BAMBU
SEBAGAI PENAHAN BANJIR PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI
Bambang Winarto *)
Banjir bandang yang menerjang kawasan Cicaheum
pada Selasa (20/3/2018) sore membuat geger warga Bandung. Luapan air dari
Sungai Cicabe dan Cipamokolan yang bercampur lumpur tumpah ke jalan hingga
mengakibatkan jalur arteri sempat terputus. Sebanyak 17 mobil dan sejumlah
kendaraan roda dua dilaporkan rusak parah akibat terseret arus banjir. Banjir
bandang di Garut, Jawa Barat (23/9/2017) mengakibatkan 27 orang tewas, 22 orang
hilang, dan korban luka 32 orang. Selain itu, 433 orang terpaksa mengungsi dan
ratusan rumah rusak berat. Banjir Jalan Pasteur yang menjadi landmark Kota
Bandung 24/10/2016, membuat warga Bandung heran. Wali Kota Bandung Ridwan
Kamil-pernah berkata bahwa Bandung aman dari serbuan banjir. Tapi apa nyatanya?
Ironis bukan?
Ketiga kejadian di atas hanya sekedar contoh,
Bandung atau daerah lain yang dikira aman dari banjir ternyata terkena banjir
juga. Jika musim puncak penghujan banjir terjadi di manan-mana.
Bagi rimbawan penyebabnya sangat jelas, pada
bagian hulunya pasti terjadi alih fungsi hutan atau hutannya telah mengalami
kerusakan. Pembangunan pemukiman, industri, pertanian tanpa konservasi,
merupakan penyebab utamanya. Hutan sebagai penjaga bencana banjir dikorbankan untuk
kepentingan atas nama pembangunan. Dapat dipastikan bahwa hutan yang berada di
DAS kurang dari 30%. Akibatnya ya..., banjir bandang. Apabila hutan
yang berada dalam DAS minimal mencapai 30% dengan sebaran yang proporsional,
maka dijamin DAS akan berfungsi secara optimal, banjir dan tanah longsor tidak
akan terjadi. (UU 41/1999 Tentang Kehutanan).
KONDISI DAS
Menurut Humas Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB), Sutopo Purwo, kerusakan DAS di Indonesia sangat luar biasa.
Dari 450 DAS di Indonesia, kini 118 DAS dalam kondisi kritis. Banjir dan longsor
yang terjadi selama ini tidak lepas dari imbas kerusakan DAS. Kerusakan bisa
ditimbulkan oleh makin banyaknya perumahan, pertanian dan perkebunan. Menurut
Sutopo, 30 tahun lalu, hanya 22 DAS di Indonesia yang kondisinya kritis dan
super kritis. Pada tahun 1992 , jumlah DAS yang rusak meningkat menjadi 29 DAS.
Dua tahun kemudian jumlahnya menjadi 39 DAS, lalu pada 1998 menjadi 42 DAS,
2000 menjadi 58 DAS, tahun 2002 menjadi 60 DAS, dan tahun 2007 sekitar 80 DAS
yang rusak super kritis dan kritis.
Benang merah yang dapat ditarik adalah masalah
kerusakan lingkungan (banjir dan tanah longsor) pada DAS akan semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Padahal pemerintah telah melakukan kegiatan rehabilitasi
hutan dan lahan sejak tahun 2003. Hasilnya, tidak menggembirakan, laju
kerusakan hutan dan lahan lebih cepat dibandingkan dengan laju keberhasilan
tanaman.
Kini,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggunakan langkah
Kemitraan Lingkungan untuk memulihkan kondisi DAS yang rusak hingga lahan
kritis di Indonesia. Ada dua klasifikasi DAS, yakni yang rusak dan tidak
berfungsi sebagaimana mestinya, harus dipulihkan daya dukungnya, dan DAS yang masih berfungsi sebagaimana mestinya
dan harus dipertahankan daya dukungnya.
Terdapat 15 DAS prioritas yakni DAS yang
berdasarkan kondisi lahan, hidrologi, sosek, investasi dan kebijaksanaan
pembangunan wilayah tersebut perlu diberikan prioritas dalam penanganannya. Dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, telah
dicantumkan DAS prioritas adalah : Citarum, Ciliwung, Cisadane, Serayu, Solo,
Brantas, Asahan Toba, Siak, Musi, Way Sekampung, Way Seputih, Moyo, Kapuas,
Jeneberang dan Saddang. Program pemulihan DAS sebagian besar akan dilakukan di
daerah hulu dengan melakukan penanaman lahan kritis, membangun bendungan,
bangunan konservasi air, normalisasi sungai dan sodetan.
Namun dari program yang disampaikan, KLHK
tidak menyinggung sama sekali bagaimana upaya meminimalisir dampak negatif dari
adanya banjir apalagi banjir bandang yang terjadi hampir setiap musim penghujan.
BAGAIMANA MENGATASINYA?
Para
rimbawan menyakini bahwa hutan mempunyai peranan penting dalam mengkonservasi
DAS, karena hutan mempunyai sifat:
1).Meredam tingginya debit sungai pada musim hujan, dan memelihara kestabilan
aliran air sungai pada musim kemarau; 2). Mempunyai serasah yang tebal sehingga
memudahkan air meresap ke dalam tanah dan mengalirkannya secara perlahan ke
sungai. Lapisan serasahnya juga melindungi permukaan tanah dari gerusan aliran
permukaan sehingga erosi pada tanah hutan sangat rendah; 3). Mempunyai banyak
pori makro dan pipa di dalam tanah yang memungkinkan pergerakan air secara
cepat ke dalam tanah.
Dengan
demikian sudah sangat wajar apabila para rimbawan selalu bicara hutan dalam
pengelolaan DAS. Memang begitulah seharusnya.
Dengan
bertambahnya jumlah penduduk dan semakin berkurangnya kawasan hutan, maka upaya
yang dilakukan oleh pemerintah dalam rehabilitasi lahan adalah melakukan
penanaman pohon pada lahan kritis milik masyarakat. Hasilnya berupa KEBUN POHON
bukan HUTAN. Dari sisi konservasi air, KEBUN POHON tentu TIDAK SEBAIK HUTAN. Dari
berbagai data diketahui bahwa penyebab utama terjadinya banjir dan tanah lonsor
adalah hutan yang berada di bagian hulu telah mengalami kerusakan atau
berkurang persentasenya.
Dengan
memperhatikan kondisi hutan yang ada pada DAS, pertambahan penduduk dan dampak
tingkat keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan yang tidak begitu significant
terhadap pencegahan banjir, maka perlu pendekatan baru untuk mengurangi dampak
negatif dari banjir.
KAKISU
Untuk
itu, KLHK perlu membuat terobosan dalam melakukan kegiatan rehabilitasi lahan.
Program rehabilitasi lahan yang dilakukan sekarang tetap berjalan sebagaimana
biasanya namun perlu sentuhan kecil menurut kacamata ORANG AWAM pada KAKISU.
Pengertian
ORANG AWAM tentang DAS tentu berbeda dengan para rimbawan. Orang awam memandang
DAS adalah sungai dengan daerah sekitar sungai atau KANAN dan KIRI SUNGAI (KAKISU) atau BANTARAN
sungai yang berjarak 5-15 meter. DAS
adalah SUNGAI dan SEMPADAN SUNGAI, yakni : GARIS MAYA di kiri dan kanan palung
sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai dan berfungsi sebagai
ruang penyangga antara ekosistem sungai dan daratan, agar fungsi sungai dan
kegiatan manusia tidak saling terganggu. GARIS MAYA ini seharusnya diwujudkan
dalam bentuk nyata berupa tanaman,
sehingga masyarakat langsung mengetahui bahwa adanya sempadan sungai. Garis
sempadan pada sungai bermacam-macam, bergantung pada kedalaman sungai dan ada
tidaknya tanggul pada sungai. Sungai dengan kedalaman antara 1-3 meter,
maka garis sempadan paling sedikit 10 m,
bila kedalaman 3-20 meter, maka sempadan sungai 15 meter. (PP 38/2011 tentang
Sungai).
Dengan
adanya garis sempadan sungai juga dimaksudkan bahwa kanan dan kiri sungai adalah
milik negara dan tidak diperbolehkan adanya pemberian izin untuk kegiatan
apapun : pendirian rumah, ruko dsb. Ironisnya, justru pada lahan tersebut banyak
dihuni oleh masyarakat untuk berbagai kegiatan. Lantas program apa yang
ditawarkan Kementerian LHK pada KAKISU CITARUM? Jawabannya adalah PENANAMAN
BAMBU. Mengapa?
Bambu
sangat cocok untuk kegiatan rehabilitasi pada KAKISU karena tanaman bambu
hidupnya bergerombol bukan soliter. Jika memperhatikan perakaran bambu, segera
dapat diketahui bahwa perakaran bambu membentuk semacam anyaman, saling
berhubungan satu sama lain. Bambu berperan dalam mencegah erosi karena
perakarannya memperkuat ikatan partikel dan menahan pengikisan tanah. Bambu
juga berfungsi sebagai penjernih air. Hal ini dapat dilihat pada daerah
bantaran sungai yang banyak bambunya, air sungai terlihat jernih. Selain itu,
pada daerah dibawah hutan bambu juga banyak dijumpai sumber mata air. Tanaman
bambu akan meningkatkan volume air bawah tanah, karena memiliki akar rimpang
yang sangat kuat. Struktur akar ini menjadikan bambu dapat mengikat tanah dan
air dengan baik. Dibandingkan dengan pepohonan yang hanya menyerap air hujan
35-40% air hujan, bambu dapat menyerap air hujan hingga 90 %. Oleh karena itu
bambu dapat mencegah erosi dan tanah longsor.
Pertumbuhan
bambu lebih cepat dibanding dengan pohon kayu. Rata-rata pertumbuhan bambu
untuk mencapai usia dewasa dibutuhkan waktu 3-6 tahun, sedangkan pohon paling
tidak di atas 15 tahun. Bambu yang telah ditebang akan segera muncul tunas
baru, sehingga tidak perlu dikhawatirkan bambu akan mengalami kepunahan karena
ditebang. Bandingkan dengan pohon, setelah ditebang perlu penanaman dengan
bibit yang baru.
Bambu
dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, mulai dari tanah berat sampai ringan,
tanah kering sampai becek, dan dari tanah subur sampai kurang subur. Juga dari
tanah pegunungan yang berbukit terjal sampai tanah yang landai. Tanaman bambu
bisa dijumpai mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi dengan ketinggian
0 sampai 2.000 m dpl. Curah hujan yang dibutuhkan untuk tanaman bambu minimum
1.020 mm per tahun.
Penanaman
bambu di bantaran Sungai Ciliwung tepatnya di Cibinong dan bantaran Sungai
Pesangrahan dari hulu sampai hilir (Jakarta), kiranya dapat dijadikan contoh. Sejumlah
3000 tanaman bambu yang terdiri dari lima jenis tanaman bambu : bambu Tali (Gigantochloa hasskarliana),
bambu Gombong, bambu Bitung (Dendrocalamus asper), bambu hitam (Gigantochloa
atroviolacea) dan bambu haur koneng.
Di Indonesia terdapat lebih kurang 125 jenis bambu.
Kesemua jenis bambu tersebut sebaiknya di tanam pada KAKISU. Konsultasi dan koordinasi dengan lembaga penelitian atau peneliti bambu sangat diperlukan, apakah
dari LIPI, Perguruan Tinggi, Litbang
Pertanian/Kehutanan, praktisi dan para
pihak lainnya untuk merancang program penanaman bambu pada KAKISU secara
keseluruhan dalam upaya mendukung REVITALISASI DAS.
Jika penaman bambu sepanjang KAKISU berhasil, maka
inilah manfaat yang diperolehnya :
1.
Apabila terjadi banjir, maka lumpur, sampah dan limbah rumah
tangga tidak akan keluar dari sungai. Masyarakat akan terhindari dari dampak
yang lebih membahayakan (rumah roboh karena terjangan batang kayu, sampah masuk
rumah, dsb).
2.
Merupakan “museum hidup tanaman bambu”, karena semua jenis tanaman
bambu yang ada di Indonesia ada di KAKISU pada DAS.
3.
Tempat pendidikan bagi pelajar, mahasiswa atau masyarakat tentang
tanaman bambu.
4.
Dapat dijadikan matapencaharian bagi masyarakat sekitarnya untuk
mengembangkan kerajinan dari bambu.
5.
Muncul mata air di bantaran sungai.
PENUTUP
Keberhasilan
REVITALISASI DAS terutama akan ditentukan oleh KLHK. Program rehabilitasi lahan
dengan pendekatan DAS tetap dilaksanakan sebagaimana yang telah berjalan selama
ini dengan tambahan KAKISU di tanam bambu. Jika program ini berhasil, maka
tidak lebih dari 5 tahun, semua sungai pada DAS PRIORITAS akan mempunyai “SABUK
BAMBU” yang dapat mencegah atau mengurangi dampak negatif bahaya banjir . Semoga masukan kecil ini dapat
memberikan inspirasi bagi KLHK.
====================
Bambang Winarto *) : Konsultan
paruh waktu Yayasan Sarana Wana Jaya, Pensiunan Kehutanan, Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Gorontalo, Penyusun Kamus Rimbawan dan Kamus Konservasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar