Selasa, 19 Maret 2019

REZIM PERIZINAN KEHUTANAN




REZIM PERIZINAN KEHUTANAN
Bambang Winarto*) 
Jika kita mengamati Presiden Jokowi  berbicara soal perizinan, sepertinya Presiden kita frustasi. Perizinan rumit dan berbelit. Bayangkan saja seorang Presiden sampai frustasi, apalagi para pengusaha yang mau menginvestasikan modalnya. Data BKPM menunjukkan bahwa, India investasi naik 30 persen, Filipina naik 38 persen, Malaysia naik 51 persen, sedangkan Indonesia hanya 10 persen di 2017. Alasan nomor satu adalah REGULASI, kebanyakan aturan, persyaratan, dan perizinan yang berbelit-belit. Menurut Presiden, banyaknya peraturan yang dikeluarkan bukanlah sebuah prestasi. Namun yang diperlukan adalah kebijakan dan peraturan berkualitas yang bermuara pada kemudahan dalam perizinan bagi  masyarakat. Dalam pembahasan ini akan dikupas bagaimana pemanfaatan hutan produksi dan solusi yang harus dilakukan untuk meningkatkan nilai hutan.
Bagaimana dengan di Kehutanan?
Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. (UU 41/1999). Selanjutnya disebutkan bahwa Hasil Hutan adalah benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat. Hasil hutan dapat dimanfaatkan melalui PERIZINAN, sebagaimana tercantum dalam UU 41/1999, dan berbagai peraturan turunannya.
Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Dalam pemanfaatan kawasan hutan : antara lain, melalui kegiatan usaha : a. budidaya tanaman obat; b. budidaya tanaman hias; c. budidaya jamur; d. budidaya lebah; e. penangkaran satwa liar; f. rehabilitasi satwa; atau g. budidaya hijauan makanan ternak. Pemanfaatan jasa lingkungan antara lain, melalui kegiatan usaha: a. pemanfaatan aliran air; b. pemanfaatan air; c. wisata alam; d. perlindungan keanekaragaman hayati; e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; atau f. penyerapan dan / atau penyimpan karbon. Dalam pemanfaatan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu melalui :  izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (hutan alam, hutan tanaman) , izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Dari berbagai perizinan tersebut yang paling banyak dan paling diminati pengusaha adalah izin pemanfaatan hasil hutan kayu apakah di hutan alam dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Katu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) atau pada hutan tanaman dalam bentuk bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Katu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Mungkin 99% perizinan di KLHK berupa izin pemanfaatan hasil hutan kayu. Perizinan lainnya dapat dihitung dengan jari.
Sebenarnya dengan sistem perizinan yang ada sekarang ini Rimbawan Penentu Kebijakan MENGKERDILKAN MANFAAT HUTAN. Manfaat hutan yang demikian banyak hanya dimanfaatkan  satu saja sesuai izin yang diberikan.
Menengok Ke Belakang
Awalnya, tahun 1970‐an kegiatan pengusahaan hutan alam produksi dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Pemanfaatan hutan hanya terfokus pada kegiatan yang berorientasi Kelestarian Hasil Kayu (sustained timber yield), sesuai dengan  UU 5/1967 Tentang  Ketentuan – Ketentuan Pokok Kehutanan. Konsep ini cenderung mengeksploitasi potensi sumberdaya hutan yang menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan alam. Dengan keluarnya Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pemanfaatn hutan berubah dari Hak Pengusahaan Hutan menjadi Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK‐HA). Sejak tahun 2000 an konsep Kelestarian Hasil Kayu berubah menjadi Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) (Sustainable Forest Management). PHL adalah sistem pengelolaan hutan yang menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dengan memperhatikan fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan secara seimbang. Namun dalam prakteknya, kedua konsep tersebut sama saja yakni mengekploitasi kayu dan hanya kayu.
Pada tahun 1990, jumlah IUPHHK‐HA mencapai 557 unit dengan total areal konsesi seluas 58,9 juta hektar. Jumlah dan luas IUPHHK‐HA tersebut terus meningkat hingga tahun 1993 (yaitu 575 unit dengan luas 61,7 juta hektar), namun kemudian menurun menjadi 304 unit (luas 25,8 juta hektar) pada tahun 2009. Hal ini berarti bahwa dalam kurun waktu 19 tahun terdapat penurunan sejumlah IUPHHK-HA  sebesar  45%. Hal ini mencerminkan adanya ketidaklestarian kegiatan pemanfaatan hutan alam produksi.
Sebagai dampak dari pemanfaatan hutan yang tidak terkendali, maka kondisi hutan mengalami perubahan dratis. Pada awal 1970-an hampir seluruh hutan berupa hutan primer, namun menjelang akhir tahun 1990-an mulai terlihat penurunan kualitas hutan dari hutan primer menjadi hutan sekunder.
Sejak tahun 2010 hingga kini dapat dikatakan bahwa hasil hutan kayu sudah tidak ada lagi pamornya. Terlalu kecil untuk pendapatan negara. Anehnya Rimbawan Manggala masih berkutat dengan kayu dan hanya kayu saja. Berbagai aturan tentang kayu selalu direvisi. Entah apa tujuannya. Sementara hasil hutan lainnya nyaris tidak disentuh sama sekali.
SEANDAINYA
Seandainya Saya pengusaha kehutanan yang sudah memperoleh Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam (IUPHHK-HA) seluas 50.000 hektar, apa yang akan Saya lakukan?
Langka pertama adalah melakukan kegiatan inventarisasi hutan untuk mengetahui potensi hutan beserta keadaan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Dari hasil inventarisasi diperoleh data sebagai berikut :  selain potensi kayu juga terdapat potensi rotan, anggrek hutan, air terjun, lahan tidak produktif seluas 5.000 hektar dan masyarakat sekitar hutan bermatapencaharian sebagai peternak. Dengan data yang ada, maka dilakukan pembuatan Rencana Jangka Panjang (RJP), Rencana Jangka Menengah (RJM) dan akhirnya Rencana Karya Tahunan (RKT) sebagai syarat untuk memanfaatkan hasil hutan kayu.
Sebagai pengusaha, melihat potensi hutannya sangat menjanjikan, maka pada saat penyusunan RJP, potensi yang ada akan dimanfaatkan secara optimal. Anggrek hutan akan dibudidayakan, demikian pula dengan rotannya. Sedangkan lahan yang tidak produktif seluas 50 hektar akan ditanami dengan hijauan makanan ternak dan seluas 450 hektar akan ditanami dengan buah manggis. Sebagai pengusaha yang jeli melihat peluang beranggapan bahwa anggrek hutan dan rotan akan memberikan nilai tambahan dan akan mengalami kerusakan atau kematian apabila pohon-pohonnya ditebang. Hijauan makanan ternak dikembangkan karena melihat potensi peternakan yang  dilakukan oleh masyarakat di sekitar arealnya, dan penanaman manggis  karena memang di hutan banyak tanaman manggis hutan. Dengan penanaman manggis yang hanya 450 diyakini dapat menguasai pasar domistik dan bahkan pasar internasional. Perusahaan akan membangun industri buah manggis dalam kaleng dan pemanfaatan kulit manggis untuk pengobatan. Areal produktif seluas 4.500 akan ditanami dengan fast growing species, dengan jenis jabon.
Namun setelah konsultasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ternyata dalam  RJP cukup diatur kelestarian kayu saja. Potensi hasil hutan lainnya tidak perlu di masukan dalam RJP. Alasannya sederhana, izin yang diberikan hanya pemanfaatan kayu, bukan dengan hasil hutan yang lainnya. Kalau ingin memanfaatkan potensi hasil hutan lainnya perlu izin lagi. Izin pemanfaatan rotan, izin budidaya anggrek, izin penanaman hijauan makanan ternak, izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu berupa buah. Dan bahkan areal yang tidak produktif seluas 4.500 pun tidak boleh ditanamani dengan kayu pertukangan seperti halnya HTI. Sungguh aneh bukan? Sebagai Sarjana Kehutanan, sungguh Saya tidak memahami kebijakan KLHK. Ilmu yang Saya peroleh di Perguruan Tinggi menyatakan bahwa hutan memberikan manfaat beragam, bukan hanya kayu. Bahkan kalau kayunya diambil manfaat lainnya bisa hilang begitu saja.
Bagi pengusaha mengurus perizinan bukan perkara mudah, perlu kesabaran, perlu waktu, perlu dana dan perlu yang lainnya. Itulah yang membuat pengusaha “gamang” dalam pengurusannya. Pada akhirnya pengusaha hutan tersebut hanya memilih kayu saja yang dimanfaatkannya. Makanya  tidak heran jika banyak potensi hasil hutan yang hilang bagai ditelan bumi belum sempat dikenalinya. Apakah sistem yang demikian akan tetap dibiarkan?
Forests Are Not Just Timbers
Semua rimbawan mengetahui bahwa hutan mempunyai fungsi serbaguna, sebagai penghasil kayu, pengaturan tata air, tempat berlindung dan tumbuh kehidupan liar, penghasil pakan dan tempat wisata, dsb.  Namun demikian sulit mendapatkan batas-batas fungsi tersebut secara tegas karena adanya interaksi antara fungsi tersebut. Forests are not just timbers, nilai ekonomi hutan bukan hanya kayu.
Secara konpsepsi, nilai ekonomi hutan adalah kualitas barang dan jasa dari hutan yang menyebabkan barang dan jasa tersebut dapat dipertukarkan dengan sesuatu yang lain untuk menentukan manfaat atau daya gunanya. Satu pendekatan yang biasa digunakan untuk mengetahui berapa besar manfaat hutan adalah mengetahui perkiraan keseluruhan nilai ekonomi. Pendekatan nilai ekonomi  hutan produksi adalah mengklasifikasikan nilai hutan ke dalam : 1). Nilai guna langsung, yaitu nilai dari barang atau jasa yang dikonsumsi langsung seperti kayu bulat, kayu bakar, hasil hutan non kayu, nilai guna air untuk konsumsi rumah tangga dan air pertanian. Untuk memudahkan perhitungan nilai guna langsung terdiri dari nilai guna kayu dan nilai guna non kayu (HHBK) ;  2) Nilai guna tidak langsung, yaitu nilai barang dan jasa yang diperoleh secara tidak langsung seperti pengawetan air dan tanah, penyimpanan karbon, pencegahan banjir, dan prasarana angkutan air; 3) Nilai pilihan, yaitu nilai langsung dan tidak langsung dari hutan di masa mendatang; seperti nilai keanekaragaman hayati dan dan perlindungan habitat, dan ;  4) Nilai keberadaan, yaitu nilai instrinsik dari hutan seperti nilai spritual, sosial dan budaya.
Secara teoritis nilai ekonomi total hutan produksi di atas dapat disederhanakan dengan rumus sebagai berikut :
TEV = NGK + NGBK + NGTL + NP + NK
TEV   = Total Economic Value;  NGK =  Nilai Guna Kayu ; NGBK = Nilai Guna Buka Kayu ; NGTL = Nilai Guna Tidak Langsung; NP = nilai pilihan; NK = Nilai keberadaan.
Dari melihat rumus sederhana di atas diketahui bahwa KLHK hanya menyamakan TEV = NGK saja. Nilai guna lainnya yang mungkin lebih tinggi malahan di abaikan.
PENUTUP
UU 41/1999 tentang Kehutanan, nampaknya sudah tidak sejalan dengan perkembangan kehutanan. Kepada para Akademisi, kiranya dapat mempeloporinya dengan menyusun Naskah Akademiknya. Mari kita selamatkan hutan kita yang masih tersisa. Rimbawan pasti tahu bahwa forests are not just timbers. Namun untuk mewujudkan forests are not just timbers perlu didukung peraturan perundang-undangan. Semoga hutan dapat memberikan manfaat lebih kepada masyarakat lokal, kepada pemerintah daerah , kepada Negara dan kepada seluruh rakyat Indonesia.
====================
Bambang Winarto *) : Konsultan paruh waktu Yayasan Sarana Wana Jaya, Pensiunan Kehutanan, Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Gorontalo, Penyusun Kamus Rimbawan dan Kamus Konservasi.
========================

Tidak ada komentar: