Selasa, 19 Maret 2019

BAMBU SEBAGAI PENAHAN BANJIR PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI




BAMBU SEBAGAI PENAHAN BANJIR PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI
Bambang Winarto *)

Banjir bandang yang menerjang kawasan Cicaheum pada Selasa (20/3/2018) sore membuat geger warga Bandung. Luapan air dari Sungai Cicabe dan Cipamokolan yang bercampur lumpur tumpah ke jalan hingga mengakibatkan jalur arteri sempat terputus. Sebanyak 17 mobil dan sejumlah kendaraan roda dua dilaporkan rusak parah akibat terseret arus banjir. Banjir bandang di Garut, Jawa Barat (23/9/2017) mengakibatkan 27 orang tewas, 22 orang hilang, dan korban luka 32 orang. Selain itu, 433 orang terpaksa mengungsi dan ratusan rumah rusak berat. Banjir Jalan Pasteur yang menjadi landmark Kota Bandung 24/10/2016, membuat warga Bandung heran. Wali Kota Bandung Ridwan Kamil-pernah berkata bahwa Bandung aman dari serbuan banjir. Tapi apa nyatanya? Ironis bukan?
Ketiga kejadian di atas hanya sekedar contoh, Bandung atau daerah lain yang dikira aman dari banjir ternyata terkena banjir juga. Jika musim puncak penghujan banjir terjadi di manan-mana.
Bagi rimbawan penyebabnya sangat jelas, pada bagian hulunya pasti terjadi alih fungsi hutan atau hutannya telah mengalami kerusakan. Pembangunan pemukiman, industri, pertanian tanpa konservasi, merupakan penyebab utamanya. Hutan sebagai penjaga bencana banjir dikorbankan untuk kepentingan atas nama pembangunan. Dapat dipastikan bahwa hutan yang berada di DAS kurang dari 30%. Akibatnya ya..., banjir bandang. Apabila hutan yang berada dalam DAS minimal mencapai 30% dengan sebaran yang proporsional, maka dijamin DAS akan berfungsi secara optimal, banjir dan tanah longsor tidak akan terjadi. (UU 41/1999 Tentang Kehutanan). 
KONDISI DAS
Menurut Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo, kerusakan DAS di Indonesia sangat luar biasa. Dari 450 DAS di Indonesia, kini 118 DAS dalam kondisi kritis. Banjir dan longsor yang terjadi selama ini tidak lepas dari imbas kerusakan DAS. Kerusakan bisa ditimbulkan oleh makin banyaknya perumahan, pertanian dan perkebunan. Menurut Sutopo, 30 tahun lalu, hanya 22 DAS di Indonesia yang kondisinya kritis dan super kritis. Pada tahun 1992 , jumlah DAS yang rusak meningkat menjadi 29 DAS. Dua tahun kemudian jumlahnya menjadi 39 DAS, lalu pada 1998 menjadi 42 DAS, 2000 menjadi 58 DAS, tahun 2002 menjadi 60 DAS, dan tahun 2007 sekitar 80 DAS yang rusak super kritis dan kritis.
Benang merah yang dapat ditarik adalah masalah kerusakan lingkungan (banjir dan tanah longsor) pada DAS akan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Padahal pemerintah telah melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan sejak tahun 2003. Hasilnya, tidak menggembirakan, laju kerusakan hutan dan lahan lebih cepat dibandingkan dengan laju keberhasilan tanaman.
Kini,  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggunakan langkah Kemitraan Lingkungan untuk memulihkan kondisi DAS yang rusak hingga lahan kritis di Indonesia. Ada dua klasifikasi DAS, yakni yang rusak dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, harus dipulihkan daya dukungnya, dan  DAS yang masih berfungsi sebagaimana mestinya dan harus dipertahankan daya dukungnya.
Terdapat 15 DAS prioritas yakni DAS yang berdasarkan kondisi lahan, hidrologi, sosek, investasi dan kebijaksanaan pembangunan wilayah tersebut perlu diberikan prioritas dalam penanganannya. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, telah dicantumkan DAS prioritas adalah : Citarum, Ciliwung, Cisadane, Serayu, Solo, Brantas, Asahan Toba, Siak, Musi, Way Sekampung, Way Seputih, Moyo, Kapuas, Jeneberang dan Saddang. Program pemulihan DAS sebagian besar akan dilakukan di daerah hulu dengan melakukan penanaman lahan kritis, membangun bendungan, bangunan konservasi air, normalisasi sungai dan sodetan.
Namun dari program yang disampaikan,  KLHK tidak menyinggung sama sekali bagaimana upaya meminimalisir dampak negatif dari adanya banjir apalagi banjir bandang yang terjadi hampir setiap musim penghujan.
BAGAIMANA MENGATASINYA?
Para rimbawan menyakini bahwa hutan mempunyai peranan penting dalam mengkonservasi DAS, karena  hutan mempunyai sifat: 1).Meredam tingginya debit sungai pada musim hujan, dan memelihara kestabilan aliran air sungai pada musim kemarau; 2). Mempunyai serasah yang tebal sehingga memudahkan air meresap ke dalam tanah dan mengalirkannya secara perlahan ke sungai. Lapisan serasahnya juga melindungi permukaan tanah dari gerusan aliran permukaan sehingga erosi pada tanah hutan sangat rendah; 3). Mempunyai banyak pori makro dan pipa di dalam tanah yang memungkinkan pergerakan air secara cepat ke dalam tanah.
Dengan demikian sudah sangat wajar apabila para rimbawan selalu bicara hutan dalam pengelolaan DAS. Memang begitulah seharusnya.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan semakin berkurangnya kawasan hutan, maka upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam rehabilitasi lahan adalah melakukan penanaman pohon pada lahan kritis milik masyarakat. Hasilnya berupa KEBUN POHON bukan HUTAN. Dari sisi konservasi air, KEBUN POHON tentu TIDAK SEBAIK HUTAN. Dari berbagai data diketahui bahwa penyebab utama terjadinya banjir dan tanah lonsor adalah hutan yang berada di bagian hulu telah mengalami kerusakan atau berkurang persentasenya.
Dengan memperhatikan kondisi hutan yang ada pada DAS, pertambahan penduduk dan dampak tingkat keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan yang tidak begitu significant terhadap pencegahan  banjir, maka  perlu pendekatan baru untuk mengurangi dampak negatif dari banjir.
KAKISU
Untuk itu, KLHK perlu membuat terobosan dalam melakukan kegiatan rehabilitasi lahan. Program rehabilitasi lahan yang dilakukan sekarang tetap berjalan sebagaimana biasanya namun perlu sentuhan kecil menurut kacamata ORANG AWAM pada KAKISU.
Pengertian ORANG AWAM tentang DAS tentu berbeda dengan para rimbawan. Orang awam memandang DAS adalah sungai dengan daerah sekitar sungai atau  KANAN dan KIRI SUNGAI (KAKISU) atau BANTARAN sungai yang berjarak 5-15  meter. DAS adalah SUNGAI dan SEMPADAN SUNGAI, yakni : GARIS MAYA di kiri dan kanan palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai dan berfungsi sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan daratan, agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu. GARIS MAYA ini seharusnya diwujudkan dalam bentuk nyata berupa  tanaman, sehingga masyarakat langsung mengetahui bahwa adanya sempadan sungai. Garis sempadan pada sungai bermacam-macam, bergantung pada kedalaman sungai dan ada tidaknya tanggul pada sungai. Sungai dengan kedalaman antara 1-3 meter, maka  garis sempadan paling sedikit 10 m, bila kedalaman 3-20 meter, maka sempadan sungai 15 meter. (PP 38/2011 tentang Sungai).
Dengan adanya garis sempadan sungai juga dimaksudkan bahwa kanan dan kiri sungai adalah milik negara dan tidak diperbolehkan adanya pemberian izin untuk kegiatan apapun : pendirian rumah, ruko dsb. Ironisnya, justru pada lahan tersebut banyak dihuni oleh masyarakat untuk berbagai kegiatan. Lantas program apa yang ditawarkan Kementerian LHK pada KAKISU CITARUM? Jawabannya adalah PENANAMAN BAMBU. Mengapa?
Bambu sangat cocok untuk kegiatan rehabilitasi pada KAKISU karena tanaman bambu hidupnya bergerombol bukan soliter. Jika memperhatikan perakaran bambu, segera dapat diketahui bahwa perakaran bambu membentuk semacam anyaman, saling berhubungan satu sama lain. Bambu berperan dalam mencegah erosi karena perakarannya memperkuat ikatan partikel dan menahan pengikisan tanah. Bambu juga berfungsi sebagai penjernih air. Hal ini dapat dilihat pada daerah bantaran sungai yang banyak bambunya, air sungai terlihat jernih. Selain itu, pada daerah dibawah hutan bambu juga banyak dijumpai sumber mata air. Tanaman bambu akan meningkatkan volume air bawah tanah, karena memiliki akar rimpang yang sangat kuat. Struktur akar ini menjadikan bambu dapat mengikat tanah dan air dengan baik. Dibandingkan dengan pepohonan yang hanya menyerap air hujan 35-40% air hujan, bambu dapat menyerap air hujan hingga 90 %. Oleh karena itu bambu dapat mencegah erosi dan tanah longsor.
Pertumbuhan bambu lebih cepat dibanding dengan pohon kayu. Rata-rata pertumbuhan bambu untuk mencapai usia dewasa dibutuhkan waktu 3-6 tahun, sedangkan pohon paling tidak di atas 15 tahun. Bambu yang telah ditebang akan segera muncul tunas baru, sehingga tidak perlu dikhawatirkan bambu akan mengalami kepunahan karena ditebang. Bandingkan dengan pohon, setelah ditebang perlu penanaman dengan bibit yang baru.
Bambu dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, mulai dari tanah berat sampai ringan, tanah kering sampai becek, dan dari tanah subur sampai kurang subur. Juga dari tanah pegunungan yang berbukit terjal sampai tanah yang landai. Tanaman bambu bisa dijumpai mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi dengan ketinggian 0 sampai 2.000 m dpl. Curah hujan yang dibutuhkan untuk tanaman bambu minimum 1.020 mm per tahun.
Penanaman bambu di bantaran Sungai Ciliwung tepatnya di Cibinong dan bantaran Sungai Pesangrahan dari hulu sampai hilir (Jakarta), kiranya dapat dijadikan contoh. Sejumlah 3000 tanaman bambu yang terdiri dari lima jenis tanaman bambu  : bambu Tali (Gigantochloa hasskarliana), bambu Gombong, bambu Bitung (Dendrocalamus asper), bambu hitam (Gigantochloa atroviolacea) dan bambu haur koneng.
Di Indonesia terdapat lebih kurang 125 jenis bambu. Kesemua jenis bambu tersebut sebaiknya di tanam pada KAKISU. Konsultasi dan koordinasi dengan lembaga penelitian  atau peneliti bambu sangat diperlukan, apakah dari LIPI,  Perguruan Tinggi, Litbang Pertanian/Kehutanan, praktisi  dan para pihak lainnya untuk merancang program penanaman bambu pada KAKISU secara keseluruhan  dalam upaya mendukung REVITALISASI DAS.
Jika penaman bambu sepanjang KAKISU berhasil, maka inilah manfaat yang diperolehnya :
1.        Apabila terjadi banjir, maka lumpur, sampah dan limbah rumah tangga tidak akan keluar dari sungai. Masyarakat akan terhindari dari dampak yang lebih membahayakan (rumah roboh karena terjangan batang kayu, sampah masuk rumah, dsb).
2.        Merupakan “museum hidup tanaman bambu”, karena semua jenis tanaman bambu yang ada di Indonesia ada di KAKISU pada DAS.
3.        Tempat pendidikan bagi pelajar, mahasiswa atau masyarakat tentang tanaman bambu.
4.        Dapat dijadikan matapencaharian bagi masyarakat sekitarnya untuk mengembangkan kerajinan dari bambu.
5.        Muncul mata air di bantaran sungai.
PENUTUP
Keberhasilan REVITALISASI DAS terutama akan ditentukan oleh KLHK. Program rehabilitasi lahan dengan pendekatan DAS tetap dilaksanakan sebagaimana yang telah berjalan selama ini dengan tambahan KAKISU di tanam bambu. Jika program ini berhasil, maka tidak lebih dari 5 tahun, semua sungai pada DAS PRIORITAS akan mempunyai “SABUK BAMBU” yang dapat mencegah atau mengurangi dampak negatif  bahaya banjir . Semoga masukan kecil ini dapat memberikan inspirasi bagi KLHK.
====================

Bambang Winarto *) : Konsultan paruh waktu Yayasan Sarana Wana Jaya, Pensiunan Kehutanan, Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Gorontalo, Penyusun Kamus Rimbawan dan Kamus Konservasi.





Tidak ada komentar: