Jumat, 26 September 2008

SECERCAH HARAPAN PETANI HUTAN PADA HUTAN TANAMAN RAKYAT

Terbitnya PP No. 6 tahun 2007 patut disambut gembira, khususnya masyarakat yang berdomisili di sekitar hutan, Ada nuansa baru dalam tata kelola hutan di Indonesia. Salah satu yang paling menarik adalah pengaturan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Kita percaya bahwa dalam meluncurkan kebijakan baru, pemerintah pasti melandasinya dengan niat yang baik. Karena itu kita juga percaya bahwa tujuan utama program HTR adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun program tersebut tidak akan tercapai tanpa dukungan dan peran serta berbagai stakeholder.
PP ini telah memberi payung hukum HTR, khususnya pasal 40 dan 41. Pada pasal ini diatur mengenai penatapan areal untuk HTR, akses ke lembaga keuangan, dan penetapan harga kayu HTR untuk melindungi dan memberikan akses pasar kepada masyarakat. HTR dibangun di kawasan hutan negara yang berupa hutan produksi yang tidak produktif dengan jangka waktu ijin paling lama 100 tahun. Pemerintah mengalokasikan areal HTR kawasan hutan produksi seluas kurang lebih 15 ha beserta ijinnya untuk setiap individu dalam kelompok yang terdiri dari 6 – 8 anggota.
Pola Pengembangan HTR
HTR dilakukan dengan tiga pola. Pertama, pola mandiri. Dengan pola ini, pemilik HTR secara mandiri membangun HTR di lahan yang telah diberikan. Biaya pembangunan HTR dapat dilakukan dengan melakukan peminjaman kepada Badan Usaha Pembiayaan Pembangunan Hutan yang berada di bawah Departemen Kehutanan. Pemerintah sudah mengalokasikan dana pembangunan HTR sebesar Rp 9,7 triliun. Ketua kelompok bertanggung jawab atas pelaksanaan HTR, pengajuan dan pengembalian kredit. Pemerintah memberikan pinjaman dengan bunga yang cukup rendah. Pemerintah membantu dalam akses keuangan, pasar dan produksi. Kedua, pola kemitraan. HTR Pola Kemitraan dibangun oleh pemegang HTR bersama-sama dengan mitranya berdasarkan kesepakatan bersama. Pemerintah memfasilitasi pemegang HTR dalam kemitraan. Peran pemerintah adalah membuat pengaturan yang menguntungkan kedua pihak. Mitra bertanggung jawab atas pendampingan, input/modal, pelatihan dan pasar. Hasil HTR di bagi antara petani hutan dengan mitra sesuai dengan kesepatan kedua belah pihak. Ketiga, pola developer. HTR pola developer mencontoh mekanisme pembangunan rumah oleh developer. HTR untuk pertama kali dibangun oleh BUMN atau BUMS dan selanjutnya diserahkan oleh pemerintah kepada kepala keluarga pemohon HTR. Biaya pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang HTR dan dikembalikan secara mengangsur sejak Surat Keputusan IUPHHK-HTR diterbitkan
Pola yang akan diterapkan sepenuhnya bergantung kepada petani hutan. Namun demikian, pemerintah mempunyai kewajiban memberikan penyuluhan dan pemberdayaan kepada petani hutan. Pada sistem pertama, petani hutan pinjam kepada pemerintah sejumlah uang (kredit) untuk membangunan HTR; pada sistem kedua petani tidak perlu meminjam uang dari pemerintah, semua dana pembangunan HTR ditanggung oleh mitra, akan tetapi hasil yang diperoleh dibagi dua antara petani dan mitra; pada sistem ketiga, petani hutan sudah memperoleh HTR yang sudah jadi, petani tinggal mengembalikan biaya pembangunan yang telah dikeluarkan oleh developer secara bertahap.
Mewujudkan Petani Hutan Jadi Kaya
Pemerintah melalui Departemen Kehutanan berencana membangun areal HTR seluas 5,4 Juta hektar sampai tahun 2011 dengan rata rata setiap KK akan memperoleh 15 ha, maka akan melibatkan 360.000 KK. Alokasi kegiatan HTR dapat direncanakan sebagai berikut : tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 luas areal untuk HTR adalah 1.40 juta ha/tahun dengan melibatkan 93.333 KK/tahun dan pada tahun 2011 luas arealnya adalah 1.2 juta ha dengan melibatkan 80.000 KK.
Jenis tanaman adalah sesuai dengan keinginan dari petani hutan, namun disarankan mempunyai daur (umur) pendek (8 tahun), mempunyai nilai ekonomi tinggi dan mudah dalam pemasaran. Pemerintah harus dapat mengatur mekanisme pemasaran dengan pengusaha perkayuan.
Apabila pemegang HTR memutuskan memilih pola mandiri, maka perhitungan pendapatan petani hutan adalah sebagai berikut :
Kemampuan petani hutan pengolahan lahan seluas 1,875 hektare per tahun atau sekitar 15 hektar per Kepala Keluarga dalam 8 tahun, maka hasil produksi yang bisa diraih selama masa daur tanam sebanyak 150 meter kubik. Biaya tanam per hektar diperkirakan senilai Rp 7,5 juta dan perhitungan harga kayu sebesar Rp 200.000 per meter kubik. Karena itu, estimasi pendapatan yang bisa diperoleh dari HTR sebesar 15 x 150 x Rp 200.000 per meter kubik = Rp. 450.000.000,-/8 tahun, sedangkan biaya tanam 15 x Rp 7,5 juta = Rp. 112.500.000,-/8 tahun. Dengan demikian pendapatan bersihnya adalah = Rp 450.000.000,-/8 tahun - 112.500.000,-/8 tahun = Rp. 337.500.000,-/8 tahun = Rp 4.218.750,-/tahun atau Rp. 3.515.625,-/bulan per KK. Petani hutan tetap diperbolehkan melakukan penanaman diantara tanaman hutan dengan tanaman pertanian yang dikenal dengan sistem tumpangsari. Meskipun perhitungan di sini hanya merupakan simulasi, namun pendapatan pada contoh di atas dapat diwujudkan bila petani hutan bekerja dengan sungguh sungguh.
Pendapatan yang cukup besar memungkinkan petani hutan diajak dalam perlindungan hutan. Dengan demikian pemerintah dapat mewujudkan 2 (dua) tujuan sekaligus, yakni pengentasan kemiskinan pada masyarakat yang hidup disekitar hutan dan perlindungan hutan untuk menjaga agar hutan tetap lestari.
HARAPAN
Kata pepatah, kita boleh kehilangan apa saja, tetapi kita tidak boleh kehilangan harapan. Harapan petani hutan pada HTR sangat besar, harapan untuk hidup layak, harapan untuk dapat menyekolahan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, harapan untuk dapat naik haji, dan harapan harapan lainnya.
Semoga harapan petani hutan kaya dapat terwujud, semoga harapan hutan lestari dapat terwujud pula.

Bambang Winarto, Rimbawan Senior, Penyusun Kamus Rimbawan
Alamat : Villa Kebun Raya – Ciomas – BOGOR
HP:081316747515
Dimuat pada Majalah Penyuluh Kehutanan “KENARI”, Edisi 02 Tahun 2008

1 komentar:

Anonim mengatakan...

selam kenal pak bambang

baru kali ini liat blog-nya forester senior

salam lestari pak:)

iip, bogor