REZIM PERIZINAN KEHUTANAN
Bambang Winarto*)
Jika kita mengamati Presiden Jokowi berbicara soal perizinan, sepertinya Presiden
kita frustasi. Perizinan rumit dan berbelit. Bayangkan saja seorang Presiden
sampai frustasi, apalagi para pengusaha yang mau menginvestasikan modalnya.
Data BKPM menunjukkan bahwa, India investasi naik 30 persen, Filipina naik 38
persen, Malaysia naik 51 persen, sedangkan Indonesia hanya 10 persen di 2017. Alasan
nomor satu adalah REGULASI, kebanyakan aturan, persyaratan, dan perizinan yang
berbelit-belit. Menurut Presiden, banyaknya peraturan yang dikeluarkan bukanlah
sebuah prestasi. Namun yang diperlukan adalah kebijakan dan peraturan
berkualitas yang bermuara pada kemudahan dalam perizinan bagi masyarakat. Dalam pembahasan ini akan dikupas
bagaimana pemanfaatan hutan produksi dan solusi yang harus dilakukan untuk
meningkatkan nilai hutan.
Bagaimana dengan di Kehutanan?
Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi
pokok memproduksi hasil hutan. (UU 41/1999). Selanjutnya disebutkan bahwa Hasil Hutan adalah benda-benda hayati, non hayati dan
turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat
hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan
masyarakat. Hasil hutan dapat dimanfaatkan melalui PERIZINAN, sebagaimana
tercantum dalam UU 41/1999, dan berbagai peraturan turunannya.
Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian
izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Dalam pemanfaatan kawasan hutan : antara lain, melalui kegiatan usaha : a.
budidaya tanaman obat; b. budidaya tanaman hias; c. budidaya jamur; d. budidaya
lebah; e. penangkaran satwa liar; f. rehabilitasi satwa; atau g. budidaya
hijauan makanan ternak. Pemanfaatan jasa lingkungan antara lain, melalui
kegiatan usaha: a. pemanfaatan aliran air; b. pemanfaatan air; c. wisata alam;
d. perlindungan keanekaragaman hayati; e. penyelamatan dan perlindungan
lingkungan; atau f. penyerapan dan / atau penyimpan karbon. Dalam pemanfaatan
kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu melalui
: izin usaha pemanfaatan hasil hutan
kayu (hutan alam, hutan tanaman) , izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu,
izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Dari berbagai perizinan tersebut yang paling banyak dan
paling diminati pengusaha adalah izin pemanfaatan hasil hutan kayu apakah di
hutan alam dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Katu pada Hutan Alam
(IUPHHK-HA) atau pada hutan tanaman dalam bentuk bentuk Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Katu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Mungkin 99% perizinan di KLHK
berupa izin pemanfaatan hasil hutan kayu. Perizinan lainnya dapat dihitung
dengan jari.
Sebenarnya dengan sistem perizinan yang ada sekarang ini
Rimbawan Penentu Kebijakan MENGKERDILKAN MANFAAT HUTAN. Manfaat hutan yang
demikian banyak hanya dimanfaatkan satu
saja sesuai izin yang diberikan.
Menengok Ke Belakang
Awalnya,
tahun 1970‐an kegiatan pengusahaan hutan alam produksi dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Pemanfaatan hutan hanya terfokus pada kegiatan yang berorientasi Kelestarian Hasil Kayu (sustained
timber yield), sesuai dengan UU
5/1967 Tentang Ketentuan – Ketentuan
Pokok Kehutanan. Konsep ini cenderung mengeksploitasi potensi sumberdaya hutan
yang menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan alam. Dengan
keluarnya Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pemanfaatn hutan
berubah dari Hak Pengusahaan Hutan menjadi Izin
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK‐HA). Sejak tahun 2000
an konsep Kelestarian Hasil Kayu berubah
menjadi Pengelolaan Hutan Lestari (PHL)
(Sustainable Forest Management). PHL
adalah sistem pengelolaan hutan yang menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat
sumberdaya hutan dengan memperhatikan fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan
secara seimbang. Namun dalam prakteknya, kedua konsep tersebut sama saja yakni
mengekploitasi kayu dan hanya kayu.
Pada
tahun 1990, jumlah IUPHHK‐HA mencapai 557 unit dengan total areal konsesi
seluas 58,9 juta hektar. Jumlah dan luas IUPHHK‐HA tersebut terus meningkat
hingga tahun 1993 (yaitu 575 unit dengan luas 61,7 juta hektar), namun kemudian
menurun menjadi 304 unit (luas 25,8 juta hektar) pada tahun 2009. Hal ini
berarti bahwa dalam kurun waktu 19 tahun terdapat penurunan sejumlah
IUPHHK-HA sebesar 45%. Hal ini mencerminkan adanya
ketidaklestarian kegiatan pemanfaatan hutan alam produksi.
Sebagai
dampak dari pemanfaatan hutan yang tidak terkendali, maka kondisi hutan mengalami
perubahan dratis. Pada awal 1970-an hampir seluruh hutan berupa hutan primer,
namun menjelang akhir tahun 1990-an mulai terlihat penurunan kualitas hutan
dari hutan primer menjadi hutan sekunder.
Sejak
tahun 2010 hingga kini dapat dikatakan bahwa hasil hutan kayu sudah tidak ada
lagi pamornya. Terlalu kecil untuk pendapatan negara. Anehnya Rimbawan Manggala
masih berkutat dengan kayu dan hanya kayu saja. Berbagai aturan tentang kayu
selalu direvisi. Entah apa tujuannya. Sementara hasil hutan lainnya nyaris
tidak disentuh sama sekali.
SEANDAINYA
Seandainya
Saya pengusaha kehutanan yang sudah memperoleh Izin Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu dari Hutan Alam (IUPHHK-HA) seluas 50.000 hektar, apa yang akan Saya
lakukan?
Langka
pertama adalah melakukan kegiatan inventarisasi hutan untuk mengetahui potensi
hutan beserta keadaan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Dari hasil
inventarisasi diperoleh data sebagai berikut :
selain potensi kayu juga terdapat potensi rotan, anggrek hutan, air
terjun, lahan tidak produktif seluas 5.000 hektar dan masyarakat sekitar hutan
bermatapencaharian sebagai peternak. Dengan data yang ada, maka dilakukan
pembuatan Rencana Jangka Panjang (RJP), Rencana Jangka Menengah (RJM) dan
akhirnya Rencana Karya Tahunan (RKT) sebagai syarat untuk memanfaatkan hasil
hutan kayu.
Sebagai
pengusaha, melihat potensi hutannya sangat menjanjikan, maka pada saat
penyusunan RJP, potensi yang ada akan dimanfaatkan secara optimal. Anggrek
hutan akan dibudidayakan, demikian pula dengan rotannya. Sedangkan lahan yang
tidak produktif seluas 50 hektar akan ditanami dengan hijauan makanan ternak
dan seluas 450 hektar akan ditanami dengan buah manggis. Sebagai pengusaha yang
jeli melihat peluang beranggapan bahwa anggrek hutan dan rotan akan memberikan
nilai tambahan dan akan mengalami kerusakan atau kematian apabila
pohon-pohonnya ditebang. Hijauan makanan ternak dikembangkan karena melihat
potensi peternakan yang dilakukan oleh
masyarakat di sekitar arealnya, dan penanaman manggis karena memang di hutan banyak tanaman manggis
hutan. Dengan penanaman manggis yang hanya 450 diyakini dapat menguasai pasar
domistik dan bahkan pasar internasional. Perusahaan akan membangun industri
buah manggis dalam kaleng dan pemanfaatan kulit manggis untuk pengobatan. Areal
produktif seluas 4.500 akan ditanami dengan fast
growing species, dengan jenis jabon.
Namun
setelah konsultasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
ternyata dalam RJP cukup diatur
kelestarian kayu saja. Potensi hasil hutan lainnya tidak perlu di masukan dalam
RJP. Alasannya sederhana, izin yang diberikan hanya pemanfaatan kayu, bukan
dengan hasil hutan yang lainnya. Kalau ingin memanfaatkan potensi hasil hutan
lainnya perlu izin lagi. Izin pemanfaatan rotan, izin budidaya anggrek, izin
penanaman hijauan makanan ternak, izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
berupa buah. Dan bahkan areal yang tidak produktif seluas 4.500 pun tidak boleh
ditanamani dengan kayu pertukangan seperti halnya HTI. Sungguh aneh bukan? Sebagai
Sarjana Kehutanan, sungguh Saya tidak memahami kebijakan KLHK. Ilmu yang Saya
peroleh di Perguruan Tinggi menyatakan bahwa hutan memberikan manfaat beragam,
bukan hanya kayu. Bahkan kalau kayunya diambil manfaat lainnya bisa hilang
begitu saja.
Bagi
pengusaha mengurus perizinan bukan perkara mudah, perlu kesabaran, perlu waktu,
perlu dana dan perlu yang lainnya. Itulah yang membuat pengusaha “gamang” dalam
pengurusannya. Pada akhirnya pengusaha hutan tersebut hanya memilih kayu saja
yang dimanfaatkannya. Makanya tidak
heran jika banyak potensi hasil hutan yang hilang bagai ditelan bumi belum
sempat dikenalinya. Apakah sistem yang demikian akan tetap dibiarkan?
Forests Are Not Just
Timbers
Semua
rimbawan mengetahui bahwa hutan mempunyai fungsi serbaguna, sebagai penghasil
kayu, pengaturan tata air, tempat berlindung dan tumbuh kehidupan liar, penghasil
pakan dan tempat wisata, dsb. Namun
demikian sulit mendapatkan batas-batas fungsi tersebut secara tegas karena
adanya interaksi antara fungsi tersebut. Forests
are not just timbers, nilai ekonomi hutan bukan hanya kayu.
Secara
konpsepsi, nilai ekonomi hutan adalah kualitas barang dan jasa dari hutan yang
menyebabkan barang dan jasa tersebut dapat dipertukarkan dengan sesuatu yang
lain untuk menentukan manfaat atau daya gunanya. Satu pendekatan yang biasa
digunakan untuk mengetahui berapa besar manfaat hutan adalah mengetahui
perkiraan keseluruhan nilai ekonomi. Pendekatan nilai ekonomi hutan produksi adalah mengklasifikasikan nilai
hutan ke dalam : 1). Nilai guna langsung, yaitu nilai dari barang atau jasa
yang dikonsumsi langsung seperti kayu bulat, kayu bakar, hasil hutan non kayu,
nilai guna air untuk konsumsi rumah tangga dan air pertanian. Untuk memudahkan
perhitungan nilai guna langsung terdiri dari nilai guna kayu dan nilai guna non
kayu (HHBK) ; 2) Nilai guna tidak
langsung, yaitu nilai barang dan jasa yang diperoleh secara tidak langsung
seperti pengawetan air dan tanah, penyimpanan karbon, pencegahan banjir, dan
prasarana angkutan air; 3) Nilai pilihan, yaitu nilai langsung dan tidak
langsung dari hutan di masa mendatang; seperti nilai keanekaragaman hayati dan
dan perlindungan habitat, dan ; 4) Nilai
keberadaan, yaitu nilai instrinsik dari hutan seperti nilai spritual, sosial
dan budaya.
Secara teoritis nilai
ekonomi total hutan produksi di atas dapat disederhanakan dengan rumus sebagai
berikut :
TEV = NGK + NGBK + NGTL +
NP + NK
TEV = Total Economic Value; NGK =
Nilai Guna Kayu ; NGBK = Nilai Guna Buka Kayu ; NGTL = Nilai Guna Tidak
Langsung; NP = nilai pilihan; NK = Nilai keberadaan.
Dari melihat rumus sederhana
di atas diketahui bahwa KLHK hanya menyamakan TEV = NGK saja. Nilai guna
lainnya yang mungkin lebih tinggi malahan di abaikan.
PENUTUP
UU 41/1999 tentang
Kehutanan, nampaknya sudah tidak sejalan dengan perkembangan kehutanan. Kepada
para Akademisi, kiranya dapat mempeloporinya dengan menyusun Naskah
Akademiknya. Mari kita selamatkan hutan kita yang masih tersisa. Rimbawan pasti
tahu bahwa forests are not just timbers.
Namun untuk mewujudkan forests are not
just timbers perlu didukung peraturan perundang-undangan. Semoga hutan
dapat memberikan manfaat lebih kepada masyarakat lokal, kepada pemerintah
daerah , kepada Negara dan kepada seluruh rakyat Indonesia.
====================
Bambang Winarto *) : Konsultan paruh
waktu Yayasan Sarana Wana Jaya, Pensiunan Kehutanan, Mantan Kepala Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Gorontalo, Penyusun Kamus Rimbawan dan Kamus
Konservasi.
========================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar