Minggu, 23 Oktober 2016

LUBANG RESAPAN BIOPORI (LRB) VERSI KEHUTANAN
Bambang Winarto *)


Setiap musim kemarau tiba, banyak sumber mata air yang hilang, banyak sungai yang tidak ada airnya, pertanian mengalami kegagalan, masyarakat tidak dapat memanfaatkan air yang layak untuk keperluan sehari-hari dan masih banyak akibat negative yang ditimbulkan karena kemarau yang panjang. Sebaliknya setiap musim penghujan tiba, banjir melanda sebagian besar wilayah Indonesia. Kerugian yang ditimbulkan akibat musim kemarau dan musim penghujan sangat besar, baik secara ekonomi, social, ekologi, kesehatan ataupun yang lainnya.
Mengingat bahwa bencana yang ditimbulkan akibat musim kemarau dan musim penghujan sudah demikian parah, maka delapan kementerian : Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Pertanian, Lingkungan Hidup dan Kehutanan, BUMN, Agraria dan Tata Ruang, serta Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menandatangani kesepakatan bersama  revitalisasi Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA) di Taman Kota Waduk Pluit Jakarta, Sabtu (9/5/15). Ada empat fokus revitalisasi : 1) meningkatkan ketahanan pangan, air dan energy, 2) mempersiapkan diri menghadapi risiko daya rusak air khusus banjir, 3) meningkatkan keberlanjutan sumber air dan infrastruktur dan 4) meningkatkan kualitas tata kelola sumber daya air. Revitalisasi GN-KPA, bertujuan mengembalikan keseimbangan siklus hidrologi pada daerah aliran sungai (DAS) dengan  harapan sumber-sumber air baik kualitas, kuantitas maupun kontinuitas terjaga.
Tulisan singkat ini memberikan masukan kepada Kementerian LHK bagaimana menindaklanjuti kesepakatan bersama, mengingat Revitalisasi GN-KPA sejalan  dengan Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Lubang Resapan Biopori (LRB) di Berbagai Daerah
Bertepatan dengan Peringatan Hari Lingkungan Hidup, Jumat (5/6/2015), staf pengajar Institut Pertanian Bogor (IPB), Ir. Kamir R. Brata, Msc mendapat penghargaan Kalpataru dari Kementerian LHK untuk kategori Pembina Lingkungan Hidup Berprestasi. Presiden Joko Widodo memberikan langsung penghargaan itu kepada penemu teknologi lubang resapan biopori (LRB).
Konsep teknologi biopori sangat sederhana, yakni dengan memanfaatkan aktivitas organisme kecil dan mikroorganisme untuk menguraikan sampah organik di dalam lubang. Makhluk-makhluk kecil yang terdapat dalam tanah membuat lubang-lubang kecil di dinding lubang selama proses penguraian. Dalam waktu 2-4 minggu, proses penguraian menghasilkan pupuk organic yang berguna sebagai nutrisi tanaman dan menyehatkan tanah.
LRB adalah lubang yang dibuat secara tegak lurus (vertikal) ke dalam tanah, dengan diameter 10 – 25 cm dan kedalaman 80 - 100 cm atau tidak melebihi kedalaman muka air tanah. Lubang itu diisi dengan sampah organik untuk memacu terbentuknya biopori, yakni pori-pori berbentuk lubang yang dibuat oleh fauna tanah atau akar tanaman. LRB adalah metode resapan air yang ditujukan untuk mengatasi banjir dengan cara meningkatkan daya resap air pada tanah.
LRB mendapat respon positif di berbagai daerah. Beberapa daerah  yang mendukung dan telah nyata dalam pengembangan LRB adalah:
1.      Provinsi DKI Jakarta memerlukan sekitar 75 juta LRB untuk mengurangi banjir, saat ini baru sekitar 3 (tiga) juta lubang biopori di lima wilayah DKI.  (4 /11/2010),
2.      Sejak tahun 2012, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Mitra Bentala Bandarlampung berhasil mengatasi ketersediaan cadangan air dengan menggalakkan program LRB. LSM Mitra Bentala membuat proyek percontohan 20 ribu LRB, di Kelurahan Langkapura. Warga Langkapura yang mengurus administrasi kependudukan, diharuskan membuat minimal 5 LRB disekeliling rumahnya sebagai syaratnya. Kini program telah berkembang di Kota Bandarlampung dengan target 100 ribu LRB. (14/10/2014).
3.      Pemkot Bogor sudah membuat 22.407 LRB di 21 Kelurahan yang ada di 6 Kecamatan se-Kota Bogor. Pemkot Bogor pun memobilisasi pembuatan LRB di 68 kelurahan yang ada.
4.      Walikota Bandung Ridwan Kamil meluncurkan Gerakan Sejuta Biopori di Kota Kembang. Gerakan ini dibuat untuk mengurangi risiko banjir, menabung air tanah, mengelola sampah organik, dan menyuburkan tanah. (20 Desember 2013).
LRB Versi Kehutanan
Meskipun LRB sebuah gerakan yang baik, namun peneliti hidro-geologi LIPI berpendapat bahwa LRB tidak terlalu efektif dalam mengurangi risiko banjir. Pembuatan LRB dibagian hilir DAS hanya dapat mengurangi banjir dengan cara menyerap sebagian dari banjir yang menggenangi daerahnya.
Dari sisi pandang rimbawan, banjir hanya dapat dicegah dengan keberadaan hutan yang mempunyai luas yang cukup, minimal 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS). Dengan luasan tersebut, Negara menjamin bahwa hutan mampu dalam pengaturan tata air : mata air dan sungai tetap mengalir secara konstan, banjir tidak akan terjadi. Hutan memberikan jasa hidrologis berupa sumber air yang merupakan salah satu jasa lingkungan terpenting yang dihasilkan hutan. Di dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pada bagian penjelasan, secara tegas dinyatakan bahwa sumber air adalah salah satu dari hasil hutan. Dalam siklus hidrologi, air hujan jatuh ke permukaan bumi, sebagian masuk ke dalam tanah, sebagian menjadi aliran permukaan, sebagian besar masuk ke sungai dan akhirnya bermuara di laut. Air hujan yang jatuh ke bumi menjadi sumber air bagi makhluk hidup. Adanya hutan akan memperlambat aliran permukaan dan “memaksa” meresap ke dalam tanah dan pada akhirnya akan muncul sebagai mata air di bagian tengah atau hilir DAS yang bersangkutan.
Sebagai gambaran betapa pentingnya hutan, dikemukakan oleh Sumarto, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango :  “Setiap pohon yang ditanam dalam ekosistem hutan tropis pegunungan, selama daur hidupnya akan menghasilkan air 250 galon air. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang luasnya 22.851 hektar, menghasilkan 231 miliar liter air per tahun dan  ada 20 perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) yang berada di hilir TN Gunung Gere Pangrango.” (26 Agustus 2010).
Sayangnya, banyak hutan yang telah mengalami degradasi, sehingga tidak dapat berfungsi sebagai pengatur tata air secara optimal. Revitalisasi GN-KPA melalui konservasi tanah dan air yakni mencegah atau meminimalkan air yang hilang sebagai aliran permukaan dan menyimpannya semaksimal mungkin ke dalam tubuh bumi, merupakan cara yang paling effektif. Curah hujan ditampung dalam suatu wadah yang memungkinkan air kembali meresap ke dalam tanah diantaranya melalui LRB. Pembuatan LRB sebaiknya dilakukan menjelang musim penghujan. Adanya LRB juga akan mempercepat pertumbuhan tanaman sekelilingnya, mengingat dalam lubang LRB terdapat humus yang kandungan nutrisinya akan diserap oleh tanaman disekitarnya.
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 70 Tahun 2008 Tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan Dan Lahan, wilayah DAS yang perlu prioritas dalam pembuatan LRB adalah  :
1.      Bagian hulu DAS yang sering menyebabkan bencana banjir, kekeringan, dan tanah longsor;
2.      Daerah tangkapan air (catchment area) dari waduk, bendungan dan danau;
3.      Daerah resapan air (recharge area) di hulu DAS.
Teknik Pembuatan LRB Versi Kehutanan
Permenhut 70/2008 tidak mengatur secara detail tentang pembuatan LRB, namun dari beberapa referensi diketahui bahwa teknik pembuatan dan biaya  LRB adalah sbb.:
1.      Jarak antara LRB adalah 0,5 - 1 m,  sehingga dalam 1 hektar terdapat 100 – 400 LRB. LRB dibuat dengan kedalam 80 - 100 cm dan diameter 10 cm,  setiap lubang dapat menampung 7,8 liter air dan  serasah.
2.      Pada lahan  miring, LRB dibuat sesuai garis kontur sejajar dengan baris tanaman dan dapat dikombinasikan dengan penggunaan teknik konservasi lainnya, seperti guludan.
3.      Biaya pembuatan LRB untuk 1 (satu) hektar , dengan asumsi : a) Jarak LRB = 5 m x 5 m ; b) Upah buruh dalam satu hari a Rp.50.000,-; c) Dalam satu hari, buruh dapat membuat 20 LRB.
Dalam 1 hektar dapat diselesaikan dalam 20 hari atau dalam 1 hektar dapat diselesaikan dalam satu hari oleh 20 buruh.
Upah pembuatan LRB dalam satu hektar = (400 : 20) x Rp. 50.000,- = Rp. 1.000.000,-
Jika 1000 hektar, memerlukan 400.000 LRB, dengan biaya Rp. 1000.000.000,- (satu milyard rupiah).
Biaya pembelian 40 alat bor LRB @ Rp.200.000,- = Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah).
4.    Sumber air yang dihasilkan dalam 1000 hektar (dengan asumsi): a) Satu LRB menginfiltrasikan sebanyak 5 liter dari 7.9 liter volume LRB; b) Hujan selama 100 hari;
Dalam 1000 hektar, akan menghasilkan sumber air dibagian tengah atau hilir DAS sebanyak = 1.000 x 400 x 5 liter = 2.000.000 liter = 2000 m3;
Dalam 100 hari hujan akan menghasilkan = 100 x 2000 m3 = 200.000 m3 sumber air.

Perhitungan sederhana di atas memperlihatkan bahwa manfaat pembuatan  LRB di bagian hulu DAS sangat nyata dalam memberikan sumber air pada bagian tengah atau hilir DAS dalam bentuk mata air atau sungai. Apabila hasil dari LRB sebanyak 200.000 m3 sumber air dikonversi kedalam nilai uang akan dengan patokan harga air (di NTT pada tahun 2014) Rp 100.000,- per 5.000 liter atau 1 liter = Rp 20,-, maka dengan 1.000 hektar akan menghasilkan 200.000 m3 sumber air senilai = 200.000.000 liter x Rp.20,- = Rp. 4.000.000.000,-. Padahal untuk membuat LRB seluas 1000 hektar, hanya memerlukan biaya Rp. 1.008.000.000,- (satu milyard delapan juta rupiah) saja. Luar biasa bukan? Hanya saja Rp. 4.000.000.000,-, diberikan pada masyarakat bukan dalam bentuk uang, akan tetapi dalam bentuk sumber air atau sungai yang mengalir secara konstan.
Penutup
Hingga kini, musim kemarau dan musim penghujan menimbulkan bencana bagi masyarakat. Kementerian LHK mestinya dapat mencegah atau minimal mengurangi bencana tersebut dengan kegiatan pembuatan LRB di bagian hulu DAS.
Hingga kini, belum ada usaha dari Kementerian LHK bahwa untuk menjamin keberlanjutan jasa hidrologis air, pengguna air yang memanfaatkan air secara komersial, misalnya pabrik AMDK, perlu dikenakan Dana Reboisasi (DR) seperti halnya DR pada kayu. DR dari air digunakan untuk mendanai kegiatan konservasi tanah dan air pada hutan di bagian hulu DAS yang memasok kebutuhan airnya.
Hingga kini, Kementerian LHK belum mempunyai data base berapa sumber air dan debit sungai yang terdapat dalam suatu DAS baik pada musim kemarau maupun pada musim penghujan. Untuk itu perlu redefinisi tentang tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung pada tingkat pusat dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai pada tingkat lapangan.
Kini, saatnya mewujudkan hutan sebagai mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan memelihara kesuburan tanah.
Semoga tulisan singkat ini dapat bermanfaat dan memberikan inspirasi bagi pengambil kebijakan dan pelaksana Kementerian LHK, bahwa dengan program dan kegiatan yang sederhana dapat memberikan manfaat yang luar biasa.
---------------------------------------------
Bambang Winarto *) : Praktisi Kehutanan dari  Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (PUSKASHUT) - Yayasan Sarana Wana Jaya 

Tidak ada komentar: