Kamis, 14 Maret 2019

TRAGEDI BOJA

TRAGEDI BOJA
Kala itu,  hari Minggu, bulan dan tanggalnya Aku sudah lupa, tetapi tahunnya Aku masih ingat, tahun 1973. Ulangan umum triwulan 2 baru saja berakhir. Kini saatnya untuk rilex sejenak, melupakan ulangan umum yang baru saja berlalu. Aku dan teman-teman akan ke BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) Boja. 
Jam 09.00, Aku, Tejo, Dirno, Kandar, Edy Sus, sudah berada di rumah Harry.  Dirno  datang bersama Kandar dengan sepeda motor Honda, Edy Sus bersama Tejo dengan sepeda motor Suzuki, Aku sendiri datang dengan mengendarai sepeda.
Satu minggu sebelumnya,  Aku, Tejo, Dirno, Kandar dan Edy Sus,  belajar di rumah Om nya Harry, Bapak Mu’ayat, yang menjabat sebagai Ajun Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan (Ajun KKPH) atau Ajun Adm (Administratur) Perhutani Kendal. Dari informasi Harry, Aku mengetahui bahwa Bapak Mu’ayat lulusan dari Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) Bogor. Rumah dinasnya berada di ujung paling kanan komplek Perhutani Kendal. Sebagai Ajun Adm, fasilitas yang diterima termasuk kategori mewah. Rumah dinasnya besar dengan perabot lengkap disertai mobil dinas hartop. Itu pula yang mengilhami Aku untuk melanjutkan ke Fakultas Kehutanan. Putra Bapak Mu’ayat ada 4 (empat) orang, 2 (dua) laki-laki dan 2 (dua) perempuan. Dua orang duduk di di bangku SMP, satu di SD dan satu di TK. Dengan demikian, Harry merupakan “anak” tertua dari Keluarga Bapak Mu’ayat.
Tidak seperti biasanya, Bapak Mu’ayat mendatangi kami yang sedang belajar di ruangan belakang. Aku dan teman-teman diam, menunggu apa yang akan disampaikan Bapak Mu’ayat.
 “Bagaimana apakah sudah siap dengan ulangan umum?” Tanya Bapak Mu’ayat.
“Sudah Om. “ Jawab Kandar.
“Iya…, Harry mengalami kesulitan pelajaran Ilmu Ukur Sudut. Tolong di bantu ya”….Kata Bapak Mu’ayat.
Aku pikir Bapak Mu’ayat mengetahui bahwa Harry lemah dalam pelajaran Ilmu Ukur Sudut atau bahasa ilmiahnya geniometri. Memang untuk menguasai pelajaran ini harus hafal sangat banyak rumus serta harus banyak latihan mengerjakan soal.
“Kalau Ilmu Ukur Sudut, Mbang Win  yang paling pandai.” Kata Dirno sambil menunjuk kepada ku.
Bapak Mu’ayat melihat ke arah ku. Aku diam saja.
“Oh… ya, kalau sudah lulus, nanti melanjutkan kemana?” Kembali Bapak Mu’ayat bertanya.
“Tejo, Mbang Win, dan Dirno ke Fakultas Kehutanan, Edy Sus ke Fakultas Teknik dan Saya sendiri akan ke IAIN.” Kembali Kandar menjawab sambil menunjuk Aku, Tejo,  Dirno dan Edy Sus.
 “Waaa…h, bagus semua, Kalau Harry akan ke Fakultas Pertanian.” Jawab   Bapak Mu’ayat.
“ Baik…., silahkan lanjutkan belajarnya. Saling bantu-membantu ya…. Semoga sukses dan tercapai cita-citanya. “ Kata Bapak Mu’ayat.
“ Baik Om…, terima kasih. ” Jawab kami serempak.
“Nanti kalau sudah selesai ulangan umum, jalan-jalan ke hutan, lihat hutan, supaya lebih mencintai hutan. Apalagi… tadi siapa…., Tejo, Mbang Win dan Dirno mau masuk Fakultas Kehutanan. Kepala BKPH Boja nanti tak kasih tau. ” Kata Bapak Mu’ayat.
Senangnya  belajar di tempat Harry, ruanganya cukup besar, terdapat papan tulis lengkap dengan peralatannya : kapur, penghapus, penggaris serta meja dan  kursi. Dan yang lebih menyenangkan lagi adalah banyaknya makanan yang disediakan : kacang goreng, pisang goreng, roti kering dan masih banyak lagi. Untuk minuman lebih hebat lagi, kulkas penuh dengan berbagi minuman : coca cola, sprite, fanta dan entah apa lagi serta buah-buahan. Kalau kepengin tinggal ambil.
Dengan mengendarai 3 (tiga) sepeda motor, Aku dan teman-teman berangkat menuju Boja. Aku membonceng Dirno, Kandar membonceng Edy Sus dan Tejo membonceng Harry dengan Honda bebeknya. Lokasi BKPH Boja berada di Desa Darupono Kecamatan Kaliwungu Selatan, jaraknya lumayan jauh dari Kendal, mungkin sekitar 30 km an.  Dari Kendal ke Kaliwungu melewati jalan utama, selanjutnya sampai pasar Kaliwungu, belok ke kanan, melalui jalan Kaliwungu – Boja.  Jalannya tidak terlalu lebar dan hanya berupa pengerasan saja. Sepeda motor dikendarai dengan pelan, kecepatan tidak boleh lebih dari 20 Km. Tidak berapa lama sudah memasuki kawasan hutan. Di kiri dan kanan jalan yang terlihat hanya hutan jati. Ada yang masih kecil, ada yang sudah besar, ada pula pohon jatinya besar tetapi tanpa daun. Seperti pohon mati. Sekitar 30 menit dari Kaliwungu dan setelah bertanya kepada penduduk lokasi kantor kehutanan,  rombongan sampai di kantor BKPH Boja. Kantor kehutanan di kecamatan mempunyai ciri yang mudah dikenali, berwarna hijau.
Sampai di BKPH Boja sekitar jam 10 an, rombongan  disambut Bapak Kepala BKPH Boja atau lebih dikenal dengan sebutan Bapak Sinder. Kami berenam turun, berjalan menuju Pak Sinder. Harry paling depan dan yang lain mengikutinya.
“Selamat siang Pak Sinder.” Kata Harry
“Selamat datang Mas Harry.” Jawab Pak Sinder.
Rupanya Harry dan Pak Sinder sudah saling mengenal. Ya…, wajar saja, mengingat Pak Sinder sering menghadap Pak Ajun Adm. Sebagai Sinder yang baik, tentu mengenal keluarga Pak Ajun Adm, termasuk Harry.
Harry memperkenalkan rombongan kepada Pak Sinder. Kami bersalaman satu per satu dengan Pak Sinder sambil menyebutkan namanya. Pak Sinder namanya Jati, lengkapnya Jati Mulyo. Cocok dengan pekerjaannya. Nama itu Aku ketahui dari papan nama yang terdapat di baju Pak Sinder. Orangnya masih mudah, sekitar 30 tahun an, gagah dengan pakaian kehutanannya. Di pinggangnya terselip senjata laras pendek, pistol. Mungkin Pak Sinder lulusan SKMA. 
 “Mari- mari masuk, ya…., beginilah rumah di desa.” Kata Pak Sinder.
Rumah dinas Pak Sinder berada di samping Kantor BKPH Boja, tidak terlalu besar, sederhana, namun bersih.  Aku perhatikan sekilas ruang tamunya. Pada dinding di pasang foto Pak Sinder lengkap dengan pakaian dinasnya dan Pak Sinder saat jadi pengantin. Istrinya cukup cantik. Di meja sudah disediakan minuman teh dan berbagai makanan : pisang goreng, singkong rebus, singkong goreng dan kacang rebus. Harry duduk di dekat Pak Sinder, sedang Aku, Tejo, Dirno, Kandar dan Edy Sus,  duduk  di kursi lainnya yang telah disediakan.
“Bagaimana perjalannya?” Pak Sinder mulai membuka percakapan.
“Alhamdulillah…, lancar.” Jawab Harry.
“ Syukurlah….” Jawab Pak Sinder.
“ Mari silahkan di minum dulu…, dan dicicipi makanannya. Ya… inilah makanan desa.” Kata Pak Sinder.
Harry minum teh, demikian pula yang lainnya. Selanjutnya Harry  mengambil pisang goreng, yang lain ikut pula mengambil makanan sesuai dengan seleranya masing-masing. Tejo mengambil singkong goreng, Kandar mengambil kacang rebus, Dirno mengambil  singkong rebus , Edy Sus mengambil kacang rebus dan Aku sendiri ikut Harry mengambil pisang goring.
“Pak Sinder, di Boja musim apa?” Tanya Harry.
“ Musim durian Mas Harry, nanti Mas Harry akan merasakan lezatnya  durian Boja.” Jawab Pak Sinder.
Pak Sinder sangat tanggap terhadap pertanyaan Harry. Itu baru pertanyaan Harry, bagaimana kalau yang datang Pak Ajun Adm, mungkin Pak Sinder harus pandai membaca pikiran Pak Ajun. Memang durian Boja sudah dikenal bagi penggemar durian di Kendal atau bahkan di Semarang. Aku sendiri kurang dapat membedakan rasa durian satu dengan durian lainnya.  Menurut lidahku semua durian enak.
“ Mas Harry…” Kembali Pak Sinder berkata. “Saya ditugaskan oleh Pak Ajun untuk mengantarkan Mas Harry dan rombongan melihat hutan jati. Nanti Mas Harry dan rombongan akan melihat petak 45, petak 55, dan petak 71. Pada petak 45 terdapat tanaman jati muda, petak 55 terdapat penjarangan jati, dan petak 71 melihat tanaman jati yang siap di tebang.” Kata Pak Sinder.
“Apakah lokasinya jauh?” Tanya Harry.
“Tidak, …ya… hanya sekitar 10 menit. “ Jawab Pak Sinder. “Kalau sudah siap, mari kita berangkat.” Kata Pak Sinder.
Kami keluar bersama. Di luar sudah menunggu “seseorang”, berpakaian kehutanan dengan membawa kelapa muda cukup banyak. Aku perhatikan sepintas, tidak kurang 15 butir.
“Pak Manteri, ini putranya Pak Ajun.” Kata Pak Sinder.
Rupanya “seseorang” tersebut adalah Pak Manteri. Pak Sinder memperkenalkan rombongan kepada Pak Manteri, demikian pula Pak Sinder memperkenal Pak Manteri kepada kami semua. Pak Manteri adalah sebutan popular untuk Kepala Resort Polisi Hutan (KRPH). Pak Manteri bernama Tunas, lengkapnya Tunas Rimba. Orangnya  sudah agak tua tetapi masih gagah, wajahnya keras, memakai topi lapangan  dan dipinggangnya terselip sebuah parang. Aku taksir usianya sekitar 45 tahunan.
“Pak Manteri, kita akan membawa rombongan melihat petak 45, petak 55, dan petak 71. Kita naik sepeda motor dan Pak Manteri satu motor dengan Saya.” Kata Pak Sinder.
Seperti kata Pak Sinder, petak 45, petak 55, dan petak 71, tidak terlalu jauh dari rumah. Apalagi di tempuh dengan menggunakan sepeda motor. Pada masing masing petak, Pak Sinder menerangkan dengan penuh semangat. Sesekali, Pak Manteri menambahkan. Dari tiga petak tersebut, Aku hanya tertarik pada petak 71. Di situ terdapat tanaman jati besar-besar, tetapi  sudah mati.

Pohon Jati Siap Tebang
Rupanya pohon jati tersebut sengaja dimatikan ketika masih berdiri untuk ditebang. Dua tahun sebelumnya semua pohon jati yang akan ditebang “diteres”, pada bagian bawah pohon, sekitar 1.5 meter dari tanah, kulit sampai kambium dipotong, sehingga aliran makanan terputus. Menurut pak Sinder, setelah ditebang semua pohon jati akan dibawa ke Tempat Penimbunan Kayu (TPK) Gambilangu.
Sekitar jam satu an, rombongan kembali ke rumah Pak Sinder. Aku merasa mendapat tambahan pengetahuan tentang hutan jati dan semakin mantap untuk memilih Fakultas Kehutanan setelah lulus nanti.
 “Mas Harry dan rombongan, silahkan minum kelapa muda dulu. Setelah itu dilanjutkan makan siang. Ibu Sinder telah menyediakannya.
Pak Manteri dengan sigapnya memotong bagian ujung kelapa dan melubanginya untuk siap diminum. Aku dan teman-teman minum air kelapa langsung dari buah kelapanya. Alangkah nikmatnya minum air kelapa muda pada siang hari di saat cuaca panas. Rasa haus hilang seketika. Air kelapa satu butir habis seketika. Aku lihat Kandar masih kehausan dan minta kepada Pak Manteri satu lagi. Sementara, Aku dan teman teman lainnya hanya minta untuk dibelahkan kelapa mudanya dan selanjutnya makan kelapa muda. Nikmat sekali….
Sungguh luar biasa Pak Sinder dalam melayani Mas Harry. Untuk makan siang, Ibu Sinder menyiapan gado-gado  ditambah dengan ayam goreng dan kerupuk petis khas Kendal. Kami berenam makan dengan lahapnya. Aku perhatikan Kandar, Tejo, Dirno dan Edy Sus nambah nasi dan ayam goreng. Nampaknya, Harry cukup kenyang. Aku menahan diri untuk tidak menambah nasi, karena sebentar lagi pasti diminta untuk makan durian.
Benar seperti dugaanku, setelah makan siang, Pak Sinder telah menyediakan durian cukup banyak. Di depan rumah sudah disediakan kurang lebih 20 (dua puluh) buah durian. Kalau mencium baunya, pasti lezat. Aku yakin Pak Manteri telah memilihkan durian terbaiknya untuk kami semua.
“Mas Harry, silahkan di coba durian Boja nya.” Kata Pak Sinder.
“Waduuu…h, apa kuat perutnya.” Jawab Harry.
“Ya…., sekuatnya  saja, sisanya nanti di bawa pulang.” Kata Pak Sinder.
Harry, Kandar,  Dirno dan Edy Sus memilih durian sendiri, sedangkan Aku dan Tejo mengikuti dari belakang. Seperti biasa, Pak Manteri dengan sigapnya membuka durian satu per satu yang dipilih Harry, Kandar,  Dirno dan Edy Sus. Aku dan Tejo tinggal keliling ke tempat Harry, Kandar,  Dirno dan Edy Sus, untuk menikmati durian yang telah di bukanya. Menurutku, rasa durian memang enak. Tetapi anehnya, ternyata durian yang dibuka Harry, Kandar,  Dirno dan Edy Sus mempunyai rasa enak yang berbeda. Aku paling suka buah durian yang berwarna sedikit agak kuning. Manis legit. Kelihatannya Kandar dan Dirno penikmat buah durian. Satu buah durian sepertinya masih kurang, mereka membuka satu durian lagi.
Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan jam 15.30.
“Pak Sinder, kalau pulang lebih baik lewat jalan Boja - Mangkang - Kendal atau mengikuti route yang tadi pagi.” Harry minta pendapat kepada Pak Sider.
“ Lebih baik lewat Boja – Mangkang – Kendal. Boja tidak terlalu jauh. Jalan Boja ke Mangkang jauh lebih baik dibandingkan jalan dari sini lewat Kaliwungu Selatan.” Kata Pak Sinder.
“ Baik Pak Sinder dan Pak Manteri, mengingat waktu sudah sore, kami mohon pamit, terima kasih banyak atas sambutannya. Tolong disampaikan kepada Ibu Sinder, masakannya sangat enak. Nanti Saya sampaikan pada Pak Ajun atas sambutan dari Pak Sinder. “ Kata Harry.
Kami berenam menaiki sepeda motor. Ternyata pada masing-masing sepeda motor terdapat kelapa muda dan durian yang tadi tidak termakan. Kelapa muda ada 6 (enam) buah dan durian 10 (sepuluh) buah.
“Har…”. Kata Kandar. “Nanti kita mampir ke rumah Itung sebentar.”
“Kandar tahu rumahnya?” Tanya Harry.
“Ya…, nanti kita tanya, pasti orang Boja tahu rumahnya Itung.” Jawab Kandar.
Betul kata Pak Sinder, tidak berapa lama rombongan sudah sampai  simpang tiga.  Ke kiri jalan utama menuju Mangkang, sedangkan ke kanan menuju Pasar Boja. Rombongan berhenti untuk menanyakan rumah Itung. Aku turun menuju warung yang berada di tepai jalan.
“Permisi, mau tanya, rumah  Mbak Itung yang sekolah di SMA Kendal .” Tanya ku.
“ Oh…. Mbak Itung putrinya Pak Polsek …, ya….” Jawab penjaga warung.
“Ya…, betul, putrinya Pak Polsek.” Jawabku. “Rupanya Itung itu putrinya Pak Polsek”
“ Itu.., dekat Polsek, ya… sekitar 15 meteren.” Jawab penjaga warung sambil menunjuk rumah Pak Polsek.
Rombongan menuju rumah Itung yang berada di tepi jalan Boja-Mangkang. Jaraknya tidak jauh dari simpang tiga Boja. Setelah memakirkan sepeda motor, rombongan menuju rumah Itung. Kandar berjalan di depan.
“ Assalammulaikum.” Kandar memberi salam.
“Waalaikumsalam.” Jawabnya dari dalam rumah.
Terdengar jawaban yang tidak terlalu keras dari dalam rumah disertai langkah kaki menuju depan, dan muncul seorang ibu.
“Ini siapa ya…, dan ada perlu dengan siapa…? Tanyanya.
“Kami teman sekolah Itung, dari SMA Kendal. Tadi habis dari Pak Sinder Boja,  sebelum pulang mampir dulu ke sini.” Jawab Kandar.
“Oh…., mari silahkan masuk. Sebentar ya…, Saya panggilkan Itung.” Kata Ibu.
Melihat wajahnya, menurut ku, Ibu tadi Ibunya Itung. Kami berenam duduk di serambi depan. Ruangannya tidak terlalu luas. Selain meja dan kursi juga terdapat berbagai tanaman di dalam pot. Ada tanaman kuping gajah, pedang-pedangan, adenium dan tanaman lainnya yang Aku tidak tau namanya.
Tidak berapa lama Ibunya Itung keluar lagi.
“Sebentar ya…, Itung masih ganti baju.” Kata Ibunya Itung.
Lama juga menunggu Itung. Mungkin cari baju yang cocok. Sementara menunggu Itung, Ibunya Itung menemani kami berenam.
“ Ini liburan ya…,” Kata Ibunya Itung membuka percakapan.
“Ya…, Ibu.” Jawab Kandar.
“Satu kelas dengan Itung.” Tanyanya.
“Tidak Bu…, Itung di jurusan Budaya, sementara kami di jurusan IPA.” Kembali Kandar menjawabnya.
Aku juga tidak terlalu yakin apakah Ibunya Itung mengetahui perbedaan jurusan Budaya dengan IPA. Ibunya Itung mengamati kami satu persatu. Entah apa yang dipikirkan. Mungkin berpikir, temannya Itung itu gagah-gagah, cocok jadi temannya Itung.
“Sebentar lagi ujian ya…Kalau sudah lulus mau melanjutkan kemana? Kembali Ibunya Itung bertanya.
“Tejo, Mbang Win, dan Dirno ke Fakultas Kehutanan, Edy Sus ke Fakultas Teknik dan Saya sendiri akan ke AKABRI.” Kembali Kandar menjawab sambil menunjuk Aku, Tejo,  Dirno dan Edy Sus.
“ Di AKABRI nanti, Saya akan memilih jurusan Kepolisian.” Kata Kandar melanjutkan.
“Waa…h, Kandar ini memang hebat benar. Dihadapan Om nya Harry bilang akan melanjutkan ke IAIN. Di sini bilang akan ke AKABRI. Mungkin hanya untuk memudahkan pembicaraan dengan Ibunya Itung. ” Pikir ku.
“Ya…, itu pilihan bagus, seperti Bapaknya Itung. Jadi Polisi. ” Jawab Ibunya Itung.
Ternyata benar. Ibunya Itung mengikuti pembicaraan Kandar. Dalam hal ngobrol, Kandar memang jagonya. Aku harus belajar banyak dari Kandar. Obrolannya cukup lama, mengingat Itung agak lama juga munculnya. Kandar mendominasi obrolan, yang lain hanya sesekali menimpalinya.  Setelah cukup lama Itung baru muncul sambil membawa minuman dan makanan kecil.
“Itung…, Ibu masuk ya….” Kata Ibu Itung.
“ Ayo diminum.” Kata Ibunya Itung sambil meninggalkan kami menuju ruang dalam.
“ Haiii, Hallo Kandar, Harry, Tejo, Dirno, Edy Sus dan Mbang Win, ada acara apa ni… datang ke Boja. Datang koq… nggak ngasih tahu.” Kata Itung mengawali pembicaraan.
“ Iya…, ini dari Pak Sinder Boja, keliling hutan, sebelum pulang mampir sini, sekalian lihat Itung.” Kata Kandar.
“Itung, jadi orang kehutanan itu enak lho…. Tadi Harry hanya bilang “Pak Sinder musim apa di Boja”, maka muncullah buah durian. Makanya Aku, Mbang Win dan Dirno mau ke Fakultas Kehutanan.” Kata Tejo.
“Kalau Itung sendiri mau masuk kemana setelah lulus.” Tanya Tejo.
“Ya…, nggak tau.”Jawab Itung.
“Lho…, koq nggak tau.” Kata Dirno.
“Ya…, nggak tau, koq dipaksa-paksa.”Jawab Itung.
Aku tidak tahu, apakah Itung memang belum mempunyai rencana setelah lulus dari SMA atau sudah mempunyai masuk fakultas tertentu hanya belum mau menyampaikannya atau menunggu kepastian lulusnya dulu.
Itung nama panggilan. Aku hanya tau nama panggilannya saja. Menurut Dirno nama lengkap Itung adalah Umi Lestari, sedangkan menurut Edy Sus nama lengkap Itung adalah Itung Umu Lestari. Entah mana yang benar. Namun, kata William Shakespeare, “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.” (Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi).
Itung itu orangnya cantik. Kulitnya kuning, mukanya oval, rambutnya hitam,  tebal dan panjang sampai kepinggang. Ada rambut halus di keningnya. Giginya putih rapi dan matanya lebar. Aku dapat mengenali Itung hanya dengan melihat tatapan  matanya saja. Aku tidak tau, orang secantik Itung tidak punya pacar di SMA. Mungkin saja ada, hanya saja Aku tidak tau, atau mungkin saja sudah dijodohkan sama orang tuanya. Meskipun cantik, namun Itung itu rada galak sama laki-laki. Lengan ku pernah dicubit sampai berdarah dan berwarna biru. Kukunya runcing – runcing. Gara-garanya, waktu pulang sekolah, Itung masih berdiri di pintu keluar sekolah, Aku senggol dari belakang. Itung marah, Aku dicubitnya. Satu minggu lebih bekas cubitannya nggak hilang.
Enak ngobrol sama Itung dan setelah ngobrol yang cukup panjang, tidak terasa waktu sudah menunjukkan jam 16.45. Sore semakin gelap,  hujan rintik-rintik sudah mulai jatuh dari langit.
“Itung, mengingat sudah sore, kami pamit. Perjalanan masih jauh. Terima kasih atas penerimaannya, lain kali kami akan ke Boja khusus untuk mbak Itung. Ada sedikit oleh oleh dari hutan,  kelapa muda dan durian.” Kata  Kandar. “ Sus, tolong di turunkan beberapa kelapa muda dan durian untuk Itung.”  
Edy Sus keluar mengambil beberapa kelapa muda dan durian untuk diberikan kepada Itung.
“Terima kasih juga semuanya, atas kedatangannya, lain kali kalau ke sini tolong Saya diberi tau terlebih dahulu, supaya Saya dapat sediakan makanan khas Boja.” Kata Itung.
Kami semua meninggalkan Boja menuju Kendal melewati jalan Boja -  Mangkang. Cuaca sudah gelap disertai dengan hujan rintik-rintik. Lampu sepeda motor sudah dinyalakan. Kami mengendarai sepeda motor tidak terlalu cepat. Sekitar 45 menitan, Aku tidak tau,  entah di daerah mana, rombongan di hentikan oleh penduduk. Sepeda motor Dirno berada di paling depan, diikuti Edy Sus dan Harry. Jalanan menurun, di bagian bawah terlihat banyak orang berkerumun. Entah apa yang terjadi. Tiba-tiba dari bawah terdengar teriakan yang ditujukan kepada kami. Namun,  teriakannya tidak terdengar dengan jelas. Tidak berapa lama Aku lihat seseorang berlari ke arah rombongan.
Tiba-tiba….
“Plak …..plak….” Dua tamparan mendarat di pipi Dirno.
“Tadi Saya sudah teriak – teriak, agar lampunya dimatikan. Tuli ya….. Silau….tau! Sekarang matikan!” Teriak orang tersebut.
Dirno, Edy Sus dan Harry mematikan lampu sepeda motornya. Aku lihat orang tersebut pakai seragam tentara dan di dadanya tertulis Babinsa. Kami diam saja. Pak Babinsa kembali turun ke bawah. Namun, sepertinya Pak Babinsa masih belum puas dengan 2 (dua) tamparan tadi, karena sambil jalan masih mengomel dengan kata-kata yang tidak pantas.
Cukup lama juga menunggu sampai diperbolehkan lewat. Rupanya di bagian bawah ada jembatan rusak. Aku lihat ada sebuah truk yang terperosok. Orang-orang lagi memperbaiki jembatan seadanya, agar dapat dilewati kendaraan.
Setelah melewati jembatan rusak tadi, perjalanan ke Kendal lancar. Sampai di Rumah Harry sekitar jam 19.30.
Aku lihat pipi kiri dan pipi kanan Dirno masih kelihatan merah. Untung giginya tidak rompol.
“Sakit Dir?” Tanyaku
“Ya… sakit lah.” Jawab Dirno dengan nada agak jengkel.
“Ini gara-gara Kandar, mengajak kita mampir di Itung.” Kata Tejo.
“Wis…, nggak perlu saling menyalahkan. Peristiwa tadi menjadi kenangan kita bersama, terutama Dirno. Aku yakin seumur hidupnya Dirno tidak akan melupakan peristiwa tersebut.” Kata Kandar.”
Ya…., ya….., ya…., betul kata Kandar, TRAGEDI BOJA tentu merupakan KENANGAN YANG TIDAK TERLUPAKAN bagi kami berenam.
Kini, 43 tahun telah berlalu…,
Aku masih ingat peristiwa itu,
Aku juga yakin Harry masih ingat peristiwa itu,
Aku yakul yakin bahwa Dirno tidak melupakan peristiwa itu,
Namun, Aku tidak terlalu yakin apakah Tejo dan  Edy Sus masih ingat peristiwa itu, dan…
Kandar tetap ada dalam kenangan ku. Sahabat, semoga engkau mendapat ampunan dari Allah SWT. Amin 3 X.

Bogor  25 Agustus 2016

Tidak ada komentar: