Senin, 18 Maret 2019

CERITA INSPIRATIF : NEGARA ISLAMI




CERITA INSPIRATIF : NEGARA ISLAMI
SYAIKH Muhamad Abduh, ulama besar dari Mesir pernah geram terhadap dunia Barat yang mengganggap Islam  kuno dan terbelakang.
Kepada Renan, filosof Prancis, Abduh dengan lantang menjelaskan bahwa agama Islam  itu hebat, cinta ilmu, mendukung kemajuan dan lain sebagainya. Dengan ringan Renan, yang juga pengamat dunia Timur itu mengatakan : “ Saya tahu persis kehebatan semua nilai Islam  dalam Al-Quran. Tapi tolong tunjukkan satu komunitas Muslim di dunia yang bisa menggambarkan kehebatan ajaran Islam ”.
Dan Abduh pun terdiam. Satu abad kemudian beberapa peneliti dari George Washington University ingin membuktikan tantangan Renan.
Mereka menyusun lebih dari seratus nilai-nilai luhur Islam , seperti kejujuran (shiddiq), amanah, keadilan, kebersihan, ketepatan waktu, empati, toleransi, dan sederet ajaran Al-Quran serta akhlaq Rasulullah s.a.w.
Berbekal sederet indikator yang mereka sebut sebagai “Islam icity index” mereka datang ke lebih dari 200 negara untuk mengukur seberapa Islam i negara-negara tersebut.
Hasilnya ? Selandia Baru dinobatkan sebagai negara paling Islam i. Indonesia ? Harus puas di urutan ke 140.
Nasibnya tak jauh dengan negara-negara Islam  lainnya yang kebanyakan bertengger di “ranking” 100-200.
Apa itu Islam  ? Bagaimana sebuah negara atau seseorang dikategorikan Islam i ?
Kebanyakan ayat dan hadits menjelaskan Islam  dengan menunjukkan indikasi-indikasinya, bukan definisi.
Misalnya hadits yang menjelaskan bahwa :
“Seorang Muslim adalah orang yang disekitarnya selamat dari tangan dan lisannya”.
Itu indikator.
Atau hadits yang berbunyi :
"Keutamaan Islam  seseorang adalah yang meninggalkan yang tak bermanfaat”.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hormati tetangga ... hormati tamu."
"Bicara yang baik atau diam”.
Jika kita koleksi sejumlah hadits yang menjelaskan tentang Islam  dan iman, maka kita akan menemukan ratusan indikator keIslam an seseorang yang bisa juga diterapkan pada sebuah kota bahkan negara.
Dengan indikator-indikator diatas tak heran ketika Muhamad Abduh melawat ke Prancis akhirnya dia berkomentar :
“Saya tidak melihat Muslim disini, tapi merasakan (nilai-nilai) Islam , sebaliknya di Mesir saya melihat begitu banyak Muslim, tapi hampir tak melihat Islam ”.
Pengalaman serupa dirasakan Professor Afif Muhammad ketika berkesempatan ke Kanada yang merupakan negara paling Islam i no 5.
Beliau heran melihat penduduk disana yang tak pernah mengunci pintu rumahnya. Saat salah seorang penduduk ditanya tentang hal ini, mereka malah balik bertanya : “mengapa harus dikunci ?”
Di kesempatan lain, masih di Kanada, seorang pimpinan ormas Islam  besar pernah ketinggalan kamera di halte bis. Setelah beberapa jam kembali ke tempat itu, kamera masih tersimpan dengan posisi yang tak berubah.
Sungguh ironis jika kita bandingkan dengan keadaan di negeri muslim yang sendal jepit saja bisa hilang di rumah Allah yang Maha Melihat. Padahal jelas-jelas kata “iman” sama akar katanya dengan aman.
Artinya, jika semua penduduk beriman, seharusnya bisa memberi rasa aman.
Penduduk Kanada menemukan rasa aman padahal (mungkin) tanpa iman. Tetapi kita merasa tidak aman ditengah orang-orang yang (mengaku) beriman.
Seorang teman bercerita, di Jerman, seorang ibu marah kepada seorang Indonesia yang menyeberang saat lampu penyebrangan masih merah :
“Saya mendidik anak saya bertahun-tahun untuk taat aturan, hari ini Anda menghancurkannya. Anak saya ini melihat Anda melanggar aturan, dan saya khawatir dia akan meniru Anda”.
Mengapa kontradiksi ini terjadi ?
Syaikh Basuni, seorang ulama, pernah berkirim surat kepada Muhamad Rashid Ridha, ulama terkemuka dari Mesir. 
Suratnya berisi pertanyaan :
‎"Mengapa muslim terbelakang dan umat yang lain maju?"
Surat itu dijawab panjang lebar dan dijadikan satu buku dengan judul yang dikutip dari pertanyaan itu. Inti dari jawaban Rasyid Ridha, Islam  mundur karena meninggalkan ajarannya, sementara Barat maju karena meninggalkan ajarannya.
Umat Islam  terbelakang karena meninggalkan ajaran “iqra” (membaca) dan cinta ilmu. Sistem pengajaran Islam  menjadi dogmatis, apa kata ustas/ulama menjadi hukum yang harus di ikuti. Tidak kritis dan mendebat ustad/ulama untuk mencari kebenaran. Karena ustadz/ulama juga manusia yang sumber kesalahan. Akibatnya umat Islam  sekarang cenderung anti kritik dan siap berperang jika ada yang kritis mempertanyakan sesuatu.
Tidak aneh dengan situasi seperti itu, Indonesia saat ini menempati urutan ke-111 dalam hal tradisi membaca dan mencari ilmu. Ajaran Islam  hanya di tekankan pada hafalan dan mendengar semata. Bukan kritis dengan argumentasi serta menjadi paham. Meninggalkan riset yang menjadi fondasi dasar berkembangnya IPTEK dan kemajuan peradaban.
Muslim juga meninggalkan budaya disiplin dan amanah, sehingga tak heran negara-begara Muslim terpuruk di kategori “low trust society” yang masyarakatnya sulit dipercaya dan sulit mempercayai orang lain alias selalu penuh curiga.
Muslim meninggalkan budaya bersih yang menjadi ajaran Islam , karena itu jangan heran jika kita melihat mobil-mobil mewah di kota-kota besar tiba-tiba melempar sampah ke jalan melalui jendela mobilnya.
Siapa yang salah ?
Mungkin yang salah yang membuat “survey”...
Seandainya keIslam an sebuah negara itu diukur dari jumlah jama”ah hajinya pastilah Indonesia ada di ranking pertama. Andaikan hafalan Al Qur”an yang jadi ukuran, In syaa Allah negara negara Arab yang akan menempati rangking pertama.
Memang bukan hanya itu parameter ke Islam an ..
Wallahualam
----------------  &&&&&  ---------------

Tidak ada komentar: