu topik kehutanan yang dilakukan secara santai yang tujuannya memberikan ide atau masukan kepada pengambil keputusan dalam bidang kehutanan. Obrolan dilakukan di berbagai tempat, seperti bis departemen kehutanan, warung, pinggiran hutan, café, lapangan dan lain lain.
Tokoh dalam cerita ini adalah Dul Kamdi, rimbawan senior yang telah berpengalaman bekerja di berbagai daerah dan pusat selama lebih dari 25 tahun. Karena pengalamannya Dul Kamdi sangat mengerti betul bagaimana kehutanan sebaiknya.Peran Dul Kamdi adalah sebagai “moderator”, yakni yang mengarahkan topik pembicaraan.
Selamat membaca.
Seperti biasa setiap pagi jam 05.30 saya berangkat dari rumah menuju “terminal bis depertemen” di Balai Persuteraan Alam, Ciomas. Saya langsung naik ke bis, karena bis sudah menunggu dan biasanya tepat jam 05.55 bis berangkat menuju Departemen Kehutanan. Pagi ini saya beruntung dapat duduk bersebelahan dengan rimbawan senior, ahli dalam konservasi daerah aliran sungai. Sebagai kedekatan saya dengan beliau, saya memanggil beliau dengan sebutan “senior” dan beliau memanggil saya dengan kependekan nama saya Dul.
“Selamat pagi, senior”, sapa saya. “Hai . Dul, duduk sini, lama kita nggak jumpa, kita ngobrol-ngobrol lah. Dimana sekarang kerjanya.”Sapa beliau.
“ Ya,… di Departemen Kehutanan, kalau senior sendiri dimana”,jawab saya.
“ Saya sendiri sudah pensiun dari Departemen Kehutanan, dan sekarang membuka perusahaan konsultan bidang pertanian dalam arti luas, termasuk bidang kehutanan. Kantor saya juga di Manggala koq. Mampir lah ke kantor saya. “
“ Waaah ,… hebat juga senior. Ngomong-ngomong senior, sekarang setiap musim hujan sudah menjadi musim banjir, bahkan ada iklan rokok yang ngeledek, banjir koq tradisi. Menurut senior, apanya yang salah.”
“ Kalau dulu, Dul, saat saya masih menjabat, yang pertama yang akan saya salahkan adalah alam. Hujan yang terus-menerus dengan intensitas yang tinggi adalah alasan paling tepat. Yang kedua yang saya salahkan adalah masyarakat, karena melakukan perambahan hutan dan melakukan kegiatan pertanian di lereng gunung.”
“ Kalau sekarang, senior.” Tanya saya selanjutnya.
“ Tentu saja berbeda, Dul. Sekarang saya kan konsultan, saya harus mampu memberikan jawaban secara ilmiah, dapat memberikan saran rekomendasi kepada pemerintah yang dapat dipertanggungjawabkan.”
“Maksud senior, suatu masalah, katakan banjir tadi, dapat diberikan argumentasi yang berbeda.”
“ Ya ..., tentu saja, kaya nggak tau aja. Jujur saja Dul, sekarang saya merasa bebas. Sebagai konsultas saya dapat melihat suatu masalah dengan lebih jujur, lebih jernih, meskipun kadang-kadang dalam membuat suatu kajian sudah ada pesanan dari pemerintah.”
“Senior belum menjawab pertanyaan saya tentang masalah banjir, siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab.”
“ Baik, Dul. Ini hanya kita berdua saja. Menurut saya yang paling bertanggung jawab adalah BP-DAS.”
Sungguh saya sangat terkejut mendengar jawaban beliau, karena apa yang disampaikan beliau di luar perkiraan saya.
“ Apa hubungannya, senior. Kasihan BP-DAS nggak tau apa-apa, koq disalahkan.” Saya mencoba membela BP-DAS.
“Dul, kamu tau nggak siiih, apa tugas BP-DAS, atau apa siih kepanjangan BP-DAS.”
“Kalau kepanjangan BP-DAS, ya… tau, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai”.
“Sekarang apa yang dilakukan BP-DAS.”
“Setahu saya siih sibuk menyiapkan bibit untuk GERHAN.”
“Naah…, itu kamu tau, apakah itu tugas utama BP-DAS.”
“Lha ... iya senior, itu kan tugas dari Menteri Kehutanan.”
“Dul…, melaksanakan tugas Menteri adalah kewajiban, tetapi jangan lupa dengan tugas utamanya, tugas utama BP-DAS yang memerintahkan juga Menteri.”
“Emangnya apa tugas utama dari BP-DAS.”
“Dul, dari namanya Balai Pengeloaan DAS, sudah dapat ditebak apa tugas dari BP-DAS, yakni merencanakan dan mengevaluasi suatu daerah aliran sungai. Dalam perencanaan daerah aliran sungai sudah disusun yang namanya Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah atau yang populer disebut Pola RLKT. Di dalam pola tersbut sudah direncanakan areal mana yang harus berupa hutan dan areal mana yang hanya boleh untuk budidaya pertanian. Bahkan dalam areal budidaya sudah dicantumkan jenis tanaman apa saja yang sebaiknya ditanam.”
“Senior, tetapi BP-DAS kan hanya merencanakan dan mengevaluasi saja, sedangkan yang melaksanakan kan Pemda, jadi saya masih tetap berpendapat bahwa yang keliru bukan BP-DAS.”
“ Dul, kamu ini bagaimana, memang Pemda yang melaksanakan apa yang direncanakan oleh BP-DAS, tetapi kalau Pemda tidak melaksanakan, BP-DAS mestinya wajib memberitahu, wajib mengingatkan apa akibat yang akan timbul. Bukan diam saja...”
“ Senior, BP-DAS itu kan hanya eselon III, mana berani memberitahu kepada Bupati atau Gubernur, tentang kondisi daerah aliran sungai yang ada di wilayah kerjanya.”
“ Kalau takut, ya… gunakan tangan Dirjen RLPS, maksud saya lapor ke Dirjen RLPS, tentang kondisi DAS, nanti Bapak Dirjen yang mengingatkan Bupati atau Gubernurnya.”
“ Senior, saya tetap berpendapat, bahwa BP-DAS tidak bersalah sama sekali, termasuk Dirjen RLPS.”
“Ya,…, boleh-boleh saja, itu pendapat kamu, Dul. Tetapi untuk apa Pola RLKT dibuat, kalau bukan untuk dilaksanakan. Apalagi yang mengesahkan adalah Bupati. Hanya karena Bupati sibuk dengan urusan politik, BP-DAS yang mestinya selalu dan selalu mengingatkan. Sudah tahu kondisi DAS nya nggak karuan, sudah tahu musin hujan datang, koq diam-diam saja.”
Apa yang disampaikan oleh senior saya sebenarnya ada benarnya, tetapi sebagai rimbawan yang masih mengabdi di Departemen Kehutanan, saya tetap membela Departemen Kehutanan termasuk pada BP-DAS.
Mudah-mudahan teman-teman saya yang mengabdikan diri di BP-DAS sadar kembali akan tugas utamanya.
Mudah-mudahan tradisi banjir dan longsor tidak terjadi lagi. Kasihan rakyat kecil.
Jam sudah menunjukan 08.05. Tidak terasa, bis depertemen sudah memasuki Gedung Manggala Wanabakti. Para rimbawan bergegas turun dari bis untuk menuju ke ruang kerjanya masing-masing.
“ Selamat berkerja senior, apa besok kita ngobrol lagi.”
“ Selamat bekerja Dul, baik besok kita berjumpa lagi, kita ngobrol dengan topik yang berbeda.
Dengan langkah tegap saya menuju ke ruang kerja di salah satu lantai di Gedung Manggala Wanabakti. Alangkah megahnya gedung ini. Saya sangat bangga menjadi rimbawan.
Bogor, 17 Januari 2006.
Selasa, 26 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar