TRADISI BANJIR
Oleh : Bambang Winarto
Obrolan Pinggir adalah obrolan sesama rimbawan mengenai suatu topik kehutanan yang dilakukan secara santai yang tujuannya memberikan ide atau masukan kepada pengambil keputusan dalam bidang kehutanan. Obrolan dilakukan di berbagai tempat, seperti bis departemen kehutanan, warung, pinggiran hutan, café, lapangan dan lain lain.
Tokoh dalam cerita ini adalah Dul Kamdi, rimbawan senior yang telah berpengalaman bekerja di berbagai daerah dan pusat selama lebih dari 25 tahun. Karena pengalamannya Dul Kamdi sangat mengerti betul bagaimana kehutanan sebaiknya.Peran Dul Kamdi adalah sebagai “moderator”, yakni yang mengarahkan topik pembicaraan.
Selamat membaca.
Seperti biasa setiap pagi jam 05.30 saya berangkat dari rumah menuju “terminal bis depertemen” di Balai Persuteraan Alam, Ciomas. Saya langsung naik ke bis, karena bis sudah menunggu dan biasanya tepat jam 05.55 bis berangkat menuju Departemen Kehutanan. Pagi ini saya beruntung dapat duduk bersebelahan dengan rimbawan senior, ahli dalam konservasi daerah aliran sungai. Sebagai kedekatan saya dengan beliau, saya memanggil beliau dengan sebutan “senior” dan beliau memanggil saya dengan kependekan nama saya Dul.
“Selamat pagi, senior”, sapa saya. “Hai . Dul, duduk sini, lama kita nggak jumpa, kita ngobrol-ngobrol lah. Dimana sekarang kerjanya.”Sapa beliau.
“ Ya,… di Departemen Kehutanan, kalau senior sendiri dimana”,jawab saya.
“ Saya sendiri sudah pensiun dari Departemen Kehutanan, dan sekarang membuka perusahaan konsultan bidang pertanian dalam arti luas, termasuk bidang kehutanan. Kantor saya juga di Manggala koq. Mampir lah ke kantor saya. “
“ Waaah ,… hebat juga senior. Ngomong-ngomong senior, sekarang setiap musim hujan sudah menjadi musim banjir, bahkan ada iklan rokok yang ngeledek, banjir koq tradisi. Menurut senior, apanya yang salah.”
“ Kalau dulu, Dul, saat saya masih menjabat, yang pertama yang akan saya salahkan adalah alam. Hujan yang terus-menerus dengan intensitas yang tinggi adalah alasan paling tepat. Yang kedua yang saya salahkan adalah masyarakat, karena melakukan perambahan hutan dan melakukan kegiatan pertanian di lereng gunung.”
“ Kalau sekarang, senior.” Tanya saya selanjutnya.
“ Tentu saja berbeda, Dul. Sekarang saya kan konsultan, saya harus mampu memberikan jawaban secara ilmiah, dapat memberikan saran rekomendasi kepada pemerintah yang dapat dipertanggungjawabkan.”
“Maksud senior, suatu masalah, katakan banjir tadi, dapat diberikan argumentasi yang berbeda.”
“ Ya ..., tentu saja, kaya nggak tau aja. Jujur saja Dul, sekarang saya merasa bebas. Sebagai konsultas saya dapat melihat suatu masalah dengan lebih jujur, lebih jernih, meskipun kadang-kadang dalam membuat suatu kajian sudah ada pesanan dari pemerintah.”
“Senior belum menjawab pertanyaan saya tentang masalah banjir, siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab.”
“ Baik, Dul. Ini hanya kita berdua saja. Menurut saya yang paling bertanggung jawab adalah BP-DAS.”
Sungguh saya sangat terkejut mendengar jawaban beliau, karena apa yang disampaikan beliau di luar perkiraan saya.
“ Apa hubungannya, senior. Kasihan BP-DAS nggak tau apa-apa, koq disalahkan.” Saya mencoba membela BP-DAS.
“Dul, kamu tau nggak siiih, apa tugas BP-DAS, atau apa siih kepanjangan BP-DAS.”
“Kalau kepanjangan BP-DAS, ya… tau, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai”.
“Sekarang apa yang dilakukan BP-DAS.”
“Setahu saya siih sibuk menyiapkan bibit untuk GERHAN.”
“Naah…, itu kamu tau, apakah itu tugas utama BP-DAS.”
“Lha ... iya senior, itu kan tugas dari Menteri Kehutanan.”
“Dul…, melaksanakan tugas Menteri adalah kewajiban, tetapi jangan lupa dengan tugas utamanya, tugas utama BP-DAS yang memerintahkan juga Menteri.”
“Emangnya apa tugas utama dari BP-DAS.”
“Dul, dari namanya Balai Pengeloaan DAS, sudah dapat ditebak apa tugas dari BP-DAS, yakni merencanakan dan mengevaluasi suatu daerah aliran sungai. Dalam perencanaan daerah aliran sungai sudah disusun yang namanya Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah atau yang populer disebut Pola RLKT. Di dalam pola tersbut sudah direncanakan areal mana yang harus berupa hutan dan areal mana yang hanya boleh untuk budidaya pertanian. Bahkan dalam areal budidaya sudah dicantumkan jenis tanaman apa saja yang sebaiknya ditanam.”
“Senior, tetapi BP-DAS kan hanya merencanakan dan mengevaluasi saja, sedangkan yang melaksanakan kan Pemda, jadi saya masih tetap berpendapat bahwa yang keliru bukan BP-DAS.”
“ Dul, kamu ini bagaimana, memang Pemda yang melaksanakan apa yang direncanakan oleh BP-DAS, tetapi kalau Pemda tidak melaksanakan, BP-DAS mestinya wajib memberitahu, wajib mengingatkan apa akibat yang akan timbul. Bukan diam saja...”
“ Senior, BP-DAS itu kan hanya eselon III, mana berani memberitahu kepada Bupati atau Gubernur, tentang kondisi daerah aliran sungai yang ada di wilayah kerjanya.”
“ Kalau takut, ya… gunakan tangan Dirjen RLPS, maksud saya lapor ke Dirjen RLPS, tentang kondisi DAS, nanti Bapak Dirjen yang mengingatkan Bupati atau Gubernurnya.”
“ Senior, saya tetap berpendapat, bahwa BP-DAS tidak bersalah sama sekali, termasuk Dirjen RLPS.”
“Ya,…, boleh-boleh saja, itu pendapat kamu, Dul. Tetapi untuk apa Pola RLKT dibuat, kalau bukan untuk dilaksanakan. Apalagi yang mengesahkan adalah Bupati. Hanya karena Bupati sibuk dengan urusan politik, BP-DAS yang mestinya selalu dan selalu mengingatkan. Sudah tahu kondisi DAS nya nggak karuan, sudah tahu musin hujan datang, koq diam-diam saja.”
Apa yang disampaikan oleh senior saya sebenarnya ada benarnya, tetapi sebagai rimbawan yang masih mengabdi di Departemen Kehutanan, saya tetap membela Departemen Kehutanan termasuk pada BP-DAS.
Mudah-mudahan teman-teman saya yang mengabdikan diri di BP-DAS sadar kembali akan tugas utamanya.
Mudah-mudahan tradisi banjir dan longsor tidak terjadi lagi. Kasihan rakyat kecil.
Jam sudah menunjukan 08.05. Tidak terasa, bis depertemen sudah memasuki Gedung Manggala Wanabakti. Para rimbawan bergegas turun dari bis untuk menuju ke ruang kerjanya masing-masing.
“ Selamat berkerja senior, apa besok kita ngobrol lagi.”
“ Selamat bekerja Dul, baik besok kita berjumpa lagi, kita ngobrol dengan topik yang berbeda.
Dengan langkah tegap saya menuju ke ruang kerja di salah satu lantai di Gedung Manggala Wanabakti. Alangkah megahnya gedung ini. Saya sangat bangga menjadi rimbawan.
Bogor, 17 Januari 2006.
Selasa, 26 Februari 2008
Senin, 18 Februari 2008
APALAH ARTI SEBUAH NAMA
APALAH ARTI SEBUAH NAMA
(Kasus NAMA GERAKAN NASIONAL – rehabilitasi hutan dan lahan)
Oleh : Bambang Winarto *)
GERKAN NASIONAL rehabilitasi hutan dan lahan (GN-rhl) telah memasuki tahun ketiga. GERAKAN ini secara resmi telah dicanangkan oleh Presiden Megawati pada era Kabinet Gotong Royong pada tanggal 21 Januari 2004 di Yogyakarta. Pada era Kabinet Indonesia Bersatu, Menteri Kehutanan tetap mempertahankan program ini sebagai salah satu dari lima program prioritas pembangunan kehutanan, yakni illegal logging, Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, revitalisasi industri kehutanan, pemantapan kawasan hutan dan GN-rhl.
Meskipun GN-rhl telah berjalan selama tiga tahun, namun gaung pentingnya program ini nampaknya kurang menggema di masyarakat. Padahal anggaran yang dikucurkan pada GN-rhl jauh lebih besar dibandingkan dengan program-program lainnya. Lantas apa yang keliru dari program GN-rhl? Apakah kurang sosialisasi, apakah masyarakat kurang terlibat, apakah pemda tidak merasakan manfaat program ini, apakah kurang sungguh-sungguhnya aparat Departemen Kehutanan itu sendiri, atau ada faktor-faktor lainnya.
Pada saat peluncuran pertama kali program GN-rhl, saya (pada saat itu menjabat sebagai kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Gorontalo) memang sempat bertanya kepada teman saya dari Departemen Kehutanan. Pertanyaan saya sangat sederhana, “Mengapa diberi nama GERAKAN NASIONAL-rehabilitasi hutan dan lahan, apakah ada makna khusus dari pemberian nama tersebut ?”. Ternyata teman saya tidak dapat menjawab secara memuaskan. Jawaban yang diberikan GN-rhl merupakan program pemerintah untuk mengatasi lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan serta dapat mensejahterakan masyarakat sekitar hutan. Teman saya tidak dapat menjelaskan makna GERAKAN, apalagi GERAKAN NASIONAL. Saya kurang mengetahui apakah ada makna khusus nama GN-rhl atau hanya sekedar nama.
Jika kita mencermati nama program-program yang pernah dicanangkan oleh pemerintah, ternyata cukup banyak yang diberi nama dengan GERAKAN. GERAKAN penghijauan, GERAKAN penananaman tatangkalan, GERAKAN pramuka, GERAKAN bulan dana Palang Merah Indonesia, GERAKAN satu juta rumah, GERAKAN keluarga berencana, dan tentu masih banyak nama GERAKAN-GERAKAN yang lain.
Dari seluruh program pemerintah yang memakai nama GERAKAN, menurut hemat saya hanya SATU dan hanya SATU SATUnya yang sampai saat ini dikatakan BERHASIL, yakni GERAKAN KELUARGA BERENCANA. Keberhasilan dari program KB dapat dilihat dari keluarga di Indonesia yang hanya mempunyai anak 2-3 orang, yang dikenal dengan Norma Keluarga Kecil dan Bahagia (NKKB). Masyarakat sudah menyadari pentingnya NKKB, sehingga masyarakat tidak segan-segan mau mengeluarkan biaya untuk keperluan KB. Apa yang ingin disampaikan disini adalah program KB sudah menjadi suatu GERAKAN MORAL. Pemerintah (orde baru pada saat itu) memahami
1
betul makna KATA GERAKAN, sehingga program disusun dengan melibatkan seluruh ‘stake holder’; pemerintah pusat, pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, perguruan tinggi, LSM dan masyarakat itu sendiri. Masyarakat bukan hanya obyek tetapi sekaligus subyek.
ARTI SEBUAH NAMA
Menteri Kehutanan memberi nama GERAKAN NASIONAL rehabilitasi hutan dan lahan pasti tidak sembarangan. Ada suatu harapan, ada arti dari nama itu sendiri. Apalagi nama yang diberikan adalah sebagai pengganti nama GERAKAN Penghijauan yang sudah dideklarasikan tahun 70 an dan dianggap kurang berhasil, sehingga perlu diganti namanya. Sama halnya dengan orang tua memberi nama kepada anaknya, Dermawan misalnya, tentu berharap anaknya akan menjadi seorang yang dermawan bila sudah besar kelak, mau membantu masyarakat miskin, tidak pelit. Atau seseorang yang diberi nama Yuliana, dapat dipastikan lahirnya pada bulan Juli. Dengan demikian sebuah nama tentu mempunyai makna khusus yang ingin disampaikan oleh pemberi nama, apakah suatu HARAPAN atau mengenang suatu peristiwa. Jadi tidak hanya sekedar nama.
Bagaimana dengan nama GN-rhl ? Saya punya keyakinan bahwa Menteri Kehutanan mempunyai suatu HARAPAN, agar GN-rhl benar-benar menjadi suatu GERAKAN MASYARAKAT INDONESIA . Pemerintah bersama masyarakat bahu membahu untuk bersama-sama memerangi musuh masyarakat yang berupa lahan kritis atau lahan tidak produktif baik yang berada di dalam kawasan hutan maupun yang berada di luar kawasan hutan. Memang perlu waktu untuk menjadikan INDONESIA HIJAU, Indonesia yang ijo royo-royo Jika program KB perlu waktu kurang lebih 25 tahun untuk menjadikan suatu KEBUTUHAN MASYARAKAT, maka saya kurang tau berapa tahun GN-rhl menjadi suatu KEBUTUHAN MASYARAKAT. Sebagai rimbawan tentu tidak mengharapkan nasib GN-rhl sama seperti GERAKAN Penghijauan yang pada akhirnya MATI tanpa pernah menjadi suatu GERAKAN MASYARAKAT.
Jika kita mencermati komponen pembiayaan GN-rhl, seperti agak aneh. Seluruh biaya GN-rhl ditanggung oleh PEMERINTAH PUSAT. Daerah yang tidak memperoleh alokasi anggaran GN-rhl, langsung marah-marah, melakukan protes keras. Jika hal ini masih berlangsung, artinya GN-rhl HANYA menjadi program pemerintah pusat saja, belum menjadi suatu GERAKAN seperti yang diinginkan. Apa yang ingin diutaraklan di sini adalah para pembantu Menteri Kehutanan nampaknya kurang memahami makna NAMA GN-rhl, sehingga kegiatan yang disusunpun tidak mencerminkan suatu GERAKAN.
BAGAIMANA SEBAIKNYA ?
Sistem pemerintahan telah berubah sejak dikeluarkannya UU 22 tahun 2000, kemudian direvisi menjadi UU 34 tahun 2002 .Pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang sangat luas, terutama pemerintah daerah kabupaten/kota, sedangkan provinsi mempunyai kewenangan terbatas dan kewenangan mewakili pemerintah pusat di daerah. Hal ini memberikan suatu implikasi yang sangat luas. Dengan demikian apabila GN-rhl ingin sukses hal pertama yang harus dilakukan adalah melibatkan pemda secara aktive sejak
2
dari perencanaan, pendanaan sampai dengan evaluasinya.
Bukankah Gn-rhl telah melibatkan para ‘stake holder’? Menurut hemat saya belum. Buktinya pemerintah daerah apakah provinsi atau kabupaten/kota belum pernah diajak bicara pada saat penyusunan program GN-rhl. Sebagai akibatnya,pemda kurang merasa kurang bertanggung jawab terhadap keberhasilan program GN-rhl. Memang benar bahwa Bupati/Walikota diberi tanggung jawab keberhasilan program penanaman GN-rhl, namun itu hanya secara administrasi saja. Secara moral sebenarnya Bupati/Walikota TIDAK merasa bertanggung jawab. Mengapa ? Ya … jawabnya sangat sederhana, Bupati/Walikota tidak merasa terlibat, tidak merasa diajak bicara sejak perencanaan. Perencanaan ditangani secara sentralistik oleh Departemen Kehutanan.
Mestinya yang perlu dipertanyakan oleh Pemerintah Pusat adalah apakah pemda mengganggap GN-rhl itu program yang penting di daerahnya atau tidak. Jika penting berapa alokasi dana yang disediakan oleh pemda atau paling tidak antara Departemen Kehutanan dengan para Bupati/Walikota dan Gubernur ada kesepakatan pendanaan untuk program GN-rhl. Bagi daerah yang tidak mau mengalokasikan dananya untuk GN-rhl, pemerintah pusat tidak perlu ragu-ragu untuk tidak mengganggarkannya..
Keterlibatan pemda dalam mengalokasi dana untuk GN-rhl sangat sangat penting sekali, artinya DPRD sebagai wakil rakyat di daerah telah mendukung program ini. Implikasi selanjutnya Gubernur dan Bupati/Walikota akan diminta pertanggung jawabannya dihadapan DPRD. Kontrol dari DPRD sangat kuat. Gubernur dan Bupati/Walikota akan sungguh-sungguh mengawasi pelaksanaan GN-rhl. Yang penting adalah bagaimana menghindari duplikasi anggaran. Hal ini sangat mudah, tinggal kesepakatan bersama kegiatan apa yang didanai pemerintah pusat dan kegiatan apa saja yang didanai oleh pemerintah daerah. Misalnya kegiatan pembibitan, penanaman, tata batas dibiayai oleh pemerintah pusat, kegiatan pemberdayaan masyarakat (penyuluhan, pelatihan, sosialisasi GN-rhl), petugas lapangan dibiaya oleh pemda kabupaten/kota, sedangkan kegiatan evaluasi dan monitoring didanai oleh pemerintah provinsi.
PENUTUP
Apalah arti sebuah nama. Kembali kepada pemahaman diri kita sendiri, apakah nama sekedar nama yang hanya membedakan dengan nama lainnya atau nama mempunyai arti dengan segala implikasinya. Saya berpendapat bahwa NAMA mempunyai makna khusus. Mengingat NAMA GN-rhl sudah dideklarasikan oleh pemerintah, maka sudah selayak nya kita sebagai rimbawan mendukung secara penuh untuk dapat mewujudkannya. Memang pada daerah-daerah tertentu ada sebagian masyarakat bukan hanya sudah menyadari pentingnya hutan bagi kehidupannya, akan tetapi malahan sudah menjadi KEBUTUHAN hidupnya. Bagaimana GN rhl menjadi KEBUTUHAN masyarakat Indonesia, itu menjadi tugas kita bersama. Bagi perencana GN rhl sudah waktunya meninjau kembali kegiatan yang telah disusunnya. Mari kita wujudkan INDONESIA HIJAU, Indonesia yang ijo royo-royo
JAKARTA, Akhir Desember 2005
*). Bambang Winarto adalah rimbawan senior
(Kasus NAMA GERAKAN NASIONAL – rehabilitasi hutan dan lahan)
Oleh : Bambang Winarto *)
GERKAN NASIONAL rehabilitasi hutan dan lahan (GN-rhl) telah memasuki tahun ketiga. GERAKAN ini secara resmi telah dicanangkan oleh Presiden Megawati pada era Kabinet Gotong Royong pada tanggal 21 Januari 2004 di Yogyakarta. Pada era Kabinet Indonesia Bersatu, Menteri Kehutanan tetap mempertahankan program ini sebagai salah satu dari lima program prioritas pembangunan kehutanan, yakni illegal logging, Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, revitalisasi industri kehutanan, pemantapan kawasan hutan dan GN-rhl.
Meskipun GN-rhl telah berjalan selama tiga tahun, namun gaung pentingnya program ini nampaknya kurang menggema di masyarakat. Padahal anggaran yang dikucurkan pada GN-rhl jauh lebih besar dibandingkan dengan program-program lainnya. Lantas apa yang keliru dari program GN-rhl? Apakah kurang sosialisasi, apakah masyarakat kurang terlibat, apakah pemda tidak merasakan manfaat program ini, apakah kurang sungguh-sungguhnya aparat Departemen Kehutanan itu sendiri, atau ada faktor-faktor lainnya.
Pada saat peluncuran pertama kali program GN-rhl, saya (pada saat itu menjabat sebagai kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Gorontalo) memang sempat bertanya kepada teman saya dari Departemen Kehutanan. Pertanyaan saya sangat sederhana, “Mengapa diberi nama GERAKAN NASIONAL-rehabilitasi hutan dan lahan, apakah ada makna khusus dari pemberian nama tersebut ?”. Ternyata teman saya tidak dapat menjawab secara memuaskan. Jawaban yang diberikan GN-rhl merupakan program pemerintah untuk mengatasi lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan serta dapat mensejahterakan masyarakat sekitar hutan. Teman saya tidak dapat menjelaskan makna GERAKAN, apalagi GERAKAN NASIONAL. Saya kurang mengetahui apakah ada makna khusus nama GN-rhl atau hanya sekedar nama.
Jika kita mencermati nama program-program yang pernah dicanangkan oleh pemerintah, ternyata cukup banyak yang diberi nama dengan GERAKAN. GERAKAN penghijauan, GERAKAN penananaman tatangkalan, GERAKAN pramuka, GERAKAN bulan dana Palang Merah Indonesia, GERAKAN satu juta rumah, GERAKAN keluarga berencana, dan tentu masih banyak nama GERAKAN-GERAKAN yang lain.
Dari seluruh program pemerintah yang memakai nama GERAKAN, menurut hemat saya hanya SATU dan hanya SATU SATUnya yang sampai saat ini dikatakan BERHASIL, yakni GERAKAN KELUARGA BERENCANA. Keberhasilan dari program KB dapat dilihat dari keluarga di Indonesia yang hanya mempunyai anak 2-3 orang, yang dikenal dengan Norma Keluarga Kecil dan Bahagia (NKKB). Masyarakat sudah menyadari pentingnya NKKB, sehingga masyarakat tidak segan-segan mau mengeluarkan biaya untuk keperluan KB. Apa yang ingin disampaikan disini adalah program KB sudah menjadi suatu GERAKAN MORAL. Pemerintah (orde baru pada saat itu) memahami
1
betul makna KATA GERAKAN, sehingga program disusun dengan melibatkan seluruh ‘stake holder’; pemerintah pusat, pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, perguruan tinggi, LSM dan masyarakat itu sendiri. Masyarakat bukan hanya obyek tetapi sekaligus subyek.
ARTI SEBUAH NAMA
Menteri Kehutanan memberi nama GERAKAN NASIONAL rehabilitasi hutan dan lahan pasti tidak sembarangan. Ada suatu harapan, ada arti dari nama itu sendiri. Apalagi nama yang diberikan adalah sebagai pengganti nama GERAKAN Penghijauan yang sudah dideklarasikan tahun 70 an dan dianggap kurang berhasil, sehingga perlu diganti namanya. Sama halnya dengan orang tua memberi nama kepada anaknya, Dermawan misalnya, tentu berharap anaknya akan menjadi seorang yang dermawan bila sudah besar kelak, mau membantu masyarakat miskin, tidak pelit. Atau seseorang yang diberi nama Yuliana, dapat dipastikan lahirnya pada bulan Juli. Dengan demikian sebuah nama tentu mempunyai makna khusus yang ingin disampaikan oleh pemberi nama, apakah suatu HARAPAN atau mengenang suatu peristiwa. Jadi tidak hanya sekedar nama.
Bagaimana dengan nama GN-rhl ? Saya punya keyakinan bahwa Menteri Kehutanan mempunyai suatu HARAPAN, agar GN-rhl benar-benar menjadi suatu GERAKAN MASYARAKAT INDONESIA . Pemerintah bersama masyarakat bahu membahu untuk bersama-sama memerangi musuh masyarakat yang berupa lahan kritis atau lahan tidak produktif baik yang berada di dalam kawasan hutan maupun yang berada di luar kawasan hutan. Memang perlu waktu untuk menjadikan INDONESIA HIJAU, Indonesia yang ijo royo-royo Jika program KB perlu waktu kurang lebih 25 tahun untuk menjadikan suatu KEBUTUHAN MASYARAKAT, maka saya kurang tau berapa tahun GN-rhl menjadi suatu KEBUTUHAN MASYARAKAT. Sebagai rimbawan tentu tidak mengharapkan nasib GN-rhl sama seperti GERAKAN Penghijauan yang pada akhirnya MATI tanpa pernah menjadi suatu GERAKAN MASYARAKAT.
Jika kita mencermati komponen pembiayaan GN-rhl, seperti agak aneh. Seluruh biaya GN-rhl ditanggung oleh PEMERINTAH PUSAT. Daerah yang tidak memperoleh alokasi anggaran GN-rhl, langsung marah-marah, melakukan protes keras. Jika hal ini masih berlangsung, artinya GN-rhl HANYA menjadi program pemerintah pusat saja, belum menjadi suatu GERAKAN seperti yang diinginkan. Apa yang ingin diutaraklan di sini adalah para pembantu Menteri Kehutanan nampaknya kurang memahami makna NAMA GN-rhl, sehingga kegiatan yang disusunpun tidak mencerminkan suatu GERAKAN.
BAGAIMANA SEBAIKNYA ?
Sistem pemerintahan telah berubah sejak dikeluarkannya UU 22 tahun 2000, kemudian direvisi menjadi UU 34 tahun 2002 .Pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang sangat luas, terutama pemerintah daerah kabupaten/kota, sedangkan provinsi mempunyai kewenangan terbatas dan kewenangan mewakili pemerintah pusat di daerah. Hal ini memberikan suatu implikasi yang sangat luas. Dengan demikian apabila GN-rhl ingin sukses hal pertama yang harus dilakukan adalah melibatkan pemda secara aktive sejak
2
dari perencanaan, pendanaan sampai dengan evaluasinya.
Bukankah Gn-rhl telah melibatkan para ‘stake holder’? Menurut hemat saya belum. Buktinya pemerintah daerah apakah provinsi atau kabupaten/kota belum pernah diajak bicara pada saat penyusunan program GN-rhl. Sebagai akibatnya,pemda kurang merasa kurang bertanggung jawab terhadap keberhasilan program GN-rhl. Memang benar bahwa Bupati/Walikota diberi tanggung jawab keberhasilan program penanaman GN-rhl, namun itu hanya secara administrasi saja. Secara moral sebenarnya Bupati/Walikota TIDAK merasa bertanggung jawab. Mengapa ? Ya … jawabnya sangat sederhana, Bupati/Walikota tidak merasa terlibat, tidak merasa diajak bicara sejak perencanaan. Perencanaan ditangani secara sentralistik oleh Departemen Kehutanan.
Mestinya yang perlu dipertanyakan oleh Pemerintah Pusat adalah apakah pemda mengganggap GN-rhl itu program yang penting di daerahnya atau tidak. Jika penting berapa alokasi dana yang disediakan oleh pemda atau paling tidak antara Departemen Kehutanan dengan para Bupati/Walikota dan Gubernur ada kesepakatan pendanaan untuk program GN-rhl. Bagi daerah yang tidak mau mengalokasikan dananya untuk GN-rhl, pemerintah pusat tidak perlu ragu-ragu untuk tidak mengganggarkannya..
Keterlibatan pemda dalam mengalokasi dana untuk GN-rhl sangat sangat penting sekali, artinya DPRD sebagai wakil rakyat di daerah telah mendukung program ini. Implikasi selanjutnya Gubernur dan Bupati/Walikota akan diminta pertanggung jawabannya dihadapan DPRD. Kontrol dari DPRD sangat kuat. Gubernur dan Bupati/Walikota akan sungguh-sungguh mengawasi pelaksanaan GN-rhl. Yang penting adalah bagaimana menghindari duplikasi anggaran. Hal ini sangat mudah, tinggal kesepakatan bersama kegiatan apa yang didanai pemerintah pusat dan kegiatan apa saja yang didanai oleh pemerintah daerah. Misalnya kegiatan pembibitan, penanaman, tata batas dibiayai oleh pemerintah pusat, kegiatan pemberdayaan masyarakat (penyuluhan, pelatihan, sosialisasi GN-rhl), petugas lapangan dibiaya oleh pemda kabupaten/kota, sedangkan kegiatan evaluasi dan monitoring didanai oleh pemerintah provinsi.
PENUTUP
Apalah arti sebuah nama. Kembali kepada pemahaman diri kita sendiri, apakah nama sekedar nama yang hanya membedakan dengan nama lainnya atau nama mempunyai arti dengan segala implikasinya. Saya berpendapat bahwa NAMA mempunyai makna khusus. Mengingat NAMA GN-rhl sudah dideklarasikan oleh pemerintah, maka sudah selayak nya kita sebagai rimbawan mendukung secara penuh untuk dapat mewujudkannya. Memang pada daerah-daerah tertentu ada sebagian masyarakat bukan hanya sudah menyadari pentingnya hutan bagi kehidupannya, akan tetapi malahan sudah menjadi KEBUTUHAN hidupnya. Bagaimana GN rhl menjadi KEBUTUHAN masyarakat Indonesia, itu menjadi tugas kita bersama. Bagi perencana GN rhl sudah waktunya meninjau kembali kegiatan yang telah disusunnya. Mari kita wujudkan INDONESIA HIJAU, Indonesia yang ijo royo-royo
JAKARTA, Akhir Desember 2005
*). Bambang Winarto adalah rimbawan senior
Selasa, 12 Februari 2008
PENGALAMAN MENYUSUN KAMUS RIMBAWAN
PENGALAMAN MENYUSUN KAMUS RIMBAWAN
Oleh: Bambang Winarto
Prolog
Sungguh saya sangat bersyukur dapat diterima kembali di Departemen Kehutanan setelah hampir 20 tahun waktunya dihabiskan bekerja di daerah. Walau bagaimanapun Departemen Kehutanan adalah rumah saya. Ditempatkan dimanapun dan jabatan apapun akan saya terima dengan senang hati.
Saya ditempat di Pusdal Regional IV Departemen Kehutanan, sebagai staf. Saya sendiri menyebutnya sebagai staf senior. Dalam waktu kurang dari satu tahun saya dapat menyusun buku Kamus Rimbawan, suatu buku yang menurut saya sangat bermanfaat bagi para rimbawan. Buku tersebut saya susun apabila saya tidak ada tugas dari Pusdal.
Beberapa komentar dari teman terhadap kamus rimbawan sempat saya rekam, inilah komentarnya :
“Kamus rimbawan termasuk buku yang masuk kategori amal jahiriah, dapat untuk bekal di akhirat nanti”. (rimbawan ustadz).
“Kamus rimbawan dapat memberikan angka kredit yang cukup besar (12 angka kredit) dibandingkan dengan kegiatan mengajar yang hanya 0,05). “(rimbawan widyaiswara).
“Kamus rimbawan merupakan pendapatan yang halal, beda dengan pendapatan sebagai kepala dinas”. (rimbawan mantan kepala dinas).
Secara keseluruhan para rimbawan mengucapkan selamat kepada saya atas ide, ketekunan, kesabaran, ketelitian dan keberaniannya menerbitkan buku kamus rimbawan. Saya sungguh mendapat dukungan dan terimakasih atas berbagai komentarnya.
Bermula Dari Tugas di Pusdal.
Sebagai mantan pejabat, dengan pengalaman yang cukup lama di daerah, saya berpendapat saya harus dapat menunjukkan diri sebagai pegawai yang ahli. Saya sadar sepenuhnya bahwa kompetisi di Departemen Kehutanan luar biasa kerasnya. Dengan demikian jika ingin berkompetisi saya harus dapat menunjukan jati diri saya. Sebagai staf, jelas bahwa saya tidak mempunyai staf. Beda jauh dengan pada saat menjabat.
Saya masuk di Pusdal pada akhir Desember 2005, kegiatan dapat dikatakan sudah selesai. Demikian pula pada bulan-bulan awal tahun anggaran baru, bulan Januari, Februari dan Maret, kegiatan relatif sedikit.
Sebagai pegawai yang sudah biasa bekerja, saya tidak bisa berdiam diri, saya harus dapat menciptakan kegiatan untuk diri saya sendiri. Dengan pengetahun komputer yang terbatas dan dengan kemampuan saya untuk menulis, saya mulai menulis beberapa artikel. Dalam hal komputer, guru saya adalah teman teman yunior, pegawai baru kehutanan. Beruntunglah bahwa program komputer yang diciptakan mudah dipelajari dan dipraktekan. Saya sempat menulis dua artikel yang saya kirimkan kepada teman-teman eselon 1 dan 2. Isi artikel adalah memberikan masukan kepada teman-teman yang kebetulan adalah pengambil keputusan. Artikel yang sempat saya kirimkan, yaitu : “APALAH ARTI SEBUAH NAMA (Kasus nama Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan)”, dan “SATU JENIS POHON SATU DESA (Pemikiran Lebih Lanjut Dari Workshop Nasional 2 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan)”. Ada satu tulisan yang sempat saya kirim ke Majalah Kehutanan Indonesia, dan ternyata dimuat dengan judul “AIR MINUM DALAM KEMASAN, Suatu Produk Utama Hutan Lindung Yang Terabaikan”. Tadinya saya berharap ada suatu tanggapan, ternyata tidak. Atas dasar kenyataan tersebut, saya berkesimpulan bahwa menulis artikel atau artikel di MKI tidak dibaca oleh pejabat kehutanan.
Untuk sementara, menulis artikel saya hentikan, dan sebagai gantinya saya menulis tentang Pusdal, yakni dengan menjabarkan lebih detail tugas pokok dan fungsi Pusdal dengan membuat tanya jawab secara imajiner. Buku tersebut saya beri judul “79 TANYA JAWAB IMPLEMENTASI TUGAS PUSDAL”, yang selanjutnya saya sampaikan kepada Bapak Sekjen dan Bapak Kepala Pusdal (I,II,III,IV). Dari buku tersebut sebenarnya dapat dibuat tata hubungan kerja antara Pusdal dengan Unit kerja Eselon 1 lingkup Sekjen (Pusdiklat, Pusbinluh, Pustanling, Pusinfo, Biro Hukum, Biro Perencanaan dan Keuangan) Eselon 1 lainnya (Dirjen BPK, PHKA, RLPS, Badan Planologi, Badan Litbang dan Irjen), serta hubungan antara Pusdal dengan Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Bapak Sekjen sangat menghargai tulisan tersebut, namun sayang tidak dibahas lebih lanjut.
Dari menyusun buku tersebut, saya berpendapat Dinas Kehutanan Daerah (Provinsi Kabupaten/Kota) harus mengetahui semua peraturan perundangan di bidang kehutanan, mengingat bahwa kewenangan sebagian besar berada di daerah. Selain itu, saya berpendapat bahwa pegawai Pusdal harus mengetahui peraturan perundangan di bidang kehutanan serta istilah kehutanan. Pegawai Pusdal sebenarnya adalah : pemasar program Departemen Kehutanan di Daerah, mediator dan sekaligus “broker”. Istilah istilah kehutanan memang sudah ada di berbagai peraturan. Yang menjadi problem adalah bagaimana mendapatkannya. Dari sinilah ide menyusun kamus rimbawan muncul.
Ada 5 alasan dalam penyusunan Kamus Rimbawan adalah sangat sederhana, yakni : (1). Para rimbawan memepunyai pengertian/definisi yang sama tentang istilah kehutanan; (2) Sebagai pegangan para rimbawan dalam melaksanakan tugas; (3) Memudahkan para rimbawan dalam mencari suatu istilah atau pengertian/definisi dari suatu istilah yang berhubungan dengan kehutanan; (4) Memudahkan para rimbawan dalam memberikan pengertian kepada pejabat atau masyarakat yang berlatar belakang bukan rimbawan; (5) Dapat dijadikan acuan dalam pembakuan istilah kehutanan.
Memang benar pernah ada kamus kehutanan yang diterbitkan oleh Departemen Kehutanan, namun kamus ini lebih bersifat ilmiah, ketimbang praktis. Lagi pula banyak para rimbawan yang kurang mengetahui adanya kamus tersebut.
Mulai Menyusun
Untuk dapat menyusun kamus rimbawan, saya harus mengumpulkan semua peraturan perundangan yang berhubungan dengan kehutanan. Langkah pertama yang saya tempuh adalah dengan menghubungi Kepala Biro Hukum, dan Sekretaris Dirjen/Badan atau bagian yang menangani masalah perundangan serta perpustakaan Manggala Wamabakti. Data tersebut relatif mudah diperoleh..
Dalam peraturan perundangan, pada Bab I, Pasal 1 menguraikan “pengertian”, atau “yang dimaksud dengan”. Bagian ini saya ketik kembali atau saya copy dan untuk selanjutnya saya masukan ke rental pengetikan untuk diketik ulang. Jika tidak ada kegiatan di kantor, maka kegiatan mencari data peraturan perundangan (perpustakaan manggala, pusat standarisasi dan lingkungan, bagian perundang dan internet), pengetikan, pengcopyan adalah kegiatan saya sehari-hari.
Data yang berupa pengertian atau “yang dimaksud dengan” saya masukan dalam data base. Untuk keperluan penyusunan Kamus Rimbawan saya mempunyai lebih dari 500 file, karena satu perundangan satu file. Pengorganisasian file sangat penting, yang akan memudahkan dalam pengolahan data. Sebagai contoh pemberian nama file adalah : UU 199941 artinya adalah Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999, PP 200445 artinya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004, Kepmenhut 2003180, dan seterusnya. File file untuk peraturan yang berbeda (UU, PP, Kepmenhut, Kepdirjen), untuk tahun yang sama saya jadikan satu dalam satu folder. Misalnya Folder UU 2000, adalah berisi file undang undang yang diterbitkan pada tahun 2000. Contoh data base terlampir.
Mengolah data
Setelah data saya anggap cukup, saya mulai dengan pengolahan data. Namun demikian saya tetap menyediakan “folder tambahan”. Fungsi folder tambahan adalah untuk menampung berbagai peraturan perundangan yang baru diketemukan tanpa memperhatikan hirarki dan tahunnya, mengingat bahwa saya tidak mengetahui secara pasti berapa banyak sebenarnya peraturan perundangan yang berhubungan dengan kehutanan.
Pada dasarnya pengolahan data saya bedakan menjadi 3 bagian, yaitu : file “appendik”, file “pustaka” dan file ”kamus”. File appendik berisi istilah yang nantinya akan didefinisikan dan sebagai alat kontrol dalam penyusunan kamus, meskipun pada akhirnya istilah tersebut tidak masuk dalam kamus rimbawan. File perpustakaan berisi judul dari peraturan perundangan yang nantinya menjadi daftar pustaka, dan file kamus itu sendiri. Contoh file lihat lampiran (Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan).
File yang masuk kategori appendik dijadikan satu dengan cara ”copy” dan “paste”, demikian pula file pustaka dan file kamus. Pengolahan data pada file appendik relatif gampang, karena hanya melakukan “sort ascending” dilanjutkan dengan men “delete” kata-kata yang sama. Sebaliknya pada file pustaka setelah dilakukan penggabungan dengan cara yang sama dilakukan “sort decending”.Yang memerlukan waktu lama adalah pengolahan pada file kamus. Prosedurnya sama dengan pengolahan file appendik, yang membedakan adalah pada saat men “delete” dan mengkoreksi kata-kata. Pen”delete”an dilakukan pada istilah pengertian yang sama dengan hirarkhi UU, PP, Kepmenhut, Kepdirjen, SNI dan Lembaga Ekolabel. Artinya suatu definisi atau pengertian yang sama, misalnya Kehutanan, maka yang diambil hanya satu, yakni dari UU Nomor 41 tahun 1999, yang lain apakah definisi/pengertian dari PP atau Kepmenhut di “delete”. Apabila pengertiannya agak berbeda, maka urutan pengertiannya sesuai dengan hirarkhi di atas. Misalnya, Pagu Indikatif adalah : 1 merupakan ancar-ancar pagu anggaran yang diberikan kepada kementerian negara/lembaga untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan rencana kerja kementerian negara/lembaga. (PP 21/2004); 2 merupakan perkiraan jumlah maksimum anggaran yang diberikan kepada Kementerian Negara/Lembaga untuk setiap program sesuai dengan prioritas pembangunan yang ditetapkan oleh Kementerian Perencanaan dan Kementerian Keuangan, sebagai acuan dalam penyusunan Renja-KL. (Permenhut P.01/Menhut-II/2006).
Pekerjaan yang memerlukan ketelitian, ketekunan dan kesabaran adalah koreksi kata-kata, huruf dan kalimat. Untuk masalah ini saya dibantu putra-putri saya.
Konsultasi dengan teman
Konsultasi saya lakukan sejak awal, sambil mencari data. Banyak teman saya yang telah berjasa memberikan saran, pendapat, kritik, masukan dalam proses penyusunan. Secara khusus saya sampaikan beberapa teman yang selalu “wellcome” ketika saya mengunjungi ruangannya untuk konsultasi, yakni: Ir. Nur Hidayat, Ir. Sutaryo Suriamihardja, Ir. Broto Hadi, Ir. Susilo Indrarto, DR.Ir.Eka, W. Sugiri,MM, Ir. Tubagus Unu Nitibaskoro dan Ir. Lisman Sumarjani MBA.
Konsultasi menyangkut banyak hal, misalnya judul buku, nama kamus, siapa yang akan memberikan kata pengantar/sambutan, isi kata pengantar, sponsor, penerbit, kapan saat penerbitan pertama, ukuran kertas, bentuk dan ukuran huruf, penulis Depertemen Kehutanan yang telah menerbitkan buku dan lain sebagainya.
Dari konsultasi saya mengetahui bahwa di Departemen Kehutanan hanya 4 (empat) orang pernah menerbitkan buku, yaitu : DR. Ir. Untung Iskandar (mantan Dirjen BPK), Ir. Sutisno Wibowo (Staf Ahli Menteri), Ir. Tubagus Unu Nibaskoro dan Budi Suharyanto, SH (Fungsional di Biro Hukum).
Saya banyak memperoleh masukan dari Ir. Tubagus Unu Nitibaskoro. Beliau menerbitkan buku yang diberi judul “DILEMA DIKOTOMI KONSERVASI DAN PEMANFAATAN”, isinya merupakan kumpulan 10 artikel yang pernah dimuat pada majalah Tabloid Agro Indonesia dengan kata sambutan dari Bapak Menteri Kehutanan.
Konsultasi dengan Bpk. Sekjen, Staf ahli, saya lakukan setelah naskah selesai, tinggal kata sambutan dari Menteri Kehutanan. Saya sangat gembira, karena Bpk. Sekjen dan Staf Ahli Menteri mendukung adanya Kamus rimbawan. Untuk kata sambutan Menteri, Bapak Sekjen akan membantunya.
Menuju cetakan
Hasil kopnsultasi dengan teman-teman, mengharuskan adanya kata pengantar/sambutan dari Menteri Kehutanan. Selain untuk melegitimasi keberadaan kamus rimbawan juga sekaligus untuk strategi pemasaran. Ternyata, untuk sambutan bapak Menteri Kehutanan sangat cepat sekali. Naskah kata sambutan yang saya susun, diminta untuk langsung di cetak pada lembar kerta yang berlambang garuda. Bahkan dalam lembar disposisi tertulis “sangat kreatif”. Sungguh saya sangat berbangga.
Untuk menerbitkan kamus rimbawan konsultasi kepada Bapak Tino, dan Bapak Budi, menanyakan penerbit mana yang kira kira mau menerbitkan buku saya. Oleh Bapak Tino dan Bapak Budi saya disarankan untuk menemui Ir. Agung Nugroho, direktur Wana Aksara. Cukup banyak buku-buku kehutanan yang diterbitkan oleh Wana Aksara. Saya sampaikan naskah kamus rimbawan yang telah ada kata sambutan Menteri Kehutanan. Setelah dipelajari oleh Ir. Agung Nugroho, Wana Aksara setuju untuk menerbitkan dengan perjanjian saya hanya menyerahkan file naskah kamus rimbawan, akan menerima fee sebesar 10% dari buku yang terjual dan mendapat buku gratis sebanyak 100 buku. Segala biaya percetakan, promosi, pemasaran dan lain sebagainya di tanggung penerbit. Saya juga mencoba ke penerbit Gramedia, ternyata informasinya sama, pengarang hanya akan mendapat fee 10%. Prosedur di Gramedia lebih ketat lagi, saya diminta menunggu 3 (tiga) bulan untuk menentukan apakah buku yang akan diterbitkan layak jual atau tidak.
Setelah mempertimbangkan berbagai hal, serta dorongan dari sahabat saya Ir. Lisman Sumadjani,MBA, saya mengambil keputusan untuk saya cetak sendiri, dengan biaya saya sendiri serta dipasarkan sendiri. Untuk memperoleh ISBN, saya pinjam nama Yayasan Bumi Indonesia Hijau, yang kebetulan salah satu pengurusnya adalah Ir. Lisman Sumardjani, MBA, karena yang mengurus ISBN di Perpustakaan Nasional sebenarnya adalah bukan pengarang, tetapi penerbit atau instansi pemerintah atau yayasan. Mengurus ISBN relatif mudah, dalam waktu 1-2 hari Nomor ISBN (ISBN 979-15210-0-X) dengan “barcode” telah keluar. Hal lain adalah buku kamus rimbawan masuk dalam katalog perpustakaan nasional.
Pada cetakan pertama sebenarnya saya hanya bermaksud untuk mencetak 300 – 500 buku saja, hanya sekedar untuk promosi. Akan tetapi karena mencetak 1000 buku jauh lebih murah, maka untuk cetakan pertama saya putuskan 1000 buku,
Pemasaran
Menentukan harga jual kamus rimbawan bagi saya ternyata tidak gampang. Pada prinsipnya saya harus menghitung seluruh biaya yang telah saya keluarkan (foto copy, biaya pengetikan, biaya pengurusan ISBN, biaya percetakan, biaya pemasar dan biaya kesempatan (“opportunity cost”), serta kemampuan rimbawan dalam membeli buku. Dengan berbagai pertimbangan tersebut akhirnya saya tetapkan kamus rimbawan seharga Rp.75.000,-
Cetakan pertama saya edarkan bertepatan dengan pembukaan Konggres Kehutanan Indonesia, tepatnya tanggal 13 September 2006, karena saya berpendapat banyak rimbawan yang akan mengikuti konggres kehutanan. Satu hari sebelumnya Kamus Rimbawan telah saya bagikan secara cuma-cuma kepada Bapak Menteri Kehutanan, Eselon I (Dirjen, Kepala Badan, Irjen, Staf Ahli) dan sebagian besar pejabat eselon II, serta teman-teman yang telah berjasa dalam membantu penyusunan kamus rimbawan.
Hari-hari berikutnya saya rajin mencari informasi dimana ada rapat dinas, seminar, lokakarya atau sejenisnya kemudian bekerja sama dengan panitia untuk memasarkan. Maklum pada bulan September – Desember pasti banyak acara seperti itu. Selain itu saya selalu berkonsultasi dengan “key person” di Departemen Kehutanan untuk minta dianggarkan pengadaannya pada tahun 2007 melalui DIPA. Pencaharian “key person” saya anggap penting, mengingat banyak rimbawan yang sebenarnya berkeinginan untuk memiliki kamus rimbawan, akan tetapi terkendala harga sebesar Rp. 75.000,- yang masih dianggap mahal.
“Outlet” masih sangat terbatas, baru di Jakarta (Perpustakaan Manggala ) dan Bogor (Diklat Kehutanan, Litbang Kehutanan, Fahutan IPB, UNB). Dalam waktu dekat akan dilakukan penjajagan ke Gramedia dan Gunung Agung dan toko buku lainnya.
Dalam tempo tiga bulan, cetakan pertama sudah habis terjual, sekarang saya sudah mencetak edisi kedua dengan jumlah 1000 buku lagi. Saya yakin dalam waktu tiga atau empat bulan ke depan, saya akan mencetak sebanyak 1000 buku lagi.
Setelah Kamus Rimbawan
Saya sebenarnya mempunyai mimpi besar pada saat menyusun kamus rimbawan. Dalam mimpi tersebut saya “bisa” jadi jutawawan kalau dapat mewujudkan mimpi saya. Apakah mimpi tersebut? Sangat sederhana. Dalam kamus rimbawan sebenarnya saya mempunyai ruang yang dapat saya manfaatkan, yakni ruang antara A dan B, antara B dan C dan seterusnya sampai antara Y dan Z. Gampangnya saya mempunyai ruang sebanyak 50 ruang bolak-balik. Jika ruang ini dijual untuk mempromosikan suatu produk, apakah dari instansi pemerintah, BUMN atau pihak swasta dengan harga 10 juta, saya dapat memperoleh uang 500 juta. Suatu pendapatan yang luar biasa. Tetapi, sekali lagi, itu hanya mimpi. Mimpi itu akan tetap saya pelihara, siapa tahu akan terwujud suatu saat nanti.
Saat ini saya sedang menyusun Kamus Pemerintahan, mudah-mudahan dapat diterbitkan pada tahun 2007, dan siapa tahu mimpi besar saya dapat terwujud melalui buku tersebut..
Epilog
Dari menyusun buku kamus rimbawan, keterampilan saya meningkat cukup pesat terutama dalam internet dan men”scanner”. Penyusunan buku yang tadinya dilakukan dengan pengetikan ulang, sekarang tinggal “copy” dan “paste” atau “scan”,”copy” dan “paste”. Pekerjaan jauh lebih cepat.
Sebagai staf senior, saya harus bisa memanfaatkan kelebihan yang saya miliki, memanfaatkan waktu, memanfaatkan fasilitas (komputer, printer, internet, scanner) untuk tujuan produktif, memanfaatkan kepandaian teman-teman yunior saya, memanfaatkan teman-teman yang sedang menjabat, memanfaatkan setiap peluang yang ada, supaya hidup lebih bermanfaat.
Semoga pengalaman saya dalam menulis buku Kamus Rimbawan dapat memberikan inspirasi teman-teman Widyaiswara. Saya yakin teman-teman Widyaiswara mempunyai kemampuan menulis jauh lebih baik dari saya.
Sebagai penutup saya sampaikan salah satu kata bijak yang mungkin dapat dijadikan filosofi hidup. “Think Big, Small Step, Take Action”.
Bogor, 27 Desember 2006
Bambang Winarto
Oleh: Bambang Winarto
Prolog
Sungguh saya sangat bersyukur dapat diterima kembali di Departemen Kehutanan setelah hampir 20 tahun waktunya dihabiskan bekerja di daerah. Walau bagaimanapun Departemen Kehutanan adalah rumah saya. Ditempatkan dimanapun dan jabatan apapun akan saya terima dengan senang hati.
Saya ditempat di Pusdal Regional IV Departemen Kehutanan, sebagai staf. Saya sendiri menyebutnya sebagai staf senior. Dalam waktu kurang dari satu tahun saya dapat menyusun buku Kamus Rimbawan, suatu buku yang menurut saya sangat bermanfaat bagi para rimbawan. Buku tersebut saya susun apabila saya tidak ada tugas dari Pusdal.
Beberapa komentar dari teman terhadap kamus rimbawan sempat saya rekam, inilah komentarnya :
“Kamus rimbawan termasuk buku yang masuk kategori amal jahiriah, dapat untuk bekal di akhirat nanti”. (rimbawan ustadz).
“Kamus rimbawan dapat memberikan angka kredit yang cukup besar (12 angka kredit) dibandingkan dengan kegiatan mengajar yang hanya 0,05). “(rimbawan widyaiswara).
“Kamus rimbawan merupakan pendapatan yang halal, beda dengan pendapatan sebagai kepala dinas”. (rimbawan mantan kepala dinas).
Secara keseluruhan para rimbawan mengucapkan selamat kepada saya atas ide, ketekunan, kesabaran, ketelitian dan keberaniannya menerbitkan buku kamus rimbawan. Saya sungguh mendapat dukungan dan terimakasih atas berbagai komentarnya.
Bermula Dari Tugas di Pusdal.
Sebagai mantan pejabat, dengan pengalaman yang cukup lama di daerah, saya berpendapat saya harus dapat menunjukkan diri sebagai pegawai yang ahli. Saya sadar sepenuhnya bahwa kompetisi di Departemen Kehutanan luar biasa kerasnya. Dengan demikian jika ingin berkompetisi saya harus dapat menunjukan jati diri saya. Sebagai staf, jelas bahwa saya tidak mempunyai staf. Beda jauh dengan pada saat menjabat.
Saya masuk di Pusdal pada akhir Desember 2005, kegiatan dapat dikatakan sudah selesai. Demikian pula pada bulan-bulan awal tahun anggaran baru, bulan Januari, Februari dan Maret, kegiatan relatif sedikit.
Sebagai pegawai yang sudah biasa bekerja, saya tidak bisa berdiam diri, saya harus dapat menciptakan kegiatan untuk diri saya sendiri. Dengan pengetahun komputer yang terbatas dan dengan kemampuan saya untuk menulis, saya mulai menulis beberapa artikel. Dalam hal komputer, guru saya adalah teman teman yunior, pegawai baru kehutanan. Beruntunglah bahwa program komputer yang diciptakan mudah dipelajari dan dipraktekan. Saya sempat menulis dua artikel yang saya kirimkan kepada teman-teman eselon 1 dan 2. Isi artikel adalah memberikan masukan kepada teman-teman yang kebetulan adalah pengambil keputusan. Artikel yang sempat saya kirimkan, yaitu : “APALAH ARTI SEBUAH NAMA (Kasus nama Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan)”, dan “SATU JENIS POHON SATU DESA (Pemikiran Lebih Lanjut Dari Workshop Nasional 2 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan)”. Ada satu tulisan yang sempat saya kirim ke Majalah Kehutanan Indonesia, dan ternyata dimuat dengan judul “AIR MINUM DALAM KEMASAN, Suatu Produk Utama Hutan Lindung Yang Terabaikan”. Tadinya saya berharap ada suatu tanggapan, ternyata tidak. Atas dasar kenyataan tersebut, saya berkesimpulan bahwa menulis artikel atau artikel di MKI tidak dibaca oleh pejabat kehutanan.
Untuk sementara, menulis artikel saya hentikan, dan sebagai gantinya saya menulis tentang Pusdal, yakni dengan menjabarkan lebih detail tugas pokok dan fungsi Pusdal dengan membuat tanya jawab secara imajiner. Buku tersebut saya beri judul “79 TANYA JAWAB IMPLEMENTASI TUGAS PUSDAL”, yang selanjutnya saya sampaikan kepada Bapak Sekjen dan Bapak Kepala Pusdal (I,II,III,IV). Dari buku tersebut sebenarnya dapat dibuat tata hubungan kerja antara Pusdal dengan Unit kerja Eselon 1 lingkup Sekjen (Pusdiklat, Pusbinluh, Pustanling, Pusinfo, Biro Hukum, Biro Perencanaan dan Keuangan) Eselon 1 lainnya (Dirjen BPK, PHKA, RLPS, Badan Planologi, Badan Litbang dan Irjen), serta hubungan antara Pusdal dengan Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Bapak Sekjen sangat menghargai tulisan tersebut, namun sayang tidak dibahas lebih lanjut.
Dari menyusun buku tersebut, saya berpendapat Dinas Kehutanan Daerah (Provinsi Kabupaten/Kota) harus mengetahui semua peraturan perundangan di bidang kehutanan, mengingat bahwa kewenangan sebagian besar berada di daerah. Selain itu, saya berpendapat bahwa pegawai Pusdal harus mengetahui peraturan perundangan di bidang kehutanan serta istilah kehutanan. Pegawai Pusdal sebenarnya adalah : pemasar program Departemen Kehutanan di Daerah, mediator dan sekaligus “broker”. Istilah istilah kehutanan memang sudah ada di berbagai peraturan. Yang menjadi problem adalah bagaimana mendapatkannya. Dari sinilah ide menyusun kamus rimbawan muncul.
Ada 5 alasan dalam penyusunan Kamus Rimbawan adalah sangat sederhana, yakni : (1). Para rimbawan memepunyai pengertian/definisi yang sama tentang istilah kehutanan; (2) Sebagai pegangan para rimbawan dalam melaksanakan tugas; (3) Memudahkan para rimbawan dalam mencari suatu istilah atau pengertian/definisi dari suatu istilah yang berhubungan dengan kehutanan; (4) Memudahkan para rimbawan dalam memberikan pengertian kepada pejabat atau masyarakat yang berlatar belakang bukan rimbawan; (5) Dapat dijadikan acuan dalam pembakuan istilah kehutanan.
Memang benar pernah ada kamus kehutanan yang diterbitkan oleh Departemen Kehutanan, namun kamus ini lebih bersifat ilmiah, ketimbang praktis. Lagi pula banyak para rimbawan yang kurang mengetahui adanya kamus tersebut.
Mulai Menyusun
Untuk dapat menyusun kamus rimbawan, saya harus mengumpulkan semua peraturan perundangan yang berhubungan dengan kehutanan. Langkah pertama yang saya tempuh adalah dengan menghubungi Kepala Biro Hukum, dan Sekretaris Dirjen/Badan atau bagian yang menangani masalah perundangan serta perpustakaan Manggala Wamabakti. Data tersebut relatif mudah diperoleh..
Dalam peraturan perundangan, pada Bab I, Pasal 1 menguraikan “pengertian”, atau “yang dimaksud dengan”. Bagian ini saya ketik kembali atau saya copy dan untuk selanjutnya saya masukan ke rental pengetikan untuk diketik ulang. Jika tidak ada kegiatan di kantor, maka kegiatan mencari data peraturan perundangan (perpustakaan manggala, pusat standarisasi dan lingkungan, bagian perundang dan internet), pengetikan, pengcopyan adalah kegiatan saya sehari-hari.
Data yang berupa pengertian atau “yang dimaksud dengan” saya masukan dalam data base. Untuk keperluan penyusunan Kamus Rimbawan saya mempunyai lebih dari 500 file, karena satu perundangan satu file. Pengorganisasian file sangat penting, yang akan memudahkan dalam pengolahan data. Sebagai contoh pemberian nama file adalah : UU 199941 artinya adalah Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999, PP 200445 artinya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004, Kepmenhut 2003180, dan seterusnya. File file untuk peraturan yang berbeda (UU, PP, Kepmenhut, Kepdirjen), untuk tahun yang sama saya jadikan satu dalam satu folder. Misalnya Folder UU 2000, adalah berisi file undang undang yang diterbitkan pada tahun 2000. Contoh data base terlampir.
Mengolah data
Setelah data saya anggap cukup, saya mulai dengan pengolahan data. Namun demikian saya tetap menyediakan “folder tambahan”. Fungsi folder tambahan adalah untuk menampung berbagai peraturan perundangan yang baru diketemukan tanpa memperhatikan hirarki dan tahunnya, mengingat bahwa saya tidak mengetahui secara pasti berapa banyak sebenarnya peraturan perundangan yang berhubungan dengan kehutanan.
Pada dasarnya pengolahan data saya bedakan menjadi 3 bagian, yaitu : file “appendik”, file “pustaka” dan file ”kamus”. File appendik berisi istilah yang nantinya akan didefinisikan dan sebagai alat kontrol dalam penyusunan kamus, meskipun pada akhirnya istilah tersebut tidak masuk dalam kamus rimbawan. File perpustakaan berisi judul dari peraturan perundangan yang nantinya menjadi daftar pustaka, dan file kamus itu sendiri. Contoh file lihat lampiran (Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan).
File yang masuk kategori appendik dijadikan satu dengan cara ”copy” dan “paste”, demikian pula file pustaka dan file kamus. Pengolahan data pada file appendik relatif gampang, karena hanya melakukan “sort ascending” dilanjutkan dengan men “delete” kata-kata yang sama. Sebaliknya pada file pustaka setelah dilakukan penggabungan dengan cara yang sama dilakukan “sort decending”.Yang memerlukan waktu lama adalah pengolahan pada file kamus. Prosedurnya sama dengan pengolahan file appendik, yang membedakan adalah pada saat men “delete” dan mengkoreksi kata-kata. Pen”delete”an dilakukan pada istilah pengertian yang sama dengan hirarkhi UU, PP, Kepmenhut, Kepdirjen, SNI dan Lembaga Ekolabel. Artinya suatu definisi atau pengertian yang sama, misalnya Kehutanan, maka yang diambil hanya satu, yakni dari UU Nomor 41 tahun 1999, yang lain apakah definisi/pengertian dari PP atau Kepmenhut di “delete”. Apabila pengertiannya agak berbeda, maka urutan pengertiannya sesuai dengan hirarkhi di atas. Misalnya, Pagu Indikatif adalah : 1 merupakan ancar-ancar pagu anggaran yang diberikan kepada kementerian negara/lembaga untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan rencana kerja kementerian negara/lembaga. (PP 21/2004); 2 merupakan perkiraan jumlah maksimum anggaran yang diberikan kepada Kementerian Negara/Lembaga untuk setiap program sesuai dengan prioritas pembangunan yang ditetapkan oleh Kementerian Perencanaan dan Kementerian Keuangan, sebagai acuan dalam penyusunan Renja-KL. (Permenhut P.01/Menhut-II/2006).
Pekerjaan yang memerlukan ketelitian, ketekunan dan kesabaran adalah koreksi kata-kata, huruf dan kalimat. Untuk masalah ini saya dibantu putra-putri saya.
Konsultasi dengan teman
Konsultasi saya lakukan sejak awal, sambil mencari data. Banyak teman saya yang telah berjasa memberikan saran, pendapat, kritik, masukan dalam proses penyusunan. Secara khusus saya sampaikan beberapa teman yang selalu “wellcome” ketika saya mengunjungi ruangannya untuk konsultasi, yakni: Ir. Nur Hidayat, Ir. Sutaryo Suriamihardja, Ir. Broto Hadi, Ir. Susilo Indrarto, DR.Ir.Eka, W. Sugiri,MM, Ir. Tubagus Unu Nitibaskoro dan Ir. Lisman Sumarjani MBA.
Konsultasi menyangkut banyak hal, misalnya judul buku, nama kamus, siapa yang akan memberikan kata pengantar/sambutan, isi kata pengantar, sponsor, penerbit, kapan saat penerbitan pertama, ukuran kertas, bentuk dan ukuran huruf, penulis Depertemen Kehutanan yang telah menerbitkan buku dan lain sebagainya.
Dari konsultasi saya mengetahui bahwa di Departemen Kehutanan hanya 4 (empat) orang pernah menerbitkan buku, yaitu : DR. Ir. Untung Iskandar (mantan Dirjen BPK), Ir. Sutisno Wibowo (Staf Ahli Menteri), Ir. Tubagus Unu Nibaskoro dan Budi Suharyanto, SH (Fungsional di Biro Hukum).
Saya banyak memperoleh masukan dari Ir. Tubagus Unu Nitibaskoro. Beliau menerbitkan buku yang diberi judul “DILEMA DIKOTOMI KONSERVASI DAN PEMANFAATAN”, isinya merupakan kumpulan 10 artikel yang pernah dimuat pada majalah Tabloid Agro Indonesia dengan kata sambutan dari Bapak Menteri Kehutanan.
Konsultasi dengan Bpk. Sekjen, Staf ahli, saya lakukan setelah naskah selesai, tinggal kata sambutan dari Menteri Kehutanan. Saya sangat gembira, karena Bpk. Sekjen dan Staf Ahli Menteri mendukung adanya Kamus rimbawan. Untuk kata sambutan Menteri, Bapak Sekjen akan membantunya.
Menuju cetakan
Hasil kopnsultasi dengan teman-teman, mengharuskan adanya kata pengantar/sambutan dari Menteri Kehutanan. Selain untuk melegitimasi keberadaan kamus rimbawan juga sekaligus untuk strategi pemasaran. Ternyata, untuk sambutan bapak Menteri Kehutanan sangat cepat sekali. Naskah kata sambutan yang saya susun, diminta untuk langsung di cetak pada lembar kerta yang berlambang garuda. Bahkan dalam lembar disposisi tertulis “sangat kreatif”. Sungguh saya sangat berbangga.
Untuk menerbitkan kamus rimbawan konsultasi kepada Bapak Tino, dan Bapak Budi, menanyakan penerbit mana yang kira kira mau menerbitkan buku saya. Oleh Bapak Tino dan Bapak Budi saya disarankan untuk menemui Ir. Agung Nugroho, direktur Wana Aksara. Cukup banyak buku-buku kehutanan yang diterbitkan oleh Wana Aksara. Saya sampaikan naskah kamus rimbawan yang telah ada kata sambutan Menteri Kehutanan. Setelah dipelajari oleh Ir. Agung Nugroho, Wana Aksara setuju untuk menerbitkan dengan perjanjian saya hanya menyerahkan file naskah kamus rimbawan, akan menerima fee sebesar 10% dari buku yang terjual dan mendapat buku gratis sebanyak 100 buku. Segala biaya percetakan, promosi, pemasaran dan lain sebagainya di tanggung penerbit. Saya juga mencoba ke penerbit Gramedia, ternyata informasinya sama, pengarang hanya akan mendapat fee 10%. Prosedur di Gramedia lebih ketat lagi, saya diminta menunggu 3 (tiga) bulan untuk menentukan apakah buku yang akan diterbitkan layak jual atau tidak.
Setelah mempertimbangkan berbagai hal, serta dorongan dari sahabat saya Ir. Lisman Sumadjani,MBA, saya mengambil keputusan untuk saya cetak sendiri, dengan biaya saya sendiri serta dipasarkan sendiri. Untuk memperoleh ISBN, saya pinjam nama Yayasan Bumi Indonesia Hijau, yang kebetulan salah satu pengurusnya adalah Ir. Lisman Sumardjani, MBA, karena yang mengurus ISBN di Perpustakaan Nasional sebenarnya adalah bukan pengarang, tetapi penerbit atau instansi pemerintah atau yayasan. Mengurus ISBN relatif mudah, dalam waktu 1-2 hari Nomor ISBN (ISBN 979-15210-0-X) dengan “barcode” telah keluar. Hal lain adalah buku kamus rimbawan masuk dalam katalog perpustakaan nasional.
Pada cetakan pertama sebenarnya saya hanya bermaksud untuk mencetak 300 – 500 buku saja, hanya sekedar untuk promosi. Akan tetapi karena mencetak 1000 buku jauh lebih murah, maka untuk cetakan pertama saya putuskan 1000 buku,
Pemasaran
Menentukan harga jual kamus rimbawan bagi saya ternyata tidak gampang. Pada prinsipnya saya harus menghitung seluruh biaya yang telah saya keluarkan (foto copy, biaya pengetikan, biaya pengurusan ISBN, biaya percetakan, biaya pemasar dan biaya kesempatan (“opportunity cost”), serta kemampuan rimbawan dalam membeli buku. Dengan berbagai pertimbangan tersebut akhirnya saya tetapkan kamus rimbawan seharga Rp.75.000,-
Cetakan pertama saya edarkan bertepatan dengan pembukaan Konggres Kehutanan Indonesia, tepatnya tanggal 13 September 2006, karena saya berpendapat banyak rimbawan yang akan mengikuti konggres kehutanan. Satu hari sebelumnya Kamus Rimbawan telah saya bagikan secara cuma-cuma kepada Bapak Menteri Kehutanan, Eselon I (Dirjen, Kepala Badan, Irjen, Staf Ahli) dan sebagian besar pejabat eselon II, serta teman-teman yang telah berjasa dalam membantu penyusunan kamus rimbawan.
Hari-hari berikutnya saya rajin mencari informasi dimana ada rapat dinas, seminar, lokakarya atau sejenisnya kemudian bekerja sama dengan panitia untuk memasarkan. Maklum pada bulan September – Desember pasti banyak acara seperti itu. Selain itu saya selalu berkonsultasi dengan “key person” di Departemen Kehutanan untuk minta dianggarkan pengadaannya pada tahun 2007 melalui DIPA. Pencaharian “key person” saya anggap penting, mengingat banyak rimbawan yang sebenarnya berkeinginan untuk memiliki kamus rimbawan, akan tetapi terkendala harga sebesar Rp. 75.000,- yang masih dianggap mahal.
“Outlet” masih sangat terbatas, baru di Jakarta (Perpustakaan Manggala ) dan Bogor (Diklat Kehutanan, Litbang Kehutanan, Fahutan IPB, UNB). Dalam waktu dekat akan dilakukan penjajagan ke Gramedia dan Gunung Agung dan toko buku lainnya.
Dalam tempo tiga bulan, cetakan pertama sudah habis terjual, sekarang saya sudah mencetak edisi kedua dengan jumlah 1000 buku lagi. Saya yakin dalam waktu tiga atau empat bulan ke depan, saya akan mencetak sebanyak 1000 buku lagi.
Setelah Kamus Rimbawan
Saya sebenarnya mempunyai mimpi besar pada saat menyusun kamus rimbawan. Dalam mimpi tersebut saya “bisa” jadi jutawawan kalau dapat mewujudkan mimpi saya. Apakah mimpi tersebut? Sangat sederhana. Dalam kamus rimbawan sebenarnya saya mempunyai ruang yang dapat saya manfaatkan, yakni ruang antara A dan B, antara B dan C dan seterusnya sampai antara Y dan Z. Gampangnya saya mempunyai ruang sebanyak 50 ruang bolak-balik. Jika ruang ini dijual untuk mempromosikan suatu produk, apakah dari instansi pemerintah, BUMN atau pihak swasta dengan harga 10 juta, saya dapat memperoleh uang 500 juta. Suatu pendapatan yang luar biasa. Tetapi, sekali lagi, itu hanya mimpi. Mimpi itu akan tetap saya pelihara, siapa tahu akan terwujud suatu saat nanti.
Saat ini saya sedang menyusun Kamus Pemerintahan, mudah-mudahan dapat diterbitkan pada tahun 2007, dan siapa tahu mimpi besar saya dapat terwujud melalui buku tersebut..
Epilog
Dari menyusun buku kamus rimbawan, keterampilan saya meningkat cukup pesat terutama dalam internet dan men”scanner”. Penyusunan buku yang tadinya dilakukan dengan pengetikan ulang, sekarang tinggal “copy” dan “paste” atau “scan”,”copy” dan “paste”. Pekerjaan jauh lebih cepat.
Sebagai staf senior, saya harus bisa memanfaatkan kelebihan yang saya miliki, memanfaatkan waktu, memanfaatkan fasilitas (komputer, printer, internet, scanner) untuk tujuan produktif, memanfaatkan kepandaian teman-teman yunior saya, memanfaatkan teman-teman yang sedang menjabat, memanfaatkan setiap peluang yang ada, supaya hidup lebih bermanfaat.
Semoga pengalaman saya dalam menulis buku Kamus Rimbawan dapat memberikan inspirasi teman-teman Widyaiswara. Saya yakin teman-teman Widyaiswara mempunyai kemampuan menulis jauh lebih baik dari saya.
Sebagai penutup saya sampaikan salah satu kata bijak yang mungkin dapat dijadikan filosofi hidup. “Think Big, Small Step, Take Action”.
Bogor, 27 Desember 2006
Bambang Winarto
Minggu, 10 Februari 2008
SATU JENIS POHON SATU DESA
SATU JENIS POHON SATU DESA
(Pemikiran Lebih Lanjut Dari Workshop Nasional 2
Tentang Pengelolaan Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan)
Oleh : Bambang Winarto*)
Hari Jum’at, 16 Desember 2005, saya ditugaskan Kepala Pusdalbanghut regional 4 untuk mengikuti Woskshop Nasional 2 tentang Pengelolaan Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan di gedung Manggala Wanabhakti. Acara dihahadiri dan dibuka secara langsung oleh Menteri Kehutanan. Hal ini menunjukkan bahwa Menteri Kehutanan sangat menaruh perhatian terhadap masalah pelestarian sumberdaya genetik tanaman hutan.
Ada dua hal yang saya catat dari arahan Menteri Kehutanan adalah :(1). Menteri Kehutanan sangat khwatir sekali terhadap masalah degradasi hutan, beberapa jenis tanaman hutan semakin langka seperti : ulin, ramin, kayu hitam, cendana. Memang telah ada upaya untuk memasukkan tanaman kehutanan yang sudah langka dalam appendix 2, namun usaha ini pun belum cukup. Selanjutnya beliau memberikan contoh bagaimana Thailand sangat berhasil dalam bidang pertaniannya. Jambu Bangkok, durian Bangkok, semangka Bangkok,pepaya Bangkok, ayam Bangkok, dan masih banyak Bangkok-Bankok yang lainnya. Dapat dikatakan semua produk pertanian yang diberi nama tambahan Bangkok mencerminkan kualitas yang unggul. Hal ini mungkin Raja Thailand sangat menyukai silang-menyilang tanaman (pemuliaan tanaman), sehingga rakyatnyapun ikut dalam silang menyilang tanaman. Hasilnya dapat dilihat, produk pertanian Thailand membanjiri pasar Indonesia dan bahkan pasar dunia. Di Jepang lain lagi, Sang Kaisar sangat menyukai silang menyilang ikan, dan rakyatnyapun ikut menyukai ikan. Lain di Thailand, lain di Jepang dan lain pula di Indonesia. Raja-raja di Indonesia sangat menyukai silang-menyilang uang. (diterjemahkan sendiri). (2). Di akhir sambutnya, Menteri Kehutanan mengharapkan jenis-jenis yang telah langka segara dibudidayakan disertai dengan pemuliaan jenis tanaman sebagaimana langkah yang telah ditempuh oleh Thailand .
Pada workshop nasional 2, ada dua pembicara utama, yaitu dari Kementrian L:ingkungan Hidup dengan judul : Kebijakan Nasional Konservasi dan Pengelolaan Sumberdaya Genetik dan dari Ibu Setijati D Sastrapradja dengan judul : “Sumberdaya Genetik Hutan : Satu Jenis Satu Desa”. Namun saya hanya tertarik pada makalah yang kedua.
IDE YANG SEDERHANA
Ide yang disampaikan oleh Ibu Setijati sangat sederhana dan sepertinya sangat gampang untuk dilaksanaka dan apabila berhasil akan memberikan manfaat yang sangat besar baik kepada masyarakat, pemerintah maupun ilmu pengetahuan. Peranan Departemen Kehutanan sebagai inisiator pelestarian sumberdaya genetik tanaman kehutanan sangat menentukan keberhasilan ide yang disampaikan ibu Setijati.
Luas kawasan hutan semakin berkurang, degradasi hutan semakin cepat, pemerintah kurang mampu melindungi jenis tanaman. Di sisi lain, sistem pemerintahan telah berubah dengan berlakunya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Dalam sistem
pemerintahan sekarang, DESA merupakan unit terkecil pemerintahan. Di desa selain ada Kepala Desa juga ada Badan Perwakilan Desa (BPD). Desa mempunyai kewenangan mengeluarkan Peraturan Desa (PERDES) yang akan mengikat warganya untuk mematuhi aturan yang telah dibuat. Di Indonesia terdapat kurang lebih 70.000 desa., dan apabila satu desa dapat mengelola satu jenis pohon saja, maka akan terkelola 70.000 jenis pohon. Demikian ide yang disampaikan ibu Setijati. Sederhana bukan ? Jika berhasil sangat RUUAARR BIASA.
Sebenarnya apa yang dikemukan oleh Ibu Setijati hampir sama dengan apa yang menjadi pemikiran saya. Hanya saja sisi pandangnya yang berbeda. Jika Ibu Setijati melibat satu jenis pohon satu desa sebagai jaring pengaman sumberdaya genetik hutan, saya melihat dari sisi komoditas, pemberdayaan masyarakat dan identitas suatu daerah. Ide ini sangat selaras dengan GERHAN, dan program pemerintah daerah sejenis yang namanya saja berbeda. Mengapa tidak disinkronkan saja?
Berdasarkan data dari World Conservation Monitoring Committee (1994) di Indonesia terdapat 27.500 jenis tumbuhan berbunga. Keanekaragaman jenis tersebut merupakan 10% dari seluruh jenis yang ada di dunia. Selanjutnya menurut Ditjen Perlindungan dan Konservasi Alam, dari 27.500 jenis tanaman berbunga, baru 6.000 jenis yang sudah diketahui potensinya dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Angka 6.000 jenis tumbuhan berbunga ini yang dijadikan acuan untuk satu jenis pohon satu desa.
TINDAK LANJUT WORKSHOP NASIONAL 2
Workshop nasional 2 telah berakhir. Rumusan telah dibuat. Apakah rumusan, tinggal rumusan? Mestinya tidak. Yang jelas Menteri Kehutanan mempunyai KOMITMENT untuk mendukung secara penuh penyelamatan sumberdaya genetik tanaman pohon. Ada 2 pendekatan yang dapat ditempuh. Pertama adalah pendekatan struktural yang melibatkan 3 lembaga pemerintah, yaitu Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri dan Kementrian Lingkungan Hidup. Pendekatan ini mempunyai landasan yang kuat, karena ketiga lembaga ini yang secara bersama-sama sebenarnya bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya genetik tanaman. Kedua adalah pendekatan operasional, yakni tinggal menindak lanjuti rumusan hasil workshop nasional 2. Pendekatan ini jauh lebih sederhana, dapat langsung dilaksanakan, tinggal bagaimana strategi Departemen Kehutanan untuk dapat memujudkan satu jenis pohon satu desa.
Dalam pendekatan kedua yang harus jelas adalah siapa yang akan menjadi “leader”nya. Menurut hemat saya karena Workshop Nasional 2 telah dimotori oleh Badan Litbang Kehutanan, maka yang menjadi “leader” kebijaksanaan adalah Kepala Badan Litbang Kehutanan. Selanjutnya, mengingat orientasinya adalah jenis pohon yang dilaksanakan di desa, maka “leader” operasional lapangan adalah Dirjen RLPS. Dirjen RLPS telah berpengalaman melaksanakan kegiatan GERHAN selama tiga tahun dan akan masih berlanjut paling tidak sampai tahun 2009.
Sejak GERHAN dicanangkan oleh Presiden Megawati pada tanggal 21 Januari 2004 Di Yogyakarta hingga GERHAN memasuki tahun ke 3, sudah tertanam JUTAAN bibit tanaman kehutanan dari berbagai jenis tanaman pohon. Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan No. SK 272/Menhut-V/2004 tanggal 22 Juli 2004, tentang Daftar Kelompok dan Nama Jenis Tanaman GERHAN, tercatat lebih dari 182 jenis tanaman pohon yang telah ditanam, dengan rincian : tanaman kayu-kayuan (62 jenis), Tanaman unggulan lokal (16 jenis), tanaman MPTS (35) jenis, tanaman turus jalan /penghijauan kota (65 jenis) dan tanaman bakau/mangrove (5 jenis). Jika pohon yang di tanam tumbuh dengan baik ,maka baru terselamatkan 182 jenis pohon atau baru 3% dari 6000 jenis.
Dirjen RLPS sudah dapat melakukan pemetaan jenis pohon pada masing-masing desa. Hasilnya dapat ditebak, pada setiap desa akan dijumpai berbagai ragam jenis tanaman. Memang tidak salah. Hanya saja, dapat menjadi problem di kemudian hari, terutama dalam segi pemasaran, karena banyak jenis dengan jumlah yang sedikit ditinjau dari sisi ekonomi kurang ekonomis. Dengan program satu jenis pohon satu desa akan dapat dipetakan Desa Mahoni, Desa Durian, Desa Jeunjing, Desa Buah Merah, Desa Jengkol, Desa Matoa, Desa Jati dan desa-desa lainnya hasil suatu GERHAN. Paling tidak Dirjen RLPS sudah dapat memetakan 182 jenis pohon.
Untuk menentuan jenis pohon biarlah masyarakat sendiri yang memutuskan. Pemerintah dan pemerintah daerah hanya bertindak sebagai fasilitator dan narasumber saja. Penentuan jenis pohon tidak sesederhana yang diperkirakan. Ada diskusi, ada pertemuan yang mungkin saja berkali-kali, perlu waktu dan perlu kesabaran. Dalam berdiskusi harus melibatkan berbagai pihak; LSM, perguruan tinggi, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat dan sebagainya. Apabila sudah sepakat, baru ditetapkan melalui PERDES. Intinya adalah jenis pohon yang ditanam adalah yang disukai masyarakat, memberikan manfaat dan dapat dikembangkan menjadi skala usaha..
Adanya suatu PROSES, tujuannya adalah jenis yang telah ditetapkan menjadi milik masyarakat, menjadi kebanggaan masyarakat dan menjadi identitas daerah. Masyarakat dengan kesadarannya sendiri mau memelihara dan mau menjaganya. Apabila masyarakat desa sudah merasakan manfaat pohon yang ditanam dan sudah menganggap sebagai KEBUTUHAN, maka saya yakin program satu jenis pohon satu desa akan berhasil.
PENUTUP
Selalu dan selalu dikatakan bahwa Indonesia mempunyai kekayaan alam dengan, keragaman jenis tanaman yang luar biasa, megadiversity istilah ilmiahnya. Namun, pelan tapi pasti jenis pohon hilang satu demi satu.
Satu jenis pohon satu desa mungkin ini salah satu jawabannya. Keberhasilan desa dalam pengelolaan satu jenis pohon akan memberikan manfaat yang luar biasa bagi pemerintah dan ilmu pengetahuan. Sumber daya genetik hutan akan terjaga secara tidak langsung. Menteri Kehutanan sudah mempunyai komitment. Tinggal bagaimana implementasinya. Kepala Badan Litbang Kehutanan dan Dirjen RLPS nampaknya harus secara bersama-sama segera menyusun RENCANA AKSI untuk mewujudkan SATU JENIS POHON SATU DESA.
Jakarta, Awal Januari 2006
*). Bambang Winarto, rimbawan senior.
(Pemikiran Lebih Lanjut Dari Workshop Nasional 2
Tentang Pengelolaan Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan)
Oleh : Bambang Winarto*)
Hari Jum’at, 16 Desember 2005, saya ditugaskan Kepala Pusdalbanghut regional 4 untuk mengikuti Woskshop Nasional 2 tentang Pengelolaan Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan di gedung Manggala Wanabhakti. Acara dihahadiri dan dibuka secara langsung oleh Menteri Kehutanan. Hal ini menunjukkan bahwa Menteri Kehutanan sangat menaruh perhatian terhadap masalah pelestarian sumberdaya genetik tanaman hutan.
Ada dua hal yang saya catat dari arahan Menteri Kehutanan adalah :(1). Menteri Kehutanan sangat khwatir sekali terhadap masalah degradasi hutan, beberapa jenis tanaman hutan semakin langka seperti : ulin, ramin, kayu hitam, cendana. Memang telah ada upaya untuk memasukkan tanaman kehutanan yang sudah langka dalam appendix 2, namun usaha ini pun belum cukup. Selanjutnya beliau memberikan contoh bagaimana Thailand sangat berhasil dalam bidang pertaniannya. Jambu Bangkok, durian Bangkok, semangka Bangkok,pepaya Bangkok, ayam Bangkok, dan masih banyak Bangkok-Bankok yang lainnya. Dapat dikatakan semua produk pertanian yang diberi nama tambahan Bangkok mencerminkan kualitas yang unggul. Hal ini mungkin Raja Thailand sangat menyukai silang-menyilang tanaman (pemuliaan tanaman), sehingga rakyatnyapun ikut dalam silang menyilang tanaman. Hasilnya dapat dilihat, produk pertanian Thailand membanjiri pasar Indonesia dan bahkan pasar dunia. Di Jepang lain lagi, Sang Kaisar sangat menyukai silang menyilang ikan, dan rakyatnyapun ikut menyukai ikan. Lain di Thailand, lain di Jepang dan lain pula di Indonesia. Raja-raja di Indonesia sangat menyukai silang-menyilang uang. (diterjemahkan sendiri). (2). Di akhir sambutnya, Menteri Kehutanan mengharapkan jenis-jenis yang telah langka segara dibudidayakan disertai dengan pemuliaan jenis tanaman sebagaimana langkah yang telah ditempuh oleh Thailand .
Pada workshop nasional 2, ada dua pembicara utama, yaitu dari Kementrian L:ingkungan Hidup dengan judul : Kebijakan Nasional Konservasi dan Pengelolaan Sumberdaya Genetik dan dari Ibu Setijati D Sastrapradja dengan judul : “Sumberdaya Genetik Hutan : Satu Jenis Satu Desa”. Namun saya hanya tertarik pada makalah yang kedua.
IDE YANG SEDERHANA
Ide yang disampaikan oleh Ibu Setijati sangat sederhana dan sepertinya sangat gampang untuk dilaksanaka dan apabila berhasil akan memberikan manfaat yang sangat besar baik kepada masyarakat, pemerintah maupun ilmu pengetahuan. Peranan Departemen Kehutanan sebagai inisiator pelestarian sumberdaya genetik tanaman kehutanan sangat menentukan keberhasilan ide yang disampaikan ibu Setijati.
Luas kawasan hutan semakin berkurang, degradasi hutan semakin cepat, pemerintah kurang mampu melindungi jenis tanaman. Di sisi lain, sistem pemerintahan telah berubah dengan berlakunya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Dalam sistem
pemerintahan sekarang, DESA merupakan unit terkecil pemerintahan. Di desa selain ada Kepala Desa juga ada Badan Perwakilan Desa (BPD). Desa mempunyai kewenangan mengeluarkan Peraturan Desa (PERDES) yang akan mengikat warganya untuk mematuhi aturan yang telah dibuat. Di Indonesia terdapat kurang lebih 70.000 desa., dan apabila satu desa dapat mengelola satu jenis pohon saja, maka akan terkelola 70.000 jenis pohon. Demikian ide yang disampaikan ibu Setijati. Sederhana bukan ? Jika berhasil sangat RUUAARR BIASA.
Sebenarnya apa yang dikemukan oleh Ibu Setijati hampir sama dengan apa yang menjadi pemikiran saya. Hanya saja sisi pandangnya yang berbeda. Jika Ibu Setijati melibat satu jenis pohon satu desa sebagai jaring pengaman sumberdaya genetik hutan, saya melihat dari sisi komoditas, pemberdayaan masyarakat dan identitas suatu daerah. Ide ini sangat selaras dengan GERHAN, dan program pemerintah daerah sejenis yang namanya saja berbeda. Mengapa tidak disinkronkan saja?
Berdasarkan data dari World Conservation Monitoring Committee (1994) di Indonesia terdapat 27.500 jenis tumbuhan berbunga. Keanekaragaman jenis tersebut merupakan 10% dari seluruh jenis yang ada di dunia. Selanjutnya menurut Ditjen Perlindungan dan Konservasi Alam, dari 27.500 jenis tanaman berbunga, baru 6.000 jenis yang sudah diketahui potensinya dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Angka 6.000 jenis tumbuhan berbunga ini yang dijadikan acuan untuk satu jenis pohon satu desa.
TINDAK LANJUT WORKSHOP NASIONAL 2
Workshop nasional 2 telah berakhir. Rumusan telah dibuat. Apakah rumusan, tinggal rumusan? Mestinya tidak. Yang jelas Menteri Kehutanan mempunyai KOMITMENT untuk mendukung secara penuh penyelamatan sumberdaya genetik tanaman pohon. Ada 2 pendekatan yang dapat ditempuh. Pertama adalah pendekatan struktural yang melibatkan 3 lembaga pemerintah, yaitu Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri dan Kementrian Lingkungan Hidup. Pendekatan ini mempunyai landasan yang kuat, karena ketiga lembaga ini yang secara bersama-sama sebenarnya bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya genetik tanaman. Kedua adalah pendekatan operasional, yakni tinggal menindak lanjuti rumusan hasil workshop nasional 2. Pendekatan ini jauh lebih sederhana, dapat langsung dilaksanakan, tinggal bagaimana strategi Departemen Kehutanan untuk dapat memujudkan satu jenis pohon satu desa.
Dalam pendekatan kedua yang harus jelas adalah siapa yang akan menjadi “leader”nya. Menurut hemat saya karena Workshop Nasional 2 telah dimotori oleh Badan Litbang Kehutanan, maka yang menjadi “leader” kebijaksanaan adalah Kepala Badan Litbang Kehutanan. Selanjutnya, mengingat orientasinya adalah jenis pohon yang dilaksanakan di desa, maka “leader” operasional lapangan adalah Dirjen RLPS. Dirjen RLPS telah berpengalaman melaksanakan kegiatan GERHAN selama tiga tahun dan akan masih berlanjut paling tidak sampai tahun 2009.
Sejak GERHAN dicanangkan oleh Presiden Megawati pada tanggal 21 Januari 2004 Di Yogyakarta hingga GERHAN memasuki tahun ke 3, sudah tertanam JUTAAN bibit tanaman kehutanan dari berbagai jenis tanaman pohon. Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan No. SK 272/Menhut-V/2004 tanggal 22 Juli 2004, tentang Daftar Kelompok dan Nama Jenis Tanaman GERHAN, tercatat lebih dari 182 jenis tanaman pohon yang telah ditanam, dengan rincian : tanaman kayu-kayuan (62 jenis), Tanaman unggulan lokal (16 jenis), tanaman MPTS (35) jenis, tanaman turus jalan /penghijauan kota (65 jenis) dan tanaman bakau/mangrove (5 jenis). Jika pohon yang di tanam tumbuh dengan baik ,maka baru terselamatkan 182 jenis pohon atau baru 3% dari 6000 jenis.
Dirjen RLPS sudah dapat melakukan pemetaan jenis pohon pada masing-masing desa. Hasilnya dapat ditebak, pada setiap desa akan dijumpai berbagai ragam jenis tanaman. Memang tidak salah. Hanya saja, dapat menjadi problem di kemudian hari, terutama dalam segi pemasaran, karena banyak jenis dengan jumlah yang sedikit ditinjau dari sisi ekonomi kurang ekonomis. Dengan program satu jenis pohon satu desa akan dapat dipetakan Desa Mahoni, Desa Durian, Desa Jeunjing, Desa Buah Merah, Desa Jengkol, Desa Matoa, Desa Jati dan desa-desa lainnya hasil suatu GERHAN. Paling tidak Dirjen RLPS sudah dapat memetakan 182 jenis pohon.
Untuk menentuan jenis pohon biarlah masyarakat sendiri yang memutuskan. Pemerintah dan pemerintah daerah hanya bertindak sebagai fasilitator dan narasumber saja. Penentuan jenis pohon tidak sesederhana yang diperkirakan. Ada diskusi, ada pertemuan yang mungkin saja berkali-kali, perlu waktu dan perlu kesabaran. Dalam berdiskusi harus melibatkan berbagai pihak; LSM, perguruan tinggi, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat dan sebagainya. Apabila sudah sepakat, baru ditetapkan melalui PERDES. Intinya adalah jenis pohon yang ditanam adalah yang disukai masyarakat, memberikan manfaat dan dapat dikembangkan menjadi skala usaha..
Adanya suatu PROSES, tujuannya adalah jenis yang telah ditetapkan menjadi milik masyarakat, menjadi kebanggaan masyarakat dan menjadi identitas daerah. Masyarakat dengan kesadarannya sendiri mau memelihara dan mau menjaganya. Apabila masyarakat desa sudah merasakan manfaat pohon yang ditanam dan sudah menganggap sebagai KEBUTUHAN, maka saya yakin program satu jenis pohon satu desa akan berhasil.
PENUTUP
Selalu dan selalu dikatakan bahwa Indonesia mempunyai kekayaan alam dengan, keragaman jenis tanaman yang luar biasa, megadiversity istilah ilmiahnya. Namun, pelan tapi pasti jenis pohon hilang satu demi satu.
Satu jenis pohon satu desa mungkin ini salah satu jawabannya. Keberhasilan desa dalam pengelolaan satu jenis pohon akan memberikan manfaat yang luar biasa bagi pemerintah dan ilmu pengetahuan. Sumber daya genetik hutan akan terjaga secara tidak langsung. Menteri Kehutanan sudah mempunyai komitment. Tinggal bagaimana implementasinya. Kepala Badan Litbang Kehutanan dan Dirjen RLPS nampaknya harus secara bersama-sama segera menyusun RENCANA AKSI untuk mewujudkan SATU JENIS POHON SATU DESA.
Jakarta, Awal Januari 2006
*). Bambang Winarto, rimbawan senior.
Langganan:
Postingan (Atom)