TRAGEDI BOJA
Kala
itu, hari Minggu, bulan dan tanggalnya
Aku sudah lupa, tetapi tahunnya Aku masih ingat, tahun 1973. Ulangan umum
triwulan 2 baru saja berakhir. Kini saatnya untuk rilex sejenak, melupakan
ulangan umum yang baru saja berlalu. Aku dan teman-teman akan ke BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) Boja.
Jam
09.00, Aku, Tejo, Dirno, Kandar, Edy Sus, sudah berada di rumah Harry. Dirno
datang bersama Kandar dengan sepeda motor Honda, Edy Sus bersama Tejo
dengan sepeda motor Suzuki, Aku sendiri datang dengan mengendarai sepeda.
Satu
minggu sebelumnya, Aku, Tejo, Dirno,
Kandar dan Edy Sus, belajar di rumah Om
nya Harry, Bapak Mu’ayat, yang menjabat sebagai Ajun Kepala Kesatuan Pemangkuan
Hutan (Ajun KKPH) atau Ajun Adm (Administratur) Perhutani Kendal. Dari informasi
Harry, Aku mengetahui bahwa Bapak Mu’ayat lulusan dari Sekolah Kehutanan
Menengah Atas (SKMA) Bogor. Rumah dinasnya berada di ujung paling kanan komplek
Perhutani Kendal. Sebagai Ajun Adm, fasilitas yang diterima termasuk kategori
mewah. Rumah dinasnya besar dengan perabot lengkap disertai mobil dinas hartop.
Itu pula yang mengilhami Aku untuk melanjutkan ke Fakultas Kehutanan. Putra
Bapak Mu’ayat ada 4 (empat) orang, 2 (dua) laki-laki dan 2 (dua) perempuan. Dua
orang duduk di di bangku SMP, satu di SD dan satu di TK. Dengan demikian, Harry
merupakan “anak” tertua dari Keluarga Bapak Mu’ayat.
Tidak seperti biasanya, Bapak Mu’ayat mendatangi kami yang sedang
belajar di ruangan belakang. Aku dan teman-teman diam, menunggu apa yang akan
disampaikan Bapak Mu’ayat.
“Bagaimana apakah sudah siap
dengan ulangan umum?” Tanya Bapak Mu’ayat.
“Sudah Om. “ Jawab Kandar.
“Iya…, Harry mengalami kesulitan pelajaran Ilmu Ukur Sudut. Tolong di
bantu ya”….Kata Bapak Mu’ayat.
Aku
pikir Bapak Mu’ayat mengetahui bahwa Harry lemah dalam pelajaran Ilmu Ukur Sudut
atau bahasa ilmiahnya geniometri. Memang untuk menguasai pelajaran ini harus
hafal sangat banyak rumus serta harus banyak latihan mengerjakan
soal.
“Kalau Ilmu Ukur Sudut, Mbang Win
yang paling pandai.” Kata Dirno sambil menunjuk kepada ku.
Bapak Mu’ayat melihat ke arah ku. Aku diam
saja.
“Oh…
ya, kalau sudah lulus, nanti melanjutkan kemana?” Kembali Bapak Mu’ayat
bertanya.
“Tejo, Mbang Win, dan Dirno ke Fakultas Kehutanan, Edy Sus ke
Fakultas Teknik dan Saya sendiri akan ke IAIN.” Kembali Kandar menjawab sambil
menunjuk Aku, Tejo, Dirno dan Edy
Sus.
“Waaa…h, bagus semua, Kalau
Harry akan ke Fakultas Pertanian.” Jawab
Bapak
Mu’ayat.
“
Baik…., silahkan lanjutkan belajarnya. Saling bantu-membantu ya…. Semoga sukses
dan tercapai cita-citanya. “ Kata Bapak Mu’ayat.
“
Baik Om…, terima kasih. ” Jawab kami serempak.
“Nanti kalau sudah selesai ulangan umum, jalan-jalan ke hutan, lihat
hutan, supaya lebih mencintai hutan. Apalagi… tadi siapa…., Tejo, Mbang Win dan
Dirno mau masuk Fakultas Kehutanan. Kepala BKPH Boja nanti tak kasih tau. ” Kata
Bapak Mu’ayat.
Senangnya belajar di tempat
Harry, ruanganya cukup besar, terdapat papan tulis lengkap dengan peralatannya :
kapur, penghapus, penggaris serta meja dan
kursi. Dan yang lebih menyenangkan lagi adalah banyaknya makanan yang
disediakan : kacang goreng, pisang goreng, roti kering dan masih banyak lagi.
Untuk minuman lebih hebat lagi, kulkas penuh dengan berbagi minuman : coca cola,
sprite, fanta dan entah apa lagi serta buah-buahan. Kalau kepengin tinggal
ambil.
Dengan mengendarai 3 (tiga) sepeda motor, Aku dan teman-teman
berangkat menuju Boja. Aku membonceng Dirno, Kandar membonceng Edy Sus dan Tejo
membonceng Harry dengan Honda bebeknya. Lokasi BKPH Boja berada di Desa Darupono Kecamatan Kaliwungu Selatan, jaraknya lumayan jauh dari
Kendal, mungkin sekitar 30 km an. Dari
Kendal ke Kaliwungu melewati jalan utama, selanjutnya sampai pasar Kaliwungu,
belok ke kanan, melalui jalan Kaliwungu – Boja.
Jalannya tidak terlalu lebar dan hanya berupa pengerasan saja. Sepeda
motor dikendarai dengan pelan, kecepatan tidak boleh lebih dari 20 Km. Tidak
berapa lama sudah memasuki kawasan hutan. Di kiri dan kanan jalan yang terlihat
hanya hutan jati. Ada yang masih kecil, ada yang sudah besar, ada pula pohon
jatinya besar tetapi tanpa daun. Seperti pohon mati. Sekitar 30 menit dari
Kaliwungu dan setelah bertanya kepada penduduk lokasi kantor kehutanan, rombongan sampai di kantor BKPH Boja.
Kantor
kehutanan di kecamatan mempunyai ciri yang mudah dikenali, berwarna
hijau.
Sampai di BKPH Boja sekitar jam 10 an, rombongan disambut Bapak Kepala BKPH Boja atau lebih
dikenal dengan sebutan Bapak Sinder. Kami berenam turun, berjalan menuju Pak
Sinder. Harry paling depan dan yang lain mengikutinya.
“Selamat siang Pak Sinder.” Kata Harry
“Selamat datang Mas Harry.” Jawab Pak Sinder.
Rupanya Harry dan Pak Sinder sudah saling mengenal. Ya…, wajar saja,
mengingat Pak Sinder sering menghadap Pak Ajun Adm. Sebagai Sinder yang baik,
tentu mengenal keluarga Pak Ajun Adm, termasuk Harry.
Harry memperkenalkan rombongan kepada Pak Sinder. Kami bersalaman
satu per satu dengan Pak Sinder sambil menyebutkan namanya. Pak Sinder namanya
Jati, lengkapnya Jati Mulyo. Cocok dengan pekerjaannya. Nama itu Aku ketahui
dari papan nama yang terdapat di baju Pak Sinder. Orangnya masih mudah, sekitar
30 tahun an, gagah dengan pakaian kehutanannya. Di pinggangnya terselip senjata
laras pendek, pistol. Mungkin Pak Sinder lulusan SKMA.
“Mari- mari masuk, ya….,
beginilah rumah di desa.” Kata Pak Sinder.
Rumah dinas Pak Sinder berada di samping Kantor BKPH Boja, tidak terlalu besar, sederhana, namun bersih. Aku perhatikan sekilas ruang tamunya. Pada
dinding di pasang foto Pak Sinder lengkap dengan pakaian dinasnya dan Pak Sinder
saat jadi pengantin. Istrinya cukup cantik. Di meja sudah disediakan minuman teh
dan berbagai makanan : pisang goreng, singkong rebus, singkong goreng dan kacang
rebus. Harry duduk di dekat Pak Sinder, sedang Aku, Tejo, Dirno, Kandar dan Edy
Sus, duduk di kursi lainnya yang telah
disediakan.
“Bagaimana perjalannya?” Pak Sinder mulai membuka
percakapan.
“Alhamdulillah…, lancar.” Jawab Harry.
“
Syukurlah….” Jawab Pak Sinder.
“
Mari silahkan di minum dulu…, dan dicicipi makanannya. Ya… inilah makanan desa.”
Kata Pak Sinder.
Harry minum teh, demikian pula yang lainnya. Selanjutnya Harry mengambil pisang goreng, yang lain ikut pula
mengambil makanan sesuai dengan seleranya masing-masing. Tejo mengambil singkong
goreng, Kandar mengambil kacang rebus, Dirno mengambil singkong rebus , Edy Sus mengambil kacang
rebus dan Aku sendiri ikut Harry mengambil pisang goring.
“Pak
Sinder, di Boja musim apa?” Tanya Harry.
“
Musim durian Mas Harry, nanti Mas Harry akan merasakan lezatnya durian Boja.” Jawab Pak
Sinder.
Pak
Sinder sangat tanggap terhadap pertanyaan Harry. Itu baru pertanyaan Harry,
bagaimana kalau yang datang Pak Ajun Adm, mungkin Pak Sinder harus pandai
membaca pikiran Pak Ajun. Memang durian Boja sudah dikenal bagi penggemar durian
di Kendal atau bahkan di Semarang. Aku sendiri kurang dapat membedakan rasa
durian satu dengan durian lainnya.
Menurut lidahku semua durian enak.
“
Mas Harry…” Kembali Pak Sinder berkata. “Saya ditugaskan oleh Pak Ajun untuk
mengantarkan Mas Harry dan rombongan melihat hutan jati. Nanti Mas Harry dan
rombongan akan melihat petak 45, petak 55, dan petak 71. Pada petak 45 terdapat
tanaman jati muda, petak 55 terdapat penjarangan jati, dan petak 71 melihat
tanaman jati yang siap di tebang.” Kata Pak Sinder.
“Apakah lokasinya jauh?” Tanya Harry.
“Tidak, …ya… hanya sekitar 10 menit. “ Jawab Pak Sinder. “Kalau sudah
siap, mari kita berangkat.” Kata Pak Sinder.
Kami
keluar bersama. Di luar sudah menunggu “seseorang”, berpakaian kehutanan dengan
membawa kelapa muda cukup banyak. Aku perhatikan sepintas, tidak kurang 15
butir.
“Pak
Manteri, ini putranya Pak Ajun.” Kata Pak Sinder.
Rupanya “seseorang” tersebut adalah Pak Manteri. Pak Sinder
memperkenalkan rombongan kepada Pak Manteri, demikian pula Pak Sinder
memperkenal Pak Manteri kepada kami semua. Pak Manteri adalah sebutan popular
untuk Kepala Resort Polisi Hutan (KRPH). Pak Manteri bernama Tunas, lengkapnya
Tunas Rimba. Orangnya sudah agak tua
tetapi masih gagah, wajahnya keras, memakai topi lapangan dan dipinggangnya terselip sebuah parang. Aku
taksir usianya sekitar 45 tahunan.
“Pak
Manteri, kita akan membawa rombongan melihat petak 45, petak 55, dan petak 71.
Kita naik sepeda motor dan Pak Manteri satu motor dengan Saya.” Kata Pak
Sinder.
Seperti kata Pak Sinder, petak 45, petak 55, dan petak 71, tidak
terlalu jauh dari rumah. Apalagi di tempuh dengan menggunakan sepeda motor. Pada
masing masing petak, Pak Sinder menerangkan dengan penuh semangat. Sesekali, Pak
Manteri menambahkan. Dari tiga petak tersebut, Aku hanya tertarik pada petak 71.
Di situ terdapat tanaman jati besar-besar, tetapi sudah mati.
Pohon Jati Siap Tebang
Rupanya pohon jati tersebut sengaja dimatikan ketika masih berdiri
untuk ditebang. Dua tahun sebelumnya semua pohon jati yang akan ditebang
“diteres”, pada bagian bawah pohon, sekitar 1.5 meter dari tanah, kulit sampai
kambium dipotong, sehingga aliran makanan terputus. Menurut pak Sinder, setelah
ditebang semua pohon jati akan dibawa ke Tempat Penimbunan Kayu (TPK)
Gambilangu.
Sekitar jam satu an, rombongan kembali ke rumah Pak Sinder. Aku
merasa mendapat tambahan pengetahuan tentang hutan jati dan semakin mantap untuk
memilih Fakultas Kehutanan setelah lulus nanti.
“Mas Harry dan rombongan,
silahkan minum kelapa muda dulu. Setelah itu dilanjutkan makan siang. Ibu Sinder
telah menyediakannya.
Pak
Manteri dengan sigapnya memotong bagian ujung kelapa dan melubanginya untuk siap
diminum. Aku dan teman-teman minum air kelapa langsung dari buah kelapanya.
Alangkah nikmatnya minum air kelapa muda pada siang hari di saat cuaca panas.
Rasa haus hilang seketika. Air kelapa satu butir habis seketika. Aku lihat
Kandar masih kehausan dan minta kepada Pak Manteri satu lagi. Sementara, Aku dan
teman teman lainnya hanya minta untuk dibelahkan kelapa mudanya dan selanjutnya
makan kelapa muda. Nikmat sekali….
Sungguh luar biasa Pak Sinder dalam melayani Mas Harry. Untuk makan
siang, Ibu Sinder menyiapan gado-gado ditambah dengan ayam goreng dan kerupuk petis
khas Kendal. Kami berenam makan dengan lahapnya. Aku perhatikan Kandar, Tejo,
Dirno dan Edy Sus nambah nasi dan ayam goreng. Nampaknya, Harry cukup kenyang.
Aku menahan diri untuk tidak menambah nasi, karena sebentar lagi pasti diminta
untuk makan durian.
Benar seperti dugaanku, setelah makan siang, Pak Sinder telah
menyediakan durian cukup banyak. Di depan rumah sudah disediakan kurang lebih 20
(dua puluh) buah durian. Kalau mencium baunya, pasti lezat. Aku yakin Pak
Manteri telah memilihkan durian terbaiknya untuk kami
semua.
“Mas
Harry, silahkan di coba durian Boja nya.” Kata Pak Sinder.
“Waduuu…h, apa kuat perutnya.” Jawab Harry.
“Ya…., sekuatnya saja,
sisanya nanti di bawa pulang.” Kata Pak Sinder.
Harry, Kandar, Dirno dan Edy
Sus memilih durian sendiri, sedangkan Aku dan Tejo mengikuti dari belakang.
Seperti biasa, Pak Manteri dengan sigapnya membuka durian satu per satu yang
dipilih Harry, Kandar, Dirno dan Edy
Sus. Aku dan Tejo tinggal keliling ke tempat Harry, Kandar, Dirno dan Edy Sus, untuk menikmati durian
yang telah di bukanya. Menurutku, rasa durian memang enak. Tetapi anehnya,
ternyata durian yang dibuka Harry, Kandar,
Dirno dan Edy Sus mempunyai rasa enak yang berbeda. Aku paling suka buah
durian yang berwarna sedikit agak kuning. Manis legit. Kelihatannya Kandar dan
Dirno penikmat buah durian. Satu buah durian sepertinya masih kurang, mereka
membuka satu durian lagi.
Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan jam 15.30.
“Pak
Sinder, kalau pulang lebih baik lewat jalan Boja - Mangkang - Kendal atau
mengikuti route yang tadi pagi.” Harry minta pendapat kepada Pak
Sider.
“
Lebih baik lewat Boja – Mangkang – Kendal. Boja tidak terlalu jauh. Jalan Boja
ke Mangkang jauh lebih baik dibandingkan jalan dari sini lewat Kaliwungu
Selatan.” Kata Pak Sinder.
“
Baik Pak Sinder dan Pak Manteri, mengingat waktu sudah sore, kami mohon pamit,
terima kasih banyak atas sambutannya. Tolong disampaikan kepada Ibu Sinder,
masakannya sangat enak. Nanti Saya sampaikan pada Pak Ajun atas sambutan dari
Pak Sinder. “ Kata Harry.
Kami
berenam menaiki sepeda motor. Ternyata pada masing-masing sepeda motor terdapat
kelapa muda dan durian yang tadi tidak termakan. Kelapa muda ada 6 (enam) buah
dan durian 10 (sepuluh) buah.
“Har…”. Kata Kandar. “Nanti kita mampir ke rumah Itung
sebentar.”
“Kandar tahu rumahnya?” Tanya Harry.
“Ya…, nanti kita tanya, pasti orang Boja tahu rumahnya Itung.” Jawab
Kandar.
Betul kata Pak Sinder, tidak berapa lama rombongan sudah sampai simpang tiga. Ke kiri jalan
utama menuju Mangkang, sedangkan ke kanan menuju Pasar Boja. Rombongan berhenti
untuk menanyakan rumah Itung. Aku turun menuju warung yang berada di tepai
jalan.
“Permisi, mau tanya, rumah
Mbak Itung yang sekolah di SMA Kendal .” Tanya ku.
“ Oh…. Mbak Itung putrinya Pak Polsek …, ya….” Jawab penjaga
warung.
“Ya…, betul, putrinya Pak Polsek.” Jawabku. “Rupanya Itung itu
putrinya Pak Polsek”
“ Itu.., dekat Polsek, ya… sekitar 15 meteren.” Jawab penjaga warung
sambil menunjuk rumah Pak Polsek.
Rombongan menuju rumah Itung yang berada di tepi jalan Boja-Mangkang.
Jaraknya tidak jauh dari simpang tiga Boja. Setelah memakirkan sepeda motor,
rombongan menuju rumah Itung. Kandar berjalan di depan.
“ Assalammulaikum.” Kandar memberi salam.
“Waalaikumsalam.” Jawabnya dari dalam rumah.
Terdengar jawaban yang tidak terlalu keras dari dalam rumah disertai
langkah kaki menuju depan, dan muncul seorang ibu.
“Ini siapa ya…, dan ada perlu dengan siapa…?
Tanyanya.
“Kami teman sekolah Itung, dari SMA Kendal. Tadi habis dari Pak
Sinder Boja, sebelum pulang mampir dulu
ke sini.” Jawab Kandar.
“Oh…., mari silahkan masuk. Sebentar ya…, Saya panggilkan Itung.”
Kata Ibu.
Melihat wajahnya, menurut ku, Ibu tadi Ibunya Itung. Kami berenam
duduk di serambi depan. Ruangannya tidak terlalu luas. Selain meja dan kursi
juga terdapat berbagai tanaman di dalam pot. Ada tanaman kuping gajah,
pedang-pedangan, adenium dan tanaman lainnya yang Aku tidak tau
namanya.
Tidak berapa lama Ibunya Itung keluar lagi.
“Sebentar ya…, Itung masih ganti baju.” Kata Ibunya
Itung.
Lama juga menunggu Itung. Mungkin cari baju yang cocok. Sementara
menunggu Itung, Ibunya Itung menemani kami berenam.
“ Ini liburan ya…,” Kata Ibunya Itung membuka
percakapan.
“Ya…, Ibu.” Jawab Kandar.
“Satu kelas dengan Itung.” Tanyanya.
“Tidak Bu…, Itung di jurusan Budaya, sementara kami di jurusan IPA.”
Kembali Kandar menjawabnya.
Aku juga tidak terlalu yakin apakah Ibunya Itung mengetahui perbedaan
jurusan Budaya dengan IPA. Ibunya Itung mengamati kami satu persatu. Entah apa
yang dipikirkan. Mungkin berpikir, temannya Itung itu gagah-gagah, cocok jadi
temannya Itung.
“Sebentar lagi ujian ya…Kalau sudah lulus mau melanjutkan kemana?
Kembali Ibunya Itung bertanya.
“Tejo, Mbang Win, dan Dirno ke Fakultas Kehutanan, Edy Sus ke
Fakultas Teknik dan Saya sendiri akan ke AKABRI.” Kembali Kandar menjawab sambil
menunjuk Aku, Tejo, Dirno dan Edy
Sus.
“ Di
AKABRI nanti, Saya akan memilih jurusan Kepolisian.” Kata Kandar
melanjutkan.
“Waa…h, Kandar ini memang hebat benar. Dihadapan Om nya Harry bilang
akan melanjutkan ke IAIN. Di sini bilang akan ke AKABRI. Mungkin hanya untuk
memudahkan pembicaraan dengan Ibunya Itung. ” Pikir ku.
“Ya…, itu pilihan bagus, seperti Bapaknya Itung. Jadi Polisi. ” Jawab
Ibunya Itung.
Ternyata benar. Ibunya Itung mengikuti pembicaraan Kandar. Dalam hal
ngobrol, Kandar memang jagonya. Aku harus belajar banyak dari Kandar. Obrolannya
cukup lama, mengingat Itung agak lama juga munculnya. Kandar mendominasi
obrolan, yang lain hanya sesekali menimpalinya. Setelah cukup lama Itung baru muncul sambil
membawa minuman dan makanan kecil.
“Itung…, Ibu masuk ya….” Kata Ibu Itung.
“ Ayo diminum.” Kata Ibunya Itung sambil meninggalkan kami menuju
ruang dalam.
“ Haiii, Hallo Kandar, Harry, Tejo, Dirno, Edy Sus dan Mbang Win, ada
acara apa ni… datang ke Boja. Datang koq… nggak ngasih tahu.” Kata Itung
mengawali pembicaraan.
“ Iya…, ini dari Pak Sinder Boja, keliling hutan, sebelum pulang
mampir sini, sekalian lihat Itung.” Kata Kandar.
“Itung, jadi orang kehutanan itu enak lho…. Tadi Harry hanya bilang
“Pak Sinder musim apa di Boja”, maka muncullah buah durian. Makanya Aku, Mbang
Win dan Dirno mau ke Fakultas Kehutanan.” Kata Tejo.
“Kalau Itung sendiri mau masuk kemana setelah lulus.” Tanya
Tejo.
“Ya…, nggak tau.”Jawab Itung.
“Lho…, koq nggak tau.” Kata Dirno.
“Ya…, nggak tau, koq dipaksa-paksa.”Jawab
Itung.
Aku tidak tahu, apakah Itung memang belum mempunyai rencana setelah
lulus dari SMA atau sudah mempunyai masuk fakultas tertentu hanya belum mau
menyampaikannya atau menunggu kepastian lulusnya dulu.
Itung nama panggilan. Aku hanya tau nama panggilannya saja. Menurut
Dirno nama lengkap Itung adalah Umi Lestari, sedangkan menurut Edy Sus nama
lengkap Itung adalah Itung Umu Lestari. Entah mana yang benar. Namun, kata
William
Shakespeare, “What’s in a name? That
which we call a rose by any other name would smell as sweet.” (Apalah arti
sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap
akan berbau wangi).
Itung itu orangnya cantik. Kulitnya kuning, mukanya oval, rambutnya
hitam, tebal dan panjang sampai
kepinggang. Ada rambut halus di keningnya. Giginya putih rapi dan matanya lebar.
Aku dapat mengenali Itung hanya dengan melihat tatapan matanya saja. Aku tidak tau, orang secantik
Itung tidak punya pacar di SMA. Mungkin saja ada, hanya saja Aku tidak tau, atau
mungkin saja sudah dijodohkan sama orang tuanya. Meskipun cantik, namun Itung
itu rada galak sama laki-laki. Lengan ku pernah dicubit sampai berdarah dan
berwarna biru. Kukunya runcing – runcing. Gara-garanya, waktu pulang sekolah,
Itung masih berdiri di pintu keluar sekolah, Aku senggol dari belakang. Itung
marah, Aku dicubitnya. Satu minggu lebih bekas cubitannya nggak hilang.
Enak ngobrol sama Itung dan setelah ngobrol yang cukup panjang, tidak
terasa waktu sudah menunjukkan jam 16.45. Sore semakin gelap, hujan rintik-rintik sudah mulai jatuh dari
langit.
“Itung, mengingat sudah sore, kami pamit. Perjalanan masih jauh.
Terima kasih atas penerimaannya, lain kali kami akan ke Boja khusus untuk mbak
Itung. Ada sedikit oleh oleh dari hutan,
kelapa muda dan durian.” Kata
Kandar. “ Sus, tolong di turunkan beberapa kelapa muda dan durian untuk
Itung.”
Edy Sus keluar mengambil beberapa kelapa muda dan durian untuk
diberikan kepada Itung.
“Terima kasih juga semuanya, atas kedatangannya, lain kali kalau ke
sini tolong Saya diberi tau terlebih dahulu, supaya Saya dapat sediakan makanan
khas Boja.” Kata Itung.
Kami semua meninggalkan Boja menuju Kendal melewati jalan Boja -
Mangkang. Cuaca sudah gelap disertai
dengan hujan rintik-rintik. Lampu sepeda motor sudah dinyalakan. Kami
mengendarai sepeda motor tidak terlalu cepat. Sekitar 45 menitan, Aku tidak
tau, entah di daerah mana, rombongan di
hentikan oleh penduduk. Sepeda motor Dirno berada di paling depan, diikuti Edy
Sus dan Harry. Jalanan menurun, di bagian bawah terlihat banyak orang
berkerumun. Entah apa yang terjadi. Tiba-tiba dari bawah terdengar teriakan yang
ditujukan kepada kami. Namun,
teriakannya tidak terdengar dengan jelas. Tidak berapa lama Aku lihat
seseorang berlari ke arah rombongan.
Tiba-tiba….
“Plak …..plak….” Dua tamparan mendarat di pipi
Dirno.
“Tadi Saya sudah teriak – teriak, agar lampunya dimatikan. Tuli ya…..
Silau….tau! Sekarang matikan!” Teriak orang tersebut.
Dirno, Edy Sus dan Harry mematikan lampu sepeda motornya. Aku lihat
orang tersebut pakai seragam tentara dan di dadanya tertulis Babinsa. Kami diam
saja. Pak Babinsa kembali turun ke bawah. Namun, sepertinya Pak Babinsa masih
belum puas dengan 2 (dua) tamparan tadi, karena sambil jalan masih mengomel
dengan kata-kata yang tidak pantas.
Cukup lama juga menunggu sampai diperbolehkan lewat. Rupanya di
bagian bawah ada jembatan rusak. Aku lihat ada sebuah truk yang terperosok.
Orang-orang lagi memperbaiki jembatan seadanya, agar dapat dilewati
kendaraan.
Setelah melewati jembatan rusak tadi, perjalanan ke Kendal lancar.
Sampai di Rumah Harry sekitar jam 19.30.
Aku lihat pipi kiri dan pipi kanan Dirno masih kelihatan merah.
Untung giginya tidak rompol.
“Sakit Dir?” Tanyaku
“Ya… sakit lah.” Jawab Dirno dengan nada agak
jengkel.
“Ini gara-gara Kandar, mengajak kita mampir di Itung.” Kata
Tejo.
“Wis…, nggak perlu saling menyalahkan. Peristiwa tadi menjadi
kenangan kita bersama, terutama Dirno. Aku yakin seumur hidupnya Dirno tidak
akan melupakan peristiwa tersebut.” Kata Kandar.”
Ya…., ya….., ya…., betul kata Kandar, TRAGEDI BOJA tentu merupakan
KENANGAN YANG TIDAK TERLUPAKAN bagi kami berenam.
Kini, 43 tahun telah berlalu…,
Aku
masih ingat peristiwa itu,
Aku
juga yakin Harry masih ingat peristiwa itu,
Aku
yakul yakin bahwa Dirno tidak melupakan peristiwa itu,
Namun, Aku tidak terlalu yakin apakah Tejo dan Edy Sus masih ingat peristiwa itu,
dan…
Kandar tetap ada dalam kenangan ku. Sahabat, semoga engkau mendapat
ampunan dari Allah SWT. Amin 3 X.
Bogor 25 Agustus
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar