KADO
KECIL MENYAMBUT HARI BHAKTI KEHUTANAN KE 36
SENTRA
BUAH HUTAN , MENGAPA TIDAK?
Bambang Winarto *)
Indonesia diberkahi dengan
hutan-hutan tropis terluas dan keanekaragaman hayati terbanya kedua di dunia
setelah Brasil. Puluhan juta rakyat Indonesia secara langsung atau tidak
langsung bergantung pada hutan-hutan ini untuk kehidupan mereka, entah itu
mengumpulkan hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari atau bekerja di sektor
pengolahan kayu. Hutan-hutan ini adalah rumah bagi banyak flora dan fauna yang
tak tertandingi di negara dengan ukuran yang sebanding manapun. Sayangnya,
hingga kini, hutan hanya dilihat kayunya saja. Tidak lebih. Tahun 1970 sampai tahun 1995, lebih dari 2
dekade, Kehutanan mengalami jaman keemasan dengan hasil hutan kayu dan industri perkayuannya. Devisa yang dihasilkan
menempati kedua setelah minyak bumi dan gas. Namun setelah itu, kinerja
kehutanan terus menurun. Bahkan setelah jaman reformasi Kehutanan Indonesia
bagaikan kapal yang karam dan puncaknya pada era Kabinet Kerja yang dipimpin
Presiden Jokowi, Kementerian Kehutanan tidak berdiri sendiri tetapi digabung
dengan Kementerian Lingkungan Hidup, menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (Kementerian LHK).
Sepertinya,
sebagai negara yang mempunyai kekayaan mega
diversity tidak ada apa-apanya dalam menunjang ekonomi negara sekarang ini.
Kinerja Kementerian LHK dalam mengurus dan mengelola hutan, kurang atau malahan
tidak ada terobosan, bekerja
ala kadarnya, monoton yang dikenal dengan BAU (business as usual)
tanpa mampu membuat terobosan positif dan konstruktif. Masyarakat ingin
perubahan ke arah yang lebih baik. Bandingkan dengan kementerian lainnya, seperti: Kementerian Kelautan dan
Perikanan dengan penenggelaman kapal, Kementerian Keuangan dengan Pengampunan
Pajak, Kementerian PUPR dengan pembangunan infrastutur. Padahal Presiden Jokowi sendiri adalah alumni
dari Fakultas Kehutanan. Ada apa gerangan......?
Untuk itu, pada bulan yang berbahagia ini, dimana tanggal 16 Maret merupakan HARI
BHAKTI RIMBAWAN, hari berdirikan DEPARTEMEN KEHUTANAN tahun 1983, disampaikan sebuah kado
kecil berupa artikel dengan tema SENTRA BUAH HUTAN kiranya dapat
membuka cakrawala baru para rimbawan dalam mengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) berupa buah hutan, untuk meningkatkan manfaat
dan nilai hutan serta meningkatkan koordinasi dan sinergisitas dengan
kementerian lainnya.
BUAH SEBAGAI HASIL UTAMA.
Memang, dalam hal buah, Indonesia adalah Negara yang
penuh ironi. Bagaimana tidak, toko swalayan dipenuhi berbagai buah asal
Tiongkok (jeruk, apel), Thailand (durian, lengkeng), Brasil (pisang), Amerika
(Apel). Jika buah asli disandingkan dengan buah impor, lebih ironi lagi, kalah jauh, baik dari segi
penampilan maupun harga. Aneh tapi nyata. Yang lebih mengerikan, buah impor
sudah merambah ke pelosok pedesaan di seluruh Indonesia. Buah lokal sudah
dalam status “bahaya”. Ada 2 (dua)
penyebab utama rendahnya hasil buah di Indonesia. Pertama, Indonesia tidak memiliki perkebunan buah
skala perusahaan yang dikelola secara professional (yang hanya dapat dikelola pada kawasan
hutan) dan yang kedua kesalahan
“mind set” rimbawan dalam
memandang buah sebagai hasil hutan bukan kayu.
Dalam berbagai tulisan tentang
buah, disebutkan bahwa Indonesia memilik tidak kurang
dari 329 jenis buah baik yang merupakan
jenis asli maupun pendatang (introduksi) dapat ditemukan di Indonesia. Lebih
dari tiga perempat jenis-jenis buah yang terdapat di kawasan Asia Tenggara
ditemukan di Indonesia. Empat jenis
komoditas buah telah
ditetapkan sebagai “buah
unggulan nasional”, yaitu : mangga,
manggis, rambutan dan durian. Namun, keempat
buah tersebut masih jauh dari mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri apalagi
memenuhi permintaan luar negeri.
Rimbawan hanya mengenal dua hasil hutan, yaitu : hasil
hutan yang berupa kayu dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Khusus untuk HHBK, Permenhut 35/2007 telah mengatur secara rinci pengelompokan
tumbuhan dan tanaman yang terdiri dari :
kelompok resin, kelompok minyak atsiri, kelompok minyak lemak, pati dan BUAH-BUAHAN, kelompok tannin, bahan
pewarna dan getah, kelompok tumbuhan obat dan tanaman hias, kelompok palma dan
bambu, alkaloid dan kelompok lainnya.
Jumlah tumbuhannya mencapai ratusan. HHBK, khususnya
kelompok jenis tumbuhan penghasil buah belum terpikirkan sama sekali. Rimbawan
memandang buah sebagai hasil sampingan
yang secara ekonomis dianggap kurang penting. Di
tambah lagi, “mind set” rimbawan memandang
produksi dan pengembangan buah bukan merupakan urusannya. Memang pola pikir rimbawan sungguh
aneh, HHBK yang diakui sebagai urusannya tetapi tidak pernah disentuh dalam
pengembangannya. Jangankan dikembangkan di monitor saja tidak. Coba saja
tanyakan berapa produksi HHBK, dapat dipastikan Kementerian LHK tidak dapat
menjawabnya, paling-paling hanya produk rotan yang ada angkanya. Karena
kesalahan dalam “mind set” nya, maka HHBK hanya boleh dipungut
saja melalui Izin Pemungutan
Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK). Itupun
hanya terbatas pada hasil hutan rotan saja. Aneh bukan?.
Padahal, jika Kementerian LHK mengembangkan
pohon buah hutan tidak ada yang salah. Kementerian Pertanian tentu akan
menyambut dengan suka cita, karena secara otomatis produksi buah-buahan akan
meningkat. Koordinasi dan sinkronasi dengan
sendirinya akan terbentuk dalam mewujudkan peningkatan produksi hasil hutan buah.
Berdasarkan
Permenhut P.35/Menhut-II/2007, komoditi HHBK buah yang menjadi urusan Kementerian LHK ada 36 jenis, yaitu : aren, asam jawa, burahol, cempedak,
duku, durian, duwet, gandaria, jengkol, kecapi, kemang, kenari, kesemek,
kesturi, kluwek, kluwih, kupa, lengkeng, makadamia, mangga hutan, manggis, matoa, melinjo, mengkudu, menteng, nangka,
pala, pala hutan, petai, rambutan, saga
pohon, sawo, sawo duren, sirsak, srikaya, sukun. Dari 36 jenis buah tersebut, 11 jenis diantaranya mempunyai potensi ekonomi untuk dikembangkan secara
komersial : durian,
manggis, rambutan, mangga, duku, lengkeng, matoa, kenari, melinjo, sawo, dan
aren.
Oleh para rimbawan, buah masih dianak tirikan, buah hanya boleh dipungut oleh
masyarakat atau koperasi desa melalui (IPHHBK). Cara pandang
yang kurang tepat, atau tepatnya cara pandang yang keliru. Perlu adanya
perubahan cara berpikir. Buah yang
dikembangkan dari POHON harus dipandang sebagai produk utama, sedangkan kayu
nya sebagai produk sampingan. Hal ini
hanya mungkin bila pengembangan buah-buahan di hutan dilakukan oleh investor atau perusahaan
yang profesional, melalui Izin
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu – Buah Hutan (IUPHHBK-BH), seperti
halnya izin yang diberikan pada Hutan Tanaman Industri (HTI). Lagi pula, untuk membangun
satu unit sentra buah-buahan hanya
memerlukan lahan hutan tidak lebih dari 1.000 hektar. Dengan luas yang hanya 1.000 hektar, produksi buah akan mampu
memenuhi kebutuhan dalam negeri dan bahkan sekaligus
menguasai pasar buah internasional. Bandingkan dengan HTI yang memerlukan lahan
hutan minimal 13.000 hektar. Dengan
IUPHHBK-BH, memungkinkan pemanfaatan buah hutan dilakukan secara professional :
penggunaan bibit unggul, peningkatan
kwalitasnya (rasa, ukuran, bentuk, warna, keseragaman) dan, kwantitasnya
(produktivitas) serta penggunaan teknologi.
Sentra buah hutan
diyakini memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan komoditi
kayu. Panen jauh lebih lebih cepat, dapat dilakukan setiap tahun selama masa
produksi, menyerap tenaga kerja lebih banyak, meningkatkan pendapatan
masyarakat, memungkinkan pengembangan industri buah dan setelah tanaman buah
tidak produktif, kayunya dapat dimanfaatkan untuk keperluan kayu pertukangan
atau lainnya.
LANGKAH KONKRIT MEWUJUDKAN SENTRA BUAH HUTAN
Dengan berubahnya sistem pengelolaan hutan, maka
pemanfaatan hutan sepenuhnya menjadi tanggungjawab Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH). Sampai tahun 2017 , KPH yang sudah
terbentuk sebanyak 120 unit. Sentra buah hutan dapat
dikembangkan pada KPH yang sudah terbentuk kelembagaanya lengkap dengan SDM
nya. Sebagai tahap awal buah yang dikembangkan sebanyak 11 komoditas
(durian,
manggis, rambutan, mangga, duku, lengkeng, matoa, kenari, melinjo, sawo, dan aren), maka hanya diperlukan lahan hutan seluas 11.000 hektar. Satu KPH cukup satu
komoditas buah, sehingga nantinya akan dikenal KPH Durian, KPH Manggis, KPH
Rambutan, dan seterusnya. Pengembangan
buah hutan tidak mungkin dikembangkan sendiri oleh pemerintah atau pemerintah
daerah, perlu investor yang sudah berpengalaman dalam mengembangan buah-buahan.
Sebagai
langkah awal, Kementerian LKH perlu membuatn “pilot project”, dengan biaya dari
APBN, dengan luasan sekitar 50 – 100 hektar yang berlokasi di KPH yang sudah
terbentuk. Untuk melakukan “pilot project”, KPH harus “belajar” dari
Kementerian Pertanian atau Dinas Pertanian setempat, bagamaina mengelola
tanaman buah-buahan. Perlakukan tanaman hutan dengan tanaman buah tentu sangat
berbeda. Yang jelas tanaman buah-buahan memerlukan perlakukan yang lebih rumit,
sejak penaman, pemeliharaan sampai pasca panen.
Secara garis besar, untuk mewujudkan sentra buah hutan
di KPH paling tidak memerlukan 5 langkah besar : Pertama, dikeluarkannya kebijakan dari Kementerian LHK
bahwa buah dapat dimanfaatkan melalui IUPHHBK-BH di kawasan KPH. Kedua, menjalin
kerjasama dengan Kementerian Pertanian, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian
dan Pemerintah Daerah untuk bersama-sama menyusun master plan sentra buah
hutan. Ketiga , Kementerian LHK dan Kementerian Pertanian menyusun
berbagai regulasi dan panduan budidaya buah hutan sebagai acuan bagi pengusaha
buah hutan. Keempat, Pemerintah Daerah menyiapkan Perda tentang kemitraan pembangunan sentra buah hutan
antara pengusaha buah, koperasi dan
masyarakat setempat, dilanjutkan dengan mensosialisasikan kepada
masyarakat. Kelima,
Kementerian LHK
dan Kementerian Pertanian mempromosikan sentra buah hutan dengan mengundang para investor pengusaha buah.
Langkah-langkah kecil yang bersifat operasional dapat dikembangkan lebih
detail.
PENUTUP
Kementerian LHK harus lebih membuka diri terhadap
pengembangan komoditi selain kayu di kawasan hutan sepanjang tidah merubah
fungsi dan peranan hutan. Dengan menginisiasi pembangunan sentra buah hutan di
KPH, Kementerian LHK telah menunjukkan komitmennya ikut berperan serta dalam
mewujudkan kemandirian pangan, khususnya kemandirian buah lokal dan sekaligus
meningkatkan ekspor buah. Inisiasi dari
Kementerian LHK hanya akan terwujud apabila Kementerian LHK, Kementerian
Pertanian dan para pemangku kepentingan lainnya saling bersinergisitas dalam
memberikan dukungan, dan kemudahan dalam
berbagai hal. Sudah bukan jamanya lagi
ego sektoral dipertahankan. Hutan harus dapat memberikan manfaat kepada
masyarakat lokal, pemerintah daerah dan pemerintah pada umumnya.
Semoga kado kecil ini dapat membuka cakrawala baru
bagi rimbawan. Jika rimbawan dapat mewujudkan empat jenis komoditas “buah
unggulan nasional”, yaitu : mangga,
manggis, rambutan dan durian,
dalam waktu lima tahun ke depan sungguh merupakan prestasi yang patut
dibanggakan. Apalagi dapat mengembangkan 11 jenis buah (durian, manggis, rambutan, mangga, duku, lengkeng, matoa, kenari, melinjo, sawo, dan
aren), tentu merupakan prestasi yang luar biasa. Siapa
tahu suatu saat nanti Satu KPH dapat mewujudkan satu sentra buah hutan. Namun, apakah SENTRA BUAH HUTAN dapat diwujudkan? Jawabannya bergantung pada
para pengambil kebijakan di Kementerian LHK. Tapi harus diingat bahwa : “Forests not
just are timbers forests are fruits as well”.
====================
Bambang Winarto *) : Konsultan
paruh waktu Yayasan Sarana Wana Jaya, Pensiunan Kehutanan, Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Gorontalo, Penyusun Kamus Rimbawan dan Kamus Konservasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar