LUBANG RESAPAN BIOPORI (LRB) VERSI KEHUTANAN
Bambang Winarto *)
Setiap musim kemarau tiba, banyak sumber mata air yang hilang, banyak sungai yang tidak ada airnya, pertanian mengalami kegagalan, masyarakat tidak dapat memanfaatkan air yang layak untuk keperluan sehari-hari dan masih banyak akibat negative yang ditimbulkan karena kemarau yang panjang. Sebaliknya setiap musim penghujan tiba, banjir melanda sebagian besar wilayah Indonesia. Kerugian yang ditimbulkan akibat musim kemarau dan musim penghujan sangat besar, baik secara ekonomi, social, ekologi, kesehatan ataupun yang lainnya.
Mengingat bahwa bencana yang ditimbulkan akibat musim
kemarau dan musim penghujan sudah demikian parah, maka delapan kementerian :
Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,
Pertanian, Lingkungan Hidup dan Kehutanan, BUMN, Agraria dan Tata Ruang, serta
Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menandatangani kesepakatan
bersama revitalisasi Gerakan Nasional
Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA) di Taman Kota Waduk Pluit Jakarta, Sabtu
(9/5/15). Ada empat fokus revitalisasi : 1) meningkatkan ketahanan pangan, air
dan energy, 2) mempersiapkan diri menghadapi risiko daya rusak air khusus
banjir, 3) meningkatkan keberlanjutan sumber air dan infrastruktur dan 4)
meningkatkan kualitas tata kelola sumber daya air. Revitalisasi GN-KPA, bertujuan
mengembalikan keseimbangan siklus hidrologi pada daerah aliran sungai (DAS)
dengan harapan sumber-sumber air baik kualitas, kuantitas maupun
kontinuitas terjaga.
Tulisan singkat ini memberikan masukan kepada
Kementerian LHK bagaimana menindaklanjuti kesepakatan bersama, mengingat Revitalisasi
GN-KPA sejalan dengan Program
Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Lubang Resapan Biopori (LRB) di
Berbagai Daerah
Bertepatan dengan Peringatan Hari Lingkungan Hidup,
Jumat (5/6/2015), staf pengajar Institut Pertanian Bogor (IPB), Ir. Kamir R.
Brata, Msc mendapat penghargaan Kalpataru dari Kementerian LHK untuk kategori
Pembina Lingkungan Hidup Berprestasi. Presiden Joko Widodo memberikan langsung
penghargaan itu kepada penemu teknologi lubang resapan biopori (LRB).
Konsep teknologi biopori sangat sederhana, yakni dengan
memanfaatkan aktivitas organisme kecil dan mikroorganisme untuk menguraikan
sampah organik di dalam lubang. Makhluk-makhluk kecil yang terdapat dalam tanah
membuat lubang-lubang kecil di dinding lubang selama proses penguraian. Dalam
waktu 2-4 minggu, proses penguraian menghasilkan pupuk organic yang berguna
sebagai nutrisi tanaman dan menyehatkan tanah.
LRB adalah lubang yang dibuat secara tegak lurus
(vertikal) ke dalam tanah, dengan diameter 10 – 25 cm dan kedalaman 80 - 100 cm
atau tidak melebihi kedalaman muka air tanah. Lubang itu diisi dengan sampah
organik untuk memacu terbentuknya biopori, yakni pori-pori berbentuk lubang
yang dibuat oleh fauna tanah atau akar tanaman. LRB adalah metode resapan air
yang ditujukan untuk mengatasi banjir dengan cara meningkatkan daya resap air
pada tanah.
LRB mendapat respon positif di berbagai daerah.
Beberapa daerah yang mendukung dan telah
nyata dalam pengembangan LRB adalah:
1.
Provinsi
DKI Jakarta memerlukan sekitar 75 juta LRB untuk mengurangi banjir, saat ini
baru sekitar 3 (tiga) juta lubang biopori di lima wilayah DKI. (4 /11/2010),
2.
Sejak
tahun 2012, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Mitra Bentala Bandarlampung
berhasil mengatasi ketersediaan cadangan air dengan menggalakkan program LRB. LSM
Mitra Bentala membuat proyek percontohan 20 ribu LRB, di Kelurahan Langkapura.
Warga Langkapura yang mengurus administrasi kependudukan, diharuskan membuat
minimal 5 LRB disekeliling rumahnya sebagai syaratnya. Kini program telah
berkembang di Kota Bandarlampung dengan target 100 ribu LRB. (14/10/2014).
3.
Pemkot
Bogor sudah membuat 22.407 LRB di 21 Kelurahan yang ada di 6 Kecamatan se-Kota
Bogor. Pemkot Bogor pun memobilisasi pembuatan LRB di 68 kelurahan yang ada.
4.
Walikota
Bandung Ridwan Kamil meluncurkan Gerakan Sejuta Biopori di Kota Kembang.
Gerakan ini dibuat untuk mengurangi risiko banjir, menabung air tanah,
mengelola sampah organik, dan menyuburkan tanah. (20 Desember 2013).
LRB Versi Kehutanan
Meskipun LRB sebuah gerakan yang baik, namun peneliti
hidro-geologi LIPI berpendapat bahwa LRB tidak terlalu efektif dalam mengurangi
risiko banjir. Pembuatan LRB dibagian hilir DAS hanya dapat mengurangi banjir
dengan cara menyerap sebagian dari banjir yang menggenangi daerahnya.
Dari sisi pandang rimbawan, banjir hanya dapat dicegah
dengan keberadaan hutan yang mempunyai luas yang cukup, minimal 30% dari luas
daerah aliran sungai (DAS). Dengan luasan tersebut, Negara menjamin bahwa hutan
mampu dalam pengaturan tata air : mata air dan sungai tetap mengalir secara
konstan, banjir tidak akan terjadi. Hutan memberikan jasa hidrologis berupa
sumber air yang merupakan salah satu jasa lingkungan terpenting yang dihasilkan
hutan. Di dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pada bagian
penjelasan, secara tegas dinyatakan bahwa sumber air adalah salah satu dari
hasil hutan. Dalam siklus hidrologi, air hujan jatuh ke permukaan bumi,
sebagian masuk ke dalam tanah, sebagian menjadi aliran permukaan, sebagian
besar masuk ke sungai dan akhirnya bermuara di laut. Air hujan yang jatuh ke
bumi menjadi sumber air bagi makhluk hidup. Adanya hutan akan memperlambat
aliran permukaan dan “memaksa” meresap ke dalam tanah dan pada akhirnya akan
muncul sebagai mata air di bagian tengah atau hilir DAS yang bersangkutan.
Sebagai gambaran betapa pentingnya hutan, dikemukakan
oleh Sumarto, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango : “Setiap pohon yang ditanam dalam ekosistem
hutan tropis pegunungan, selama daur hidupnya akan menghasilkan air 250 galon
air. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang luasnya 22.851 hektar,
menghasilkan 231 miliar liter air per tahun dan
ada 20 perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) yang berada di hilir TN
Gunung Gere Pangrango.” (26 Agustus 2010).
Sayangnya, banyak hutan yang telah mengalami
degradasi, sehingga tidak dapat berfungsi sebagai pengatur tata air secara optimal.
Revitalisasi GN-KPA melalui konservasi tanah
dan air yakni mencegah atau meminimalkan air yang hilang sebagai aliran
permukaan dan menyimpannya semaksimal mungkin ke dalam tubuh bumi, merupakan
cara yang paling effektif. Curah hujan ditampung dalam suatu wadah yang
memungkinkan air kembali meresap ke dalam tanah diantaranya melalui LRB.
Pembuatan LRB sebaiknya dilakukan menjelang musim penghujan. Adanya LRB juga akan
mempercepat pertumbuhan tanaman sekelilingnya, mengingat dalam lubang LRB
terdapat humus yang kandungan nutrisinya akan diserap oleh tanaman
disekitarnya.
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 70 Tahun
2008 Tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan Dan Lahan, wilayah DAS yang
perlu prioritas dalam pembuatan LRB adalah
:
1.
Bagian
hulu DAS yang sering menyebabkan bencana banjir, kekeringan, dan tanah longsor;
2.
Daerah
tangkapan air (catchment area) dari waduk, bendungan dan danau;
3.
Daerah
resapan air (recharge area) di hulu DAS.
Teknik Pembuatan LRB Versi Kehutanan
Permenhut 70/2008 tidak mengatur secara detail tentang
pembuatan LRB, namun dari beberapa referensi diketahui bahwa teknik pembuatan
dan biaya LRB adalah sbb.:
1.
Jarak
antara LRB adalah 0,5 - 1 m, sehingga
dalam 1 hektar terdapat 100 – 400 LRB. LRB dibuat dengan kedalam 80 - 100 cm
dan diameter 10 cm, setiap lubang dapat menampung
7,8 liter air dan serasah.
2.
Pada
lahan miring, LRB dibuat sesuai garis
kontur sejajar dengan baris tanaman dan dapat dikombinasikan dengan penggunaan
teknik konservasi lainnya, seperti guludan.
3.
Biaya
pembuatan LRB untuk 1 (satu) hektar , dengan asumsi : a) Jarak LRB = 5 m x 5 m ;
b) Upah buruh dalam satu hari a Rp.50.000,-; c) Dalam satu hari, buruh dapat
membuat 20 LRB.
Dalam 1 hektar dapat diselesaikan
dalam 20 hari atau dalam 1 hektar dapat diselesaikan dalam satu hari oleh 20
buruh.
Upah pembuatan LRB dalam satu hektar
= (400 : 20) x Rp. 50.000,- = Rp. 1.000.000,-
Jika 1000 hektar, memerlukan 400.000
LRB, dengan biaya Rp. 1000.000.000,- (satu milyard rupiah).
Biaya pembelian 40 alat bor LRB @
Rp.200.000,- = Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah).
4.
Sumber
air yang dihasilkan dalam 1000 hektar (dengan asumsi): a) Satu LRB
menginfiltrasikan sebanyak 5 liter dari 7.9 liter volume LRB; b) Hujan selama
100 hari;
Dalam 1000 hektar, akan menghasilkan
sumber air dibagian tengah atau hilir DAS sebanyak = 1.000 x 400 x 5 liter = 2.000.000
liter = 2000 m3;
Dalam 100 hari hujan akan
menghasilkan = 100 x 2000 m3 = 200.000 m3 sumber air.
Perhitungan sederhana di atas memperlihatkan
bahwa manfaat pembuatan LRB di bagian
hulu DAS sangat nyata dalam memberikan sumber air pada bagian tengah atau hilir
DAS dalam bentuk mata air atau sungai. Apabila hasil dari LRB sebanyak 200.000
m3 sumber air dikonversi kedalam nilai uang akan dengan patokan harga air (di
NTT pada tahun 2014) Rp 100.000,- per 5.000 liter atau 1 liter = Rp 20,-, maka
dengan 1.000 hektar akan menghasilkan 200.000 m3 sumber air senilai =
200.000.000 liter x Rp.20,- = Rp. 4.000.000.000,-. Padahal untuk membuat LRB seluas
1000 hektar, hanya memerlukan biaya Rp. 1.008.000.000,- (satu milyard delapan
juta rupiah) saja. Luar biasa bukan? Hanya saja Rp. 4.000.000.000,-, diberikan
pada masyarakat bukan dalam bentuk uang, akan tetapi dalam bentuk sumber air
atau sungai yang mengalir secara konstan.
Penutup
Hingga kini, musim kemarau dan musim penghujan menimbulkan
bencana bagi masyarakat. Kementerian LHK mestinya dapat mencegah atau minimal
mengurangi bencana tersebut dengan kegiatan pembuatan LRB di bagian hulu DAS.
Hingga kini, belum ada usaha dari Kementerian LHK bahwa
untuk menjamin keberlanjutan jasa hidrologis air, pengguna air yang
memanfaatkan air secara komersial, misalnya pabrik AMDK, perlu dikenakan Dana
Reboisasi (DR) seperti halnya DR pada kayu. DR dari air digunakan untuk
mendanai kegiatan konservasi tanah dan air pada hutan di bagian hulu DAS yang
memasok kebutuhan airnya.
Hingga kini, Kementerian LHK belum mempunyai data base
berapa sumber air dan debit sungai yang terdapat dalam suatu DAS baik pada
musim kemarau maupun pada musim penghujan. Untuk itu perlu redefinisi tentang
tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai
dan Hutan Lindung pada tingkat pusat dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
pada tingkat lapangan.
Kini, saatnya mewujudkan hutan sebagai mengatur tata
air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan memelihara kesuburan tanah.
Semoga tulisan singkat ini dapat bermanfaat dan
memberikan inspirasi bagi pengambil kebijakan dan pelaksana Kementerian LHK,
bahwa dengan program dan kegiatan yang sederhana dapat memberikan manfaat yang
luar biasa.
---------------------------------------------
Bambang
Winarto *) : Praktisi Kehutanan dari
Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (PUSKASHUT) - Yayasan
Sarana Wana Jaya